jpnn.com - TARAKAN – Larangan penangkapan kepiting petelur dan lobster yang dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) benar-benar membuat nelayan di Tarakan, Kalimantan Utara, meradang.
Bahkan eksportir kepiting dan lobster di Tarakan turut mengeluh lantaran aturan tersebut terkesan buru-buru dan tidak melakukan survei terlebih dahulu.
BACA JUGA: Sultan Perintahkan Empat Gedung Dihancurkan
Direktur CV Globalindo SEA Tarakan, Supriadi yang mengaku memiliki pelanggan nelayan kepiting maupun lobster sekitar 100 sampai 200 nelayan menyebutkan, seharusnya ada kajian yang dilakukan di setiap daerah.
Karena menurut pengalamannya, kepiting umumnya ada dua macam, yakni ada yang bertelur karena ingin menetas dan ada juga yang bertelur karena daging kepitingnya yang penuh.
BACA JUGA: Digugat Rp 1 Miliar, Ini Reaksi Janda Tua di Depan Hakim
Nah, jika aturan itu diberlakukan pada seluruh jenis kepiting itu, maka hal ini akan memperburuk perekonomian warga Tarakan.
“Khususnya petani tambak, karena sekarang petani tambak hanya menggantungkan harapannya pada hasil kepiting saja. Kalau mengharap komisi berapa saja. Jadi tendangannya, yaitu dari menangkap kepiting,” jelasnya dilansir Kaltara Pos (Grup JPNN.com), Rabu (14/1).
BACA JUGA: Guru Ini tak Percaya Siswinya yang Manja jadi Korban AirAsia
Supriadi menyampaikan, setiap kepiting dan lobster yang ingin menetas yang dibeli dari nelayan sebenarnya tak semuanya diambil. Justru mereka akan melepaskannya kembali ke habitatnya dan sudah sejak lama dilakukannya.
Dia juga menyayangkan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Tarakan justru terkesan tak tahu ada aturan ini.
“Saya sudah mendapatkan informasi dari Jakarta, bukan dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Tarakan,” tegasnya.
Berbeda dengan Mare, wanita yang juga berprofesi sama dengan Supriadi ini mengaku kaget saat melakukan pengiriman kepiting 12 Desember lalu. Saat itu dia tak mengetahui ada aturan yang melarang ekspor kepiting telur.
Dia pun segera meminta informasi dari DKP Tarakan, namun tak ada tanggapan apapun.
“Seharusnya ada pemberitahuan terlebih dahulu dari pemerintah bahwa tanggal sekian ini dilarang melakukan pengiriman, begitu. Tapi ini tidak ada pemberitahuan sama sekali,” sesalnya.
Mare menjelaskan, ada baiknya aturan yang dikeluarkan kementerian yang dipimpin oleh Susi Pudjiastuti itu, yaitu untuk menjaga kelangsungan hidup kepiting. Tapi, lanjutnya, dari sisi buruknya dapat dipastikan kepiting petelur yang beratnya sekitar 400 hingga 500 gram yang tidak akan ada gunanya jika tidak diekspor.
“Kan telur yang keluar sudah mati. Ibaratnya, usianya sudah tua, tinggal sekali bertelur langsung mati. Apa harus kita buang begitu saja? Kan bisa dimanfaatkan, apalagi dengan harga kepiting yang cukup tinggi, yaitu untuk kepiting telur Rp 200 ribu sampai Rp 400 ribu per kilo. Kalau hari besar, seperti imlek karena kita kirimnya ke China untuk kepiting telur. Dan Rp 145 ribu untuk kepiting jantan,” ungkap wanita berusia 44 tahun ini.
“Oke! Dilarang untuk ekspor kepiting telur, tapi ukuran sekian. Tapi ini (ukuran dan lainnya, red) tidak ada ketentuan, jadi kita bingung” timpal Mare.
Yang mengherankan Mare, keputusan pelarangan ini dibuat tanpa meminta pendapat dari pelaku usaha di lapangan, khususnya Tarakan.
“Kepiting telur yang selama ini kita kirim bukan telurnya yang di luar, tetapi yang masih bentuk gonad (organ yang membuat gamet sperma dan sel telur). Kalau telurnya yang di luar memang sejak dulu kita enggak ambil, tetap kita lepas ke alam lagi,” tandasnya.(*/sno/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Warga Tuding Tempat Karaoke Nyambi Maksiat
Redaktur : Tim Redaksi