Kebijakan Tarif EBT Bisa Ulangi Kesahan Masa Lalu  

Selasa, 07 Februari 2017 – 10:23 WIB
Petugas PLN. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com - jpnn.com - Langkah Menteri ESDM Ignasius Jonan yang mencabut subsidi tarif energi baru terbarukan (EBT) justru mengundang kritik. Sebab, keputusan mantan menteri perhubungan itu mirip dengan kebijakan masa lalu. Hasilnya, pembatasan tarif EBT dari biaya pokok produksi (BPP) justru gagal.

Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma menjelaskan, pola yang sama itu terkait dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 14 Tahun 2008 tentang Harga Patokan Penjualan Listrik. Aturan tentang harga patokan penjualan listrik dari pembangkit listrik tenaga panas bumi itu juga memberikan batasan  85 persen dari BPP.

BACA JUGA: SMK Jadi Agen Transformasi Energi Fosil ke Terbarukan

’’Permen itu gagal dan akhirnya diganti,’’ kata Surya.

Karenanya pula dia mengaku sulit mengerti alasan Jonan menerapkan hal yang sama. Menurutnya, bukan tidak mungkin ending kebijakan Jonan juga sama seperti sebelumnya. Tidak bertahan lama sehingga diganti aturan baru.

BACA JUGA: Riau dan NTT Jadi Target Utama Pengembangan Sertifikasi

Meski demikian, kata Surya, investor juga menyesalkan Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan untuk Penyediaan Listrik. Sebab, pemerintah menetapkan patokan harga maksimal untuk listrik dari tenaga matahari, angin, air, biomassa, biogas, sampah, dan panas bumi.

Keluhan itu dia ketahui secara langsung saat rapat di kantor Wapres Jusuf Kalla. ’’Asosiasi menyampaikan prihatin dengan Permen itu. Artinya Permen tersebut perlu dievaluasi,’’ jelasnya.

BACA JUGA: Krisis Listrik Makin Panjaaaaanggg

Lebih lanjut dia menjelaskan, investor merasa dirugikan karena ketidakjelasan pemerintah dalam menetapkan pembatasan tersebut. Selain kondisi yang berbeda antara satu daerah dan daerah lain, besaran BPP akan selalu berubah dari waktu ke waktu.

Padahal, proses pembangunan pembangkit EBT tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Misalnya, terkait dengan komisioning yang disebutnya bisa mencapai 3-4 tahun. Perbedaan itu yang nantinya membuat penghitungan melalui BPP akan membingungkan.

’’Yang 3-4 tahun akan datang, atau saat ini? Kalau sekarang, berarti dihitung dari pembangkit yang dibangun sekitar 5-10 tahun lalu, sudah pasti biayanya lebih rendah,’’ tandasnya.

Surya juga menyesalkan kenapa EBT yang harus dipangkas sehingga terkesan dianaktirikan. Padahal, porsi EBT dalam sumber energi pembangkit masih sangat kecil.

Pembatasan itu tentu bertolak belakang dengan yang diberlakukan negara lain. ‘’EBT dapat insentif, perhatian khusus,’’ katanya.

Terpisah, pengamat energi Iwa Garniwa menambahkan, penurunan harga tarif listrik berbasis EBTakan membuat investor kembali menghitung skala keekonomian. Bisa saja investor batal menanamkan modalnya di Indonesia. Sangat disayangkan karena minat investor di sector EBT selama dua tahun terakhir membaik.

’’Minat energi terbarukan cukup tinggi. Tetapi, dengan harga seperti itu minat bisa turun lagi. Kalau mau mengandalkan swasta, mana ada yang mau,” jelas Iwa.

Menurutnya, pemerintah harusnya mengobral insentif secara bertahap dan berkala. Adanya subsidi supaya perlahan bisa berkembang disebutnya cara terbaik.

Direktur Operasi PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Ali Mundakir sempat mengatakan, dari alokasi subsidi listrik sebesar Rp 41 triliun pada 2017, porsi PLTP hanya lima persen. Jumlah itu, tidak lebih dari Rp 2,05 triliun. Kalau ada penurunan subsidi, seharusnya yang Rp 39,95 triliun.(dim)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pak Jonan, Mohon Tak Salah Sasaran Menekan Listrik EBT


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler