Pak Jonan, Mohon Tak Salah Sasaran Menekan Listrik EBT

Sabtu, 28 Januari 2017 – 18:47 WIB
Menteri ESDM Ignasius Jonan. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com - jpnn.com - Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menyatakan, pengurangan subsidi harusnya dilakukan pada energi yang porsinya besar. Menurut dia, rencana pemerintah memangkas subsidi energi baru terbarukan (EBT) merupakan langkah tak perlu.

Komaidi mengatakan hal itu guna menanggapi pernyataan Menteri ESDM Ignasius Jonan dalam sidang ke-20 Dewan Energi Nasional (DEN) yang ingin mengurangi subsidi EBT. Mestinya, katanya, pengurangan subsisi diberlakukan untuk sumber energi yang tak efisien.

BACA JUGA: Indonesia Bakal Semakin Digdaya dengan PP Minerba Baru

Salah satu contohnya adalah subsidi solar bagi PLN. “Kalau EBT dikurangi, selain porsinya kecil, juga kontraproduktif,’’ ujarnya, Sabtu (28/1).

Saat ini, porsi EBT secara total hanya sekitar 14 persen dari keseluruhan energi pembangkit listrik. Angka itu sudah termasuk tenaga angin, air, matahari, dan panas bumi.
Porsi terbesar adalah tenaga air yang mencapai delapan persen. Menurutnya, porsi delapan persen pembangkit tenaga air itu wajar karena PLN sudah lama membangun PLTA.

BACA JUGA: Jokowi Sentil Subsidi Listrik tak Tepat Sasaran

Karenanya dia menganggap pengurangan subsidi EBT secara penuh tidak berdampak bagi keuangan negara. Tetapi, pengurangan subsidi sekecil apa pun akan berdampak siginifikan terhadap perkembangan EBT. “Tujuan pemberian subsidi itu untuk merangsang pertumbuhan EBT,’’ imbuhnya.

Komaidi pun menyarankan pemerintah agar memikirkan ulang rencana itu. Sebab, pemerintah terkesan hanya berpikir jangka pendek saja.

BACA JUGA: Sebentar Lagi, Subsidi Listrik 900 Watt Dihapus

Padahal, beberapa negara sudah mulai menjadikan EBT sebagai energi alternatif ramah lingkungan. Komaidi pun menyebut Jonan lebih baik melakukan pemangkasan subsidi terhadap solar.
Dalam kondisi infrastruktur belum matang saja, harga jual listrik yang dihasilkan panas bumi Rp 1.200 per kWh. Harga itu, jauh lebih murah dibandingkan listrik dari pembangkit bertenaga solar yang harganya Rp 3.400-4.000 per kWh.

’’Kalau subsidi solar dipangkas dan dipakai untuk mendorong EBT, ada penghematan luar biasa untuk APBN maupun harga jual listrik,’’ urainya.

Komaidi menegaskan bahwa stigma EBT mahal sehingga pertumbuhannya lambat dan subsidi perlu dikurangi sangat keliru. Saat ini mahal karena infrastruktur belum berkembang dan kapasitas produksi belum banyak. Cabang produksi apapun, dalam kondisi seperti EBT akan mahal pada tahap awal.

Tren untuk mengganti bahan bakar fosil dan batu bara di dunia terus meningkat. Sebagai contoh adalah Tiongkok yang dikenal boros dengan batubara sudah mengurangi penggunaan batu bara sejak 2015.(dim)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Tekankan Hilirisasi Sektor Minerba


Redaktur & Reporter : Antoni

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler