jpnn.com, JAKARTA - Said Aqil Siradj (SAS) Institute menanggapi penolakan pendirian gereja di kota Cilegon, yang diprakarsai oleh kelompok yang menamakan diri sebagai Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon.
SAS Institute sangat menyesalkan sikap intoleran yang justru didukung oleh kepala daerah setempat tersebut.
BACA JUGA: Menolak Izin Pendirian Gereja Sama Saja Menyakiti Saudara Sebangsa
"Apa yang dilakukan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon dengan ikut menandatangani penolakan pendirian geraja, adalah jelas pelanggaran terhadap konstitusi, yakni UUD Pasal 29 ayat 2, yang menjamin setiap warga negara bebas memeluk agama daan beribadat berdasarkan agama dan kepercayaaannya," kata Direktur Eksekutif SAS Institute Sa’dullah Affandy, Senin (12/9).
Menurut dia tindakan kepala daerah Cilegon dengan ikut menyutujui penolakan pendirian rumah ibadah (gereja) jelas melanggar Hak Asasi Manusia.
BACA JUGA: Gereja Ditolak di Cilegon, Abu Janda Langsung Merespons
SAS Institute mengingatkan bahwa pemerintah seharusnya menjamin kebebasan beragama dan beribadat setiap warganya.
"Ketiga, apa yang dilakukan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon dengan ikut menyetujui penolakan pendirian gereja, lebih karena mengikuti desakan warga atau kelompok yang intoleran, dan kurang mempertimbangkan konstitusi, HAM, PMB 2 Menteri tentang pendirian tempat ibadah. Ini jelas tidak benar," ujar dia.
BACA JUGA: Kemenag: Jangan Tolak Pembangunan Gereja di Cilegon, SK Bupati Tahun 1975 Tidak Relevan Lagi!
Terkait Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/ SK/1975 yang mengatur tentang penutupan tempat jemaat Agama Kristen, menurut dia tidak bisa dijadikan pembenaran.
Dia menegaskan bahwa semua aturan yang dikeluarkan instansi pemerintah tidak boleh bertentangan dengan konstitusi.
"Selama daerah itu masih dalam NKRI maka harus tunduk kepada konstitusi. Maka SK Bupati tersebut harus dibatalkan, karena ini dapat dinilai sebagai upaya makar," pungkas Sa'dullah Affandy. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif