Kegeraman Pak Harto di Lubang Buaya, lalu Beda Paham dengan Bung Karno

Sabtu, 01 Oktober 2022 – 22:51 WIB
Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Monumen tersebut merupakan penanda tentang peristiwa G30S/PKI. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengangkatan tujuh jenazah perwira TNI AD korban keganasan Gerakan 30 September (G30S) dari sumur tua di Lubang Buaya, Jakarta Timur, pada 4 Oktober 1965 begitu membekas bagi Presiden Kedua RI Soeharto.

Pak Harto -panggilan kondangnya- yang pada waktu itu berpangkat mayjen dan menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) melihat langsung proses evakuasi tujuh jasad enam perwira tinggi dan satu perwira pertama TNI AD tersebut.

BACA JUGA: Ketidaksukaan Soeharto pada Keputusan Bung Karno soal Pranoto Pascaperistiwa G30S

Pada 1 Oktober 1965 dini hari, Letkol Untung Syamsuti selaku komandan G30S menggerakkan pasukan Tjakrabirawa untuk menculik Letjen A Yani, Mayjen Soeprapto, Mayjen S Parman, Mayjen MT Haryono, Brigjen DI Pandjaitan, Brigjen Soetoyo Siswomihardjo.

Jenderal Abdul Haris Nasution juga menjadi target penculikan. Namun, menteri pertahanan cum Kepala Staf Angkatan Bersenjata itu berhasil lolos.

BACA JUGA: Kisah RPKAD Merebut RRI dari G30S PKI, Ada Brigjen Takut Masuk Studio Siaran

Adapun Piere A Tendean yang saat itu bertugas sebagai ajudan Pak Nas -panggilan Jenderal AH Nasution- ikut diculik.

Tentara berpangkat letnat satu itu bertindak berani dengan mengaku sebagai Nasution di hadapan para penculik.

BACA JUGA: G30S dan Skenario Awal Tanpa Darah Jenderal

Gerombolan penculik itu membawa culikannya ke kawasan Lubang Buaya di sekitar Lanud Hakim Perdanakusuma.

Selanjutnya, enam perwira tinggi TNI dan Lettu Pierre Tendean dibunuh. Tubuh mereka dimasukkan ke dalam sumur kering.

Soeharto dalam autobiorafinya yang berjudul 'Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya' menuturkan keberadaan sumur untuk menimbun jenazah para korban G30S itu baru diketahui pada 3 Oktober 1965.

Informasi soal sumur itu berasal dari Sukitman, seorang polisi yang ikut ditahan oleh komplotan G30S/PKI.

"Ia ditawan oleh gerombolan yang melakukan penculikan di rumah Jenderal Pandjaitan dan dibawa ke Lubang Buaya," tutur Soeharto.

Selanjutnya, Sukitman ditempatkan di sebuah rumah. Namun, dia berhasil kabur.

Dari informasi Sukitman itulah Soeharto meyakini enam perwira TNI AD telah dibunuh.

"Mayat mereka dimasukkan dalam sebuah sumur tua yang sudah kering," cerita Soeharto dalam buku terbitan 1989 itu.

Akhirnya, penggalian sumur di Lubang Buaya dilakukan pada 4 Oktober 1965. Proses penggaliannya dilakukan personel Kesatuan Inti Para Ampibi (KIPAM) dan Korps Komando (KKO) TNI AL.

Soeharto berkisah jenazah dalam sumur itu ditimbun dengan sampah, daun singkong, dan tanah secara berselang-seling.

"Amat memilukan! Amat menyedihkan!" kisah Soeharto.

Pada tengah hari atau pukul 12.00, jenazah pertama yang dievakuasi ialah Lettu Piere Tendean. Posisinya paling atas dibandingkan jenazah lainnya.

Selanjutnya, dua jasad lainnya diangkat, yakni Mayjen Soeprapto dan Mayjen S Parman. Dua jenazah itu dalam satu ikatan saat dimasukkan ke dalam sumur.

"Saya hampir tidak percaya bahwa kebiadaban orang-orang G30S/PKI itu bisa sampai demikian," cerita Soeharto.

Giliran selanjutnya ialah tiga jenazah sekaligus. Ternyata jasad Letjen A Yani, Mayjen MT Haryono, dan Brigjen Sutoyo juga diikat jadi satu.

Soeharto mengaku gemetar sambil menggigit bibir saat melihat ketiga jenazah tersebut sampai di permukaan. Saat itu dia hanya membatin .

"Saya tidak akan melupakan kejadian ini," tuturnya.

Jenazah terakhir yang diangkat ialah jasad Brigjen Pandjaitan. Menurut Soeharto, seluruh jasad yang diangkat itu dalam keadaan rusak karena penganiayaan.

Soeharto yang saat itu sudah mengambil alih komando TNI AD menyatakan sumur tersebut masuk wilayah Lanud Halim Perdanakusuma.

Saat itu Soeharto masih menganggap pernyataan Presiden Soekarno bahwa TNI AU tidak terlibat G30S memang ada benarnya.

Walakin, tokoh militer asal Bantul, Yogyakarta, itu juga punya pendapat lain.

"Tidak mungkin tidak ada hubungan antara oknum-oknum anggota AU dengan peristiwa ini," tuturnya.

Oleh karena itu, Soeharto pun mengharapkan TNI AU bertindak tegas. "... agar AU membersihkan anggota-angota yang terlibat di dalam petualangan ini."

Selanjutnya, tujuh jenazah tersebut dibawa ke RSPAD untuk diautopsi, lalu disamayamkan di Mabes TNI AD.

Pemakaman dilakukan pada 5 Oktober 1965 atau bertepatan dengan HUT ke-20 ABRI.

Saat itu, milad angkatan bersenjata yang lazimnya diwarnai sukacita justru penuh dukacita.

Masing-masing jenazah Pahlawan Revolusi dibawa dengan panser dari Mabes TNI AD menuju TMP Kalibata.

Soeharto juga ingat pidato Pak Nas saat melepas jenazah para Pahlawan Revolusi.

Berpidato tanpa teks, Pak Nas menyatakan para perwira TNI AD itu gugur akibat fitnahan dan dituduh pengkhianat oleh orang-orang yang tidak bermoral.

"Fitnah lebih jahat daripada pembunuhan," kata Soeharto mengutip Pak Nas.

Setelah menyaksikan pengangkatan jenazah di Lubang Buaya, Soeharto langsung memprioritaskan penumpasan PKI di Jakarta maupun daerah lain.

"Saya mesti mengadakan pengejaran, pembersihan, dan penghancuran," kisahnya kepada G Dwipayana dan Ramadhan KH yang menulis 'Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya' itu.

Soeharto juga menunjukkan sikapnya yang berbeda dengan Presiden Soekarno dalam memandang G30S.

Sikap tokoh bergelar Panglima Besar Revolusi tidak sejalan dengan langkah dan tindakan yang dilakukan Soeharto.

"Lebih-lebih perbedaan paham itu terasa setelah Bung Karno mengatakan bahwa apa yang terjadi dengan G30S itu hanyalah een rimpeltje in de oceaan (sebuah riak kecil di samudra)," tuturan Soeharto.

Sejarawan Peter Kasenda punya analisis soal cara Soeharto menggerogoti kekuasaan Bung Karno.

Kasenda mendasarkan analisisnya pada buku 'Dalih Pembunuhan Massal' karya John Roosa, mahaguru di University of British Columbia (UBC).

"Menurut John Roosa, Soeharto menggunakan G30S sebagai dalih untuk merongrong legitimasi Soekarno sambil melambungkan dirinya ke kursi kepresidenan," tutur Kasenda dalam bukunya yang berjudul 'Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan Selama 32 Tahun' terbitan 2013.(JPNN.com)

BACA ARTIKEL LAINNYA... G30S, Front Kostrad Vs Halim, Mengapa Soeharto Tidak Diculik?


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler