Berontak dari Tradisi, Sekolah hingga Luar Negeri

Minggu, 23 November 2014 – 06:04 WIB
Abdul Manan. Foto: Guslan Gumilang/Jawa Pos

SUKU Bajo kini tersebar di 21 provinsi di Indonesia. Jumlahnya puluhan ribu orang. Menariknya, pemimpin suku yang rumahnya di atas laut itu adalah seorang pakar lingkungan lulusan luar negeri.
--------------
Laporan Tomy C. Gutomo, Wakatobi
--------------
Langit di Kampung Mola, Wangi-Wangi Selatan, Wakatobi, Selasa (18/11) begitu cerah. Ibu-ibu terlihat leyeh-leyeh di depan rumah panggung mereka yang berdiri di atas perairan Pulau Wangi-Wangi. Pipi mereka dihiasai barra, semacam bedak dingin yang terbuat dari japung-japung (sejenis kerang).

Mirip perempuan di Myanmar yang rajin mengenakan tanaka untuk melindungi wajah dari sengatan matahari. Sementara itu, anak-anak mereka berlarian di jembatan yang menghubungkan antarrumah dan asyik berenang serta bermain sampan.

BACA JUGA: Robert Arjuna, Dokter yang Berdedikasi di Pendidikan dengan Mendirikan Sekolah

Itulah suasana perkampungan suku Bajo di Mola. Ada 1.200 rumah panggung yang berdiri di kampung itu. Setiap sore, warga Wangi-Wangi datang ke Mola untuk membeli ikan. Banyak jenis ikan yang dijual di sana dan harganya sangat murah. Misalnya, ikan kerapu biru yang di Surabaya bisa mencapai Rp 700 ribu per kilogram di Mola paling mahal Rp 50 ribu.

Di kampung itulah Abdul Manan berasal. Pria kelahiran 19 Mei 1961 tersebut dipilih menjadi presiden Bajo sejak 2008. Dia dipilih dalam kongres pertama suku Bajo di Jakarta.

BACA JUGA: Hasil Pertanian Vietnam Siap Serbu Pasar Indonesia

Manan merupakan seorang di antara sedikit warga Bajo yang memiliki kesadaran tentang pendidikan. Setelah lulus SMP, dia bersikeras meninggalkan Mola. Tidak ada teman-teman sebayanya saat itu yang melanjutkan ke SMA.

Bahkan, tidak banyak anak Bajo yang menikmati bangku SMP. Mereka memilih membantu orang tua mencari ikan di laut. Dengan modal nekat, Manan melanjutkan SMA di Bau-Bau, Sulawesi Tenggara.

BACA JUGA: Sejenak Menikmati Rumah Aman Yayasan Embun Surabaya

’’Saya saat itu kagum dengan orang yang pulang ke Wakatobi setelah merantau untuk kuliah. Mereka terlihat hebat di mata saya,’’ kata Manan kepada Jawa Pos di Patuno Resort, Pulau Wangi-Wangi.

Lulus SMA di Bau-Bau, Manan mendapat beasiswa untuk kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo (Unhalu), Kendari. Dia seangkatan dengan Hugua, bupati Wakatobi saat ini. Lulus kuliah, Manan sempat menjadi dosen di Unhalu.

Kemudian, dia mendapat kesempatan melanjutkan S-2 di jurusan teknik lingkungan di Chiang Mai University, Thailand. Sepulang dari Negeri Gajah Putih tersebut, Manan dipercaya rektor Unhalu saat itu, Prof Soleh Salahudin, menjadi kepala pusat studi lingkungan.

Pada 2003, Wakatobi menjadi kabupaten baru, hasil pemekaran dari Kabupaten Buton. Baru pada 2006 Wakatobi memiliki bupati sendiri setelah dipimpin pelaksana tugas (Plt) bupati. Hugua, teman kuliah Manan, terpilih menjadi bupati pertama Wakatobi.

Pada 2007, Hugua meminta Manan pulang kampung untuk menjadi staf ahli di bidang lingkungan. Sejak 2008 hingga sekarang, Manan dipercaya menjadi kepala badan perencanaan pembangunan daerah (bappeda).

Pada 2007, berdirilah perkumpulan suku Bajo internasional. Manan termasuk salah seorang penggagas perkumpulan itu. Anggota pertama berasal dari Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Belakangan, suku Bajo di Thailand juga bergabung. Meski tersebar di berbagai negara, bahasa mereka sama, yakni bahasa Bajo.

’’Hanya, masing-masing dipengaruhi logat wilayah tempat mereka menetap,’’ kata Manan.

Masing-masing suku Bajo di sebuah negara memiliki pemimpin yang disebut presiden. Pada 2008, para ketua perkumpulan suku Bajo di Indonesia bertemu di Jakarta dan menunjuk Manan sebagai presiden pertama suku Bajo Indonesia.

Salah satu pertimbangannya, selain tingkat pendidikannya yang tinggi, populasi suku Bajo di Wakatobi merupakan yang terbanyak di Indonesia. Jumlahnya mencapai 12 ribu orang.

Selama enam tahun menjadi presiden Bajo, Manan berupaya keras mendorong warga Bajo untuk bersekolah. Dia sibuk mencarikan beasiswa bagi warga Bajo di berbagai perguruan tinggi.

’’Saat ini, sudah 111 orang Bajo yang kuliah di Unhalu. Sebelas orang di fakultas kedokteran,’’ ungkap Manan.

’’Kami juga tengah menjalin kerja sama dengan Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung,’’ sambungnya.

Tahun lalu, tepatnya 7–9 November 2013, Manan menginisiatori Festival Bajo Internasional di Wakatobi. Seluruh perwakilan Bajo dari berbagai negara hadir. Mereka menggelar berbagai upacara dan ritual adat.

Salah satu lomba yang khas adalah Piddanang Mando, yakni lomba menahan napas di dalam laut. ’’Saat itu, rekor yang tercipta sekitar 12 menit,’’ kata Manan.

Warga Bajo memang dikenal ahli menyelam. Mereka bisa menyelam cukup lama di laut tanpa bantuan peralatan. Seorang warga Bajo di Desa Sama Bahari, Sampela, dekat Pulau Kaledupa, La Oda, dipercaya bisa menyelam hingga lebih dari 20 menit tanpa alat bantu pernapasan. Dia sempat diundang ke Jerman untuk free diving di sana.

Sayangnya, saat Jawa Pos singgah di Sampela, perkampungan Bajo di seberang Pulau Kaledupa, La Oda sedang pergi melaut.

Namun, anak-anak Bajo di Sampela memperlihatkan kepada Jawa Pos kelihaian mereka sebagai free diver. Anak-anak berusia 4–6 tahun itu pamer menyelam 5 menit tanpa alat bantu pernapasan.

’’Itu yang paling lama namanya Kardo. Dia masih 4 tahun,’’ ujar Abdullah, warga Bajo di Sampela.

Setiap hari anak-anak Bajo berlatih menyelam di depan rumah mereka. Sebuah kayu besar sengaja dipasang di dasar laut sebagai tempat berpegangan.

Warga Bajo mengandalkan hidup sebagai nelayan. Mereka memiliki kearifan lokal, yakni memilih ikan yang usianya sudah matang untuk dikonsumsi.

Mereka tidak mau menangkap ikan yang masih kecil. Mereka tahu persis musim bertelur masing-masing jenis ikan sehingga ikan yang bertelur tidak akan diambil.

Untuk mencari ikan, warga Bajo membawa sampan ke tengah laut, kemudian menyelam tanpa alat bantu pernapasan. Mereka hanya mengenakan kacamata yang frame-nya terbuat dari kayu. Ikan-ikan ditangkap dengan bantuan alat sejenis panah.

Di Wakatobi, suku Bajo juga menjaga segi tiga karang dunia yang sangat terkenal sebagai surga para diver. ’’Kami punya moto di lao denakangku (Lautan adalah saudaraku),’’ tegas Manan.

Perkampungan Bajo di Wakatobi tersebar di lima lokasi. Yakni, Mola, Pulau Wangi-Wangi; Mantigola dan Lohia di Pulau Kaledupa; Lamanggu di Pulau Tomia; dan Sama Bahari di Sampela.

Wakatobi merupakan kependekan empat pulau besar di sana, yakni Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko.

Dengan datang langsung ke Wakatobi, eksotisme suku Bajo terlihat lebih indah dari yang digambarkan film The Mirror Never Lies yang dibintangi Atiqah Hasiholan dan Reza Rahadian. (*/c5/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menakar Kemampuan Vietnam Menghadapi Pasar Tunggal ASEAN (2)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler