Australia mencatat kematian pertama akibat COVID-19 sekitar dua tahun lalu. 

Hari ini, ribuan orang Australia yang terinfeksi telah meninggal dunia. Saat kita belajar hidup dengan virus ini, pertanyaan utama yang harus kita jawab adalah: seberapa banyak kematian yang siap kita terima?

BACA JUGA: Kasus Covid-19 Menurun, Sukabumi Berstatus PPKM Level 2

Semuanya berawal dari kapal pesiar yang berlayar dua minggu di Samudra Pasifik.

Pada 20 Januari 2022, patogen tak terlihat, yang saat itu belum begitu dikenal oleh sains, mulai menular di kapal pesiar Diamond Princess.

BACA JUGA: Pertahankan Honorer, Gubernur Kaltim Bakal Komunikasi dengan KemenPAN-RB & BKN

Virus itu menemukan jalannya ke James Kwan, pria berusia 78 tahun, dan mulai mereplikasi di paru-parunya dan organ lainnya.

Tak sampai 10 hari — pada 1 Maret 2020 — James meninggal di sebuah rumah sakit di Perth. Ia menjadi korban pertama virus corona (COVID-19) di Australia.

BACA JUGA: Sebegini Jumlah Terkini Kematian Akibat Omicron, Semoga Besok Lebih Baik

Dua tahun kemudian, kita sudah tahu lebih banyak tentang virus SARS-CoV-2 yang membunuh James.

Sekarang 5.500 orang Australia lainnya telah tiada akibat COVID-19.

Sekitar 80 persen korban meninggal dalam tujuh bulan terakhir, setelah varian Delta dan Omicron menyebar

 

Lockdown dan penutupan perbatasan negara sudah menjadi masa lalu. Dan saat kita belajar untuk "hidup dengan virus", mau tidak mau kita akan melihat lebih banyak lagi orang meninggal karena COVID.

Seberapa banyak kematian dianggap terlalu banyak?

Apakah ada patokan angka kematian yang akan memicu kita untuk mengubah arah kebijakan dalam menghadapi COVID? Pembunuh terbesar

Mari kita melihat masalahnya di luar COVID, dan melihat apa yang paling banyak membunuh orang setiap tahun di Australia.

Tahun 2019 adalah tahun yang baik untuk dijadikan patokan karena tidak terpengaruh oleh pandemi atau respons kita terhadapnya.

Penyakit jantung koroner adalah pembunuh terbesar di tahun 2019, yaitu 11 persen dari semua kematian.

Demensia adalah pembunuh terbesar kedua, sekitar 9 persen dari total kematian.

 

Berikutnya muncul penyakit seperti diabetes di urutan ketujuh, yang membunuh sekitar 5000 orang di Australia pada 2019.  Seberapa besar COVID sebagai pembunuh? 

Hal ini tergantung bagaimana kita mengukurnya.

Australia berhasil menjaga angka kematian sangat rendah selama hampir dua tahun.

Faktanya, dengan adanya lockdown dan kebijakan kesehatan masyarakat lainnya, Australia mencatatkan lebih sedikit kematian dari semua penyebab dibandingkan sebelum pandemi.

Analisis dari Biro Statistik Australia (ABS) ini menghitung berapa banyak orang yang diperkirakan meninggal setiap minggu, membandingkannya dengan berapa banyak orang yang benar-benar mati.

Setiap kematian di atas jumlah diharapkan selama dua minggu berturut-turut, disebut sebagai "kematian berlebih".

 

Garis biru adalah perkiraan jumlah kematian dari semua penyebab. Naik-turun setiap musim, memuncak pada akhir musim dingin.

Alasannya tak sepenuhnya dipahami oleh para ilmuwan, tetapi sebagian karena penyakit pernapasan lebih buruk dalam cuaca yang lebih dingin.

Mari kita lihat dampak buruk musim flu di tahun 2017.

Lonjakan besar pada garis merah muda di atas garis biru "kematian yang diperkirakan" disebabkan oleh flu yang membunuh banyak orang.

Menurut ABS, ada 1.566 kematian antara Juli dan September tahun itu, mungkin semuanya disebabkan oleh flu.

 

Tapi lihat saja apa yang terjadi tak lama setelah COVID pertama kali terdeteksi di Australia.

Dengan penerapan lockdown dan langkah kesehatan lainnya, tingkat kematian total menurun secara signifikan di bawah angka perkiraan untuk pertama kalinya sejak 2015.

Para ahli mengatakan bahwa kondisinya mungkin berbalik tahun ini.

Dengan angka 4.500 kematian akibat COVID dalam 12 bulan terakhir, kita kemungkinan akan melihat peningkatan angka kematian total pertama kalinya sejak musim flu yang mengerikan di tahun 2017.

Data ABS baru yang diperoleh ABC News menunjukkan beberapa puncak di atas perkiraan jumlah kematian dalam tiga minggu pada akhir 2021.

Namun karena tidak berurutan, menurut ABS, data tersebut tak memenuhi ambang batas untuk "kematian berlebih".

Menurut Profesor James Trauer dari Monash University, gelombang Omicron telah melewati puncaknya, dan gelombang selanjutnya kemungkinan tidak akan terlalu parah.

Namun, Profesor Brendan Crabb dari Burnet Institute menyebut jumlah kematian tahun ini kemungkinan akan tetap tinggi.

"Kita mencatat 40 atau lebih kematian setiap hari saat ini," katanya.

"Kita bisa saja mencapai angka kematian antara 10.000 dan 20.000 tahun ini," tambahnya.

 

Dalam menilai dampak dari COVID, Profesor Trauer mengatakan tingkat kematian berlebih adalah faktor kunci.

Dia mengatakan bahwa angka tersebut memperhitungkan kematian yang akan tetap terjadi — mungkin disebabkan oleh flu atau hal lain — serta orang yang meninggal "dengan COVID" tapi mungkin bukan "karena COVID".

"Kita perlu secara khusus melihat semua penyebab kematian untuk mendapatkan gambaran tentang seberapa besar permasalahan ini," katanya. Rumus angka kematian 

Melihat kasus di negara lain, angka kematian berlebih di Inggris mungkin bisa jadi petunjuk tentang masa depan Omicron di Australia.

Selama pandemi, semua penyebab kematian di Inggris bervariasi antara kematian berlebih positif dan negatif.

Meskipun kematian yang dilaporkan akibat COVID masih tinggi di Inggris – lebih dari 100 orang meninggal karena COVID setiap hari – saat ini orang yang meninggal karena semua penyebab, angkanya lebih rendah daripada yang biasanya diperkirakan.

Dengan kata lain, jumlah kematian lebih rendah dari yang diperkirakan. Bukan lebih tinggi.

 

Profesor Catherine Bennett, epidemiolog dari Deakin University, mengatakan angka kematian berlebih yang negatif di Inggris sebagian disebabkan oleh COVID pada orang jompo, lemah, atau sakit.

Para ahli mengatakan mungkin juga karena perubahan perilaku — lebih sedikit orang mengemudikan mobil dan mengalami kecelakaan, misalnya.

Namun, mereka menunjukkan bahwa Inggris memiliki 160.000 kematian berlebih di atas angka yang biasanya terjadi selama dua tahun terakhir.

Sebagian besar negara mengalami kelebihan kematian yang signifikan, menurut penelitian Profesor Bennett.

 

Namun, perlindungan terhadap warga Australia yang sangat berhasil bersama pelaporan harian yang konstan tentang jumlah orang meninggal, menurut Profesor Christine Jenkins, telah menciptakan "fobia kematian".

Profesor Jenkins dari Institut George untuk Kesehatan Global berpendapat, kita perlu menerima bahwa orang akan meninggal karena COVID.

"Kita memiliki tingkat kematian yang rendah selama dua tahun terakhir sebagai hasil dari perlindungan yang sangat efektif terhadap penularan COVID," katanya.

"Jadi sekarang kita harus terbiasa bahwa orang memang akan mati. Kita harus menerima keniscayaan itu," ujarnya.

Namun Profesor Nancy Baxter, Dekan Fakultas Kependudukan dan Kesehatan Global di University of Melbourne, tidak sependapat.

"Karena sepertinya kita memutuskan tidak akan peduli lagi. Seorang dokter, saya melihat hal itu mengganggu," katanya.

Profesor Crabb setuju. "Itu hanya alasan untuk menerima jumlah kematian sangat besar yang sekarang kita alami," ujarnya.

Sejauh ini, selama 12 bulan terakhir, COVID telah menewaskan sekitar 80 persen lebih banyak orang daripada diabetes, atau empat kali lipat dari kematian akibat kecelakaan lalu-lintas.

Bila COVID akan membunuh 10 ribu warga Australia tahun ini sebagaimana perkiraan dari Profesor Crabb, apakah jumlah itu terlalu besar? Berapa nyawa tercabut akibat COVID?

Selama pandemi, ketika pejabat kesehatan melaporkan jumlah orang meninggal karena COVID, mereka juga sering menyebutkan usia dan kondisi kesehatan lain yang dialami para korban.

Namun, apakah penting mengetahui berapa usia atau seberapa sakit orang meninggal karena COVID?

"Dengan menyebut semuanya berusia di atas 70 tahun, jadi tak perlu khawatir, hanya orang tua, itu tidak manusiawi," kata Profesor Baxter.

Tapi menurut Profesor Jenkins konteks usia seseorang dan kesehatan yang mendasarinya sangat penting.

"Banyak faktor risiko yang terkait dengan dampak buruk COVID-19, salah satunya adalah usia tua," katanya.

"Perlu adanya penerimaan masyarakat bahwa ada akhir kehidupan yang tepat waktunya bagi sebagian orang," katanya.

Membedakan antara yang tua dan yang muda, antara yang sakit dan yang sehat, sama dengan bagaimana sumber daya kesehatan sering dialokasikan. Menyelamatkan 'usia hidup'

Ketika pemerintah memutuskan pendanaan pengobatan kanker baru, analisis untuk mendukung keputusan itu bukan hanya melihat berapa banyak nyawa yang akan diselamatkan. Tapi juga mempertimbangkan berapa banyak potensi umur akan diselamatkan.

Dalam istilah sederhana, jika sebuah kebijakan menyelamatkan nyawa orang berusia 40 tahun, maka hal itu akan menyelamatkan lebih banyak "usia hidup" daripada jika itu menyelamatkan orang berusia 80 tahun.

Langkah-langkah ini memberi nilai lebih pada kehidupan generasi muda dan mereka yang mungkin hidup lebih lama. Ada yang menyebut hal ini sebagai tindakan diskriminatif.

"Langkah seperti ini sering dianggap merendahkan kehidupan mereka yang kondisi kesehatannya buruk," ujar Dr Leah Rand, ahli bioetika dari Harvard Medical School.

"Jadi bukan tentang nilai hidup seseorang atau apakah hidup mereka berharga atau tidak. Tapi kita mencoba mengukur dampak pengobatan terhadap kesehatan seseorang," jelasnya.

Jadi mungkin pertanyaannya adalah: Seberapa banyak usia hidup yang hilang?

Dengan menggunakan pendekatan ini, Profesor Bennett dan tim dari befrbagai negara menilai berapa usia hidup yang hilang akibat COVID di berbagai negara, dalam periode delapan bulan pertama tahun 2020.

Mereka telah menerbitkan hasil penelitiannya pada bulan Januari lalu.

Mereka menemukan setiap kematian COVID di Australia mengakibatkan hilangnya 2,7 tahun usia hidup.

Di beberapa negara lain banyak orang muda yang meninggal. Di Ukraina, setiap kematian mengakibatkan rata-rata 19,3 usia hidup yang hilang. Di Peru, jumlahnya adalah 15,2 tahun usia hidup.

Profesor Bennett mengatakan rendahnya jumlah usia hidup yang hilang akibat COVID di Australia sebagian besar disebabkan adanya langkah- tegas dalam melindungi penduduk.

"Jika penyakit serius di usia 20-an atau 30-an sangat rendah, dan dikurangi hingga 90 persen, maka angkanya menjadi sangat kecil," katanya.

"Tapi seiring bertambahnya usia, inilah kelompok yang tidak dapat kita lindungi," ujarnya.

Dia mengatakan kegagalan dalam perawatan lansia khususnya di Melbourne juga menurunkan angka itu, karena mengarahkan kematian pada orang tua.

Sebagai perbandingan, kanker membunuh sekitar 49.000 orang di Australia pada 2018, atau total 811.700 tahun usia hidup.

Setiap kematian menghilangkan rata-rata 17 tahun potensi usia hidup.

Cedera menewaskan sekitar 11.000 orang atau 344.655 usia hidup, artinya setiap kematian menghilangkan rata-rata 30 tahun usia hidup.

 

Profesor Jenkins berpendapat bahwa tidak satu pun dari kematian yang boleh dikatakan bisa diterima.

Namun dia yakin pelaporan berkelanjutan seputar angka kasus COVID telah mengeruhkan perspektif publik.

"Kita harus mengatakan bahwa sebagian besar kematian COVID ini terjadi pada orang berusia di atas 80 tahun," tegasnya.

"Kebanyakan orang tidak menyadari fakta sederhana itu. Usia rata-rata orang yang meninggal karena COVID-19 hingga Agustus tahun lalu adalah 84 tahun," ungkapnya.

Profesor Jenkins khawatir tentang dampak ketakutan yang tidak perlu tentang COVID terhadap kualitas hidup dan kesehatan seseorang. Jadi, berapa angka yang bisa diterima?

Profesor Jenkins mengatakan, tidak ada jawaban atas pertanyaan ini.

"Ini lebih menyangkut pertanyaan apakah perawatan yang diberikan kepada orang ini memenuhi standar perawatan? Apakah manusiawi?," ujarnya.

Profesor Bennett sependapat. "Yang biasanya kita tanyakan yaitu seberapa jauh kita bisa menekan jumlah kematian? Langkah apa yang dapat kita lakukan untuk mencapai hal itu?" ujarnya.

Profesor Baxter mengatakan kita perlu perencanaan lebih baik untuk menghadapi COVID yang berkepanjangan.

Misalnya, membangun sistem ventilasi yang lebih baik, serta mengembangkan sistem kesehatan yang mampu mengatasi gelombang infeksi.

Dia menyebutkan cara lain untuk menghadapi COVID adalah dengan meningkatkan kesehatan masyarakat.

Alokasi anggaran negara perlu lebih banyak diarahkan untuk perawatan kesehatan, pencegahan obesitas, kencaduan alkohol, diabetes — semua kondisi kronis yang memperburuk dampak COVID.

"Populasi yang sehat merupakan cara terbaik untuk meningkatkan ketahanan kita terhadap infeksi apa pun sekaligus memperpanjang usia hidup kita," kata Profesor Bennett.

Dan juga mencegah kematian.

  Kredit:

Reporter:

Produksi Digital:

Editing:

Grafik: dan 

Ilustrasi: Emma Machan and Brendan Esposito

Fotografi: Brendan Esposito

Translator:

Simak artikelnya dalam bahasa Inggris di ABC News.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Akselerasi Vaksinasi se-Indonesia, Kapolri: Upaya Persiapan Pandemi ke Endemi

Berita Terkait