Kehilangan Penglihatan, Mimi Mariani Lusli Tetap Gigih di Dunia Pendidikan

Ujian Pakai Mesin Tik, Jadi Sumber Sontekan

Senin, 03 Oktober 2011 – 08:08 WIB
Mimi Mariani.

Meski kehilangan indra penglihatan pada usia 10 tahun, Mimi Mariani tidak mau diperlakukan khususIngin membuka jurusan disability di perguruan tinggi.
 
 DHIMAS GINANJAR, Jakarta
 
ORANG yang belum mengenal Mimi Mariani Lusli pasti tidak menyangka bahwa perempuan kelahiran 17 Desember 1962 itu tunanetra

BACA JUGA: Rumah Majikan Diserang, Nekat Loncat dari Lantai Tiga

Maklum, dia terlihat percaya diri dengan penampilannya yang selalu modis
Dia juga tidak menggunakan tongkat saat berjalan

BACA JUGA: Rara, Wanita Manis Cucu M Arsyad Sanusi yang Masuk Pusaran Kasus Surat Palsu MK


 
Ketika berbincang, dia juga seakan memperhatikan lawan bicaranya
Si lawan bicaranya pun pasti dengan gampang bakal bisa menebak bahwa Mimi adalah perempuan berpendidikan tinggi

BACA JUGA: Pangkostrad, Anak Medan yang Nakal

"Saat ini, saya mengambil gelar doktor di Vrije Universiteit, Amsterdam, yang memiliki kerja sama dengan Universitas Indonesia," ujarnya.
 
Yang lebih istimewa, seluruh jenjang pendidikan hingga memburu gelar kedoktoran di Faculty of Earth and Life Sciences itu ditempuh dengan jalur layaknya orang yang berpenglihatan normalCara Mimi kuliah juga sama, berbaur bersama mahasiswa lain.
 
Hilangnya indra penglihatan perempuan bernama lengkap Veronika Laetitia Mimi Mariani Lusli itu berawal ketika dirinya duduk di bangku SD Candranaya, Jakarta BaratPandangannya mulai kabur saat dia duduk di kelas V SDKatanya, dia mengalami penyakit genetis retinitis pigmentosa atau penyakit degenerasi retina.
 
Penyakit yang cenderung menurun secara genetis itu mengakibatkan degenerasi fotoreseptor retina secara bertahapHingga akhirnya, pada usia 17 tahun, Mimi benar-benar kehilangan indra penglihatan
 
Jauh sebelumnya, tepatnya sejak kelas V SD, dia tidak duduk di bangku sekolahSaat kakak dan adiknya pergi bersekolah, Mimi kecil harus menjalani perawatan di dokter mata dan dokter sarafSelama proses itu berjalan, dia akhirnya bersekolah di Sekolah Tunagrahita Bakti Luhur, Malang, Jawa Timur.  "Saat lulus, saya merasakan sendiri bagaimana sulitnya mencari sekolah lagi bagi tunanetra," imbuhnya.
 
Setelah menyelesaikan pendidikan setara SMP di Malang pada 1982, Mimi melanjutkan di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Santa Maria (1982?1985)Gelar sarjana baru dia peroleh empat tahun kemudian di IKIP Sanata Dharma, JogjaDilanjutkan Master of Sains di Universitas Indonesia (UI) dan lulus pada 1997.
 
Ada kisah lucu saat dia duduk di bangku kuliah, terutama ketika ujian datangMimi yang terbatas dalam melihat itu justru menjadi sumber sontekan bagi teman-temannyaBagaimana tidak, Mimi yang menyelesaikan soal ujiannya melalui mesin tik itu selalu duduk paling depan"Mesin tik memang memudahkan saya saat itu," terangnya.
 
Nah, tipikal kertas yang dimasukkan ke dalam mesin tik yang selalu berdiri tegak membuat jawaban Mimi mudah dilirik temannyaTerutama saat ujian yang bersifat multiple choiceTanpa malu-malu, temannya yang memiliki pancaindra lengkap justru memanfaatkan hal itu untuk menyontek"Lama-kelamaan ketahuan, akhirnya saya dipindah ke bangku paling belakang," kenangnya
 
Keterbatasan justru membuat dirinya memiliki banyak temanBagaimana tidak, Mimi dikenal paling rajin untuk membaca diktat dan memiliki kemampuan mengingat yang tinggiTidak jarang, dia dimintai saran untuk mengerjakan tugas.
 
Dia pun memperoleh manfaat dari pertemanan ituSebab, bagaimanapun, dia tetap membutuhkan pertolonganTerutama, saat ada tugas, Mimi harus bekerja sampai tiga kali dibanding teman-temannya
 
Pertama, dia meminta temannya membacakan bukuKedua, dia membuat jawabannya melalui huruf brailleTerakhir, dia meminta temannya menerjemahkan jawabannya ke huruf latin.
 
Keseriusannya bersekolah membuat Mimi memperoleh beasiswa dari British Council untuk studi Master of International Communication di Leeds University, InggrisSetelah itu, dia sempat tercatat sebagai satu-satunya dosen tunanetra di Universitas Atmajaya, Jakarta"Sekarang sudah bukan dosen tetap, lebih banyak jadi dosen tamu," urainya.
 
Karirnya di dunia pendidikan tidak berhenti di situBerawal dari keprihatinannya terhadap tunanetra atau anak berkebutuhan khusus (ABK) yang tidak bisa berbuat apa-apa, Mimi pun berinisiatif mendirikan sebuah tempat konselingDia menamai tempat itu Mimi Institute yang diberi tagline: Mainstreaming Disability for Better Life.
 
Lembaga yang didirikan pada Desember 2009 tersebut bertujuan membiasakan isu kecacatan ke lingkunganManfaatnya, agar lingkungan lebih ramah terhadap ABKDengan demikian, mereka tidak perlu lagi disembunyikan oleh keluarga"Kalau bicara perempuan, pasti ada yang cacatBicara anak, pasti ada yang cacat," jelasnya.
 
Pemberdayaan orang cacat yang difokuskan di Kompleks Taman Harapan Indah, Jakarta Barat, itu dilakukan dengan tiga caraYakni, konsultasi, pelatihan, dan publikasiDi tempat belajar yang diwarnai ornamen khas anak kecil itu, Mimi dan timnya berusaha membesarkan ABK dan orang tuanya.
 
Orang tua dibesarkan hatinya supaya tidak lagi malu memiliki anak cacatJuga, diajari cara untuk lebih bersabar dalam mendidik ABK, termasuk agar tidak terlalu memanjakannyaSebab, sang anak justru akan semakin sulit diajari sesuatu"Sedikit-sedikit sudah merengekKami jadi sulit mengajari," ungkapnya.
 
Apalagi, orang tua yang datang ke Mimi Institute didominasi mereka yang mengaku sudah lelah mengurus ABKHal itu menyayat hati Mimi karena ABK masih dinilai sebagai anak yang merepotkanSusahnya, orang tua juga tidak memiliki komitmen untuk mendidik anaknya"Di sini tega, tapi sampai rumah tidak tega," ujarnya.
 
Anak pasangan Kuswandi Lusli dan Yuliawati itu sebenarnya ingin orang tua bisa berkomitmenSebab, proses perubahan ABK ke arah yang lebih baik membutuhkan waktu cukup lamaPelatihan intensif bisa memakan waktu minimal tiga bulan, enam bulan, hingga tiga tahun
 
"Di sini ada anak yang menderita learning difficulties yang sejak awal kami binaSekarang kondisinya sudah lebih baik," tuturnya
 
Yang disayangkan lagi, banyak orang tua yang meminta hasil instan kepada MimiBaru dibawa konsultasi beberapa kali langsung meminta hasil signifikanKalau tidak berhasil, ABK menjadi bulan-bulanan dan dipindah dari tempat konsultasinya.
 
Kalau sudah dipindah dari tempatnya, Mimi kelabakanDia mencoba untuk menelepon atau berbicara kepada orang tua sang ABK supaya tetap bisa dilatihBukan masalah uang, tentuSebab, di tempat Mimi, anak yang tidak mampu akan disubsidiDia khawatir, kalau ABK tidak mendapat pelatihan, ujung-ujungnya, mereka disembunyikan orang tuanya.
 
Kondisi Mimi yang tunanetra sebenarnya memberikan keuntungan tersendiri dalam mendidik anak-anak yang bernasib sama dengan dirinyaDia dinilai lebih natural saat mendekati anak-anak ituMimi mengungkapkan, hal tersebut bisa dilakukan karena dirinya merasakan bagaimana pahitnya berbeda dari yang lain"Kebanyakan konselornya bukan ABK," terangnya.
 
Dua tahun lembaga yang didirikannya itu berjalan, Mimi masih menyisakan impian besarDia ingin pembelajaran cara bersikap kepada ABK tidak hanya berhenti sampai orang tuaPerusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang jasa diharapkan bisa menerapkannya pula"Misalnya, hotel saat menghadapi tamu ABK, orang tuli butuh senyum, sedangkan orang buta suaraJangan sampai salah," paparnya.
 
Impian besar lainnya adalah membuka jurusan disability di universitasSetidaknya, diawali dengan diploma 2 atau 3 seperti beberapa perguruan tinggi di luar negeri(*/c5/ttg)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Hanafi Rais, Putra Amien Rais, setelah Kalah dalam Pilkada Jogja


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler