BACA JUGA: Jusuf Kalla Pulang Kampung
Alasannya, rekomendasi Tim 8 itu bertentangan dengan Undang-undang dan Tim 8 dinilai tidak konsisten dalam kasus Bibit dan Chandra."Selama ini yang bilang alat bukti kurang, ada missing link, itu kan rekomendasi Tim 8
BACA JUGA: PPATK Baru Serahkan Sebagian Data ke BPK
Jaksa belum pernah ngomong, penuntut belum pernah ngomong," kata Jaksa Agung Hendarman Supandji, dalam rapat gabungan di Komisi III DPR RI, Kamis (19/11) malam.Secara tersirat, Hendarman pun mengusik independensi Tim 8
BACA JUGA: Pimpinan PBNU Harus Bersih Politik
Ketika itu katanya, klien Adnan terlibat kasus korupsiHendarman yang jadi JPU menuntut sang klien 20 tahun penjaraTapi, Adnan meminta kliennya bebas"Ternyata malah divonis seumur hidup," kata Hendarman, yang lantas disambut tawa sejumlah peserta sidang.Kata Hendarman, yang berhak menentukan alat bukti cukup atau tidak cukup adalah kejaksaan, bukan Tim 8Penyidik di Bareskrim Mabes Polri bertugas mengumpulkan alat bukti dan menggali semua informasiAlat-alat bukti itu kemudian disusun oleh kejaksaan agar bisa dibawa ke pengadilanJaksa yang meramu semua alat bukti itu"Yang menentukan bahwa kasus itu bisa lanjut atau tidak, ya, jaksa," katanya.
Kejaksaan, kata Hendarman, sudah yakin unsur-unsur pemerasan itu sudah terpenuhiDia bahkan menjanjikan ada empat hingga lima alat bukti untuk menjerat dua pimpinan non-aktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu.
Selain itu, Hendarman menuding Tim 8 tidak konsisten dalam rekomendasinyaTim meminta Polri memberi SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) atau Kejaksaan Agung memberi SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan), atau memberi deponeringItu, kata Hendarman, saling bertolak belakang satu sama lain.
SP3 atau SKPP ditetapkan pada suatu kasus apabila kurang alat buktiSementara, deponering diberikan apabila suatu kasus cukup alat bukti, namun karena kepentingan masyarakat luas lebih besar harus dihentikan.
"Bagaimana mungkin Tim 8 menyarankan deponering, pada saat yang sama menyarankan SP3 atau SKPPMereka menyatakan kurang bukti, karena itu harus SP3 atau SKPPTapi mereka juga menyarankan deponeringItu berarti mereka menganggap bukti-bukti lengkapItu kan tidak konsisten," katanya.
Lagipula, kata Hendarman, kasus itu tak cukup syarat diberi deponeringDeponering diberikan untuk kepentingan masyarakat luasHendarman mempertanyakan siapa yang mendefinisikan kepentingan masyarakat ituDia sudah bertemu SBY dan menanyakan apakah kasus ini berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas, dan SBY tak bisa mendefinisikan"Presiden tidak memiliki intuisi untuk menentukan apakah ini berkaitan dengan kepentingan masyarakat atau tidak," katanya.
Kemudian, dia berkonsultasi dengan lembaga tinggi negara yang mewakili kepentingan masyarakat, yakni Komisi III DPR RITernyata, DPR setali tiga uang"Komisi III menginstruksikan untuk terus membawa kasus ini ke pengadilan," katanya.
Tapi, pernyataan itu membuat Ketua Komisi III Benny K Harman tak terimaRupanya, Komisi III ingin "cuci tangan"Dia tak ingin nama Komisi III dibawa-bawaBenny lantas memotong paparan Hendarman dan mengeluarkan dokumen rangkuman kesimpulan rapat antara Jaksa Agung dan Komisi III pada 9 November lalu.
"Kami hanya merekomendasikan untuk menangani dua pimpinan KPK non-aktif sesuai perundang-undangan, dengan memutuskan sesuai kewenangan Kejaksaan RIKomisi III menyerahkan semuanya ke Kejaksaan AgungApakah deponering, SKPP atau dilimpahkan," katanyaHendarman meralat ucapannya"BaiklahDari penjelasan itu memberi 'inspirasi' bagi kami untuk melanjutkan kasusnya," katanya.
Tim 8 juga mengatakan bahwa apabila kasus itu diteruskan, akan lebih banyak mudharat-nyaHendarman pun mempertanyakan ituIa mempertanyakan, siapa yang bisa menentukan suatu kasus banyak mudharat-nya atau manfaatnya"Justru kalau ini dilanjutkan, akan ada banyak manfaat untuk penegakan hukum di Indonesia," katanya.
Dia kembali mempertanyakan istilah "kepentingan masyarakat"Dia lantas bercerita, apabila ada seorang profesor kelas dunia berasal dari IndonesiaKeahlian ilmuwan itu hanya satu di dunia, misalnya mampu membuat obat AIDSNah, suatu ketika sang profesor membunuh istrinyaPasal yang dikenakan 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, diancam hukuman mati"Ini wajar kalau perkara seperti ini mendapat deponering," katanya.
Di tengah paparan, anggota Fraksi PDI Perjuangan Gayus Lumbun menginterupsiDia mencoba mengingatkan bahwa penjelasan Hendarman yang merendahkan peran Tim 8 tidak relevanKata Gayus, Tim 8 dibentuk karena negara dalam keadaan daruratDibutuhkan tim independen pencari fakta kasus Bibit dan ChandraSebab, Kejaksaan Agung dan Polri dinilai berada dalam pusaran dugaan rekayasa kasus tersebut.
"Jaksa Agung harus bisa menjelaskanMissing link di sini itu, apa sudah ditemukan? Apakah sosok Yulianto sudah ditangkap atau bagaimana?" kata Gayus yang juga Ketua Badan Kehormatan DPR itu.
Tapi, Hendarman enggan menjelaskanDia menanggapi keras permintaan Gayus"Saya tidak bisa menjelaskanIni dapurnya penuntutanIni dapurnya JPU (Jaksa Penuntut Umum, Red)Tidak mungkin saya buka di siniSaya disumpah jabatan untuk tidak membukanya," tegasnya sambil memandang ke arah Gayus.
Gayus berontakDia meyakinkan forum bahwa sosok Yulianto tetap harus dijelaskanTapi, forum diamSementara, Benny kemudian mengatakan bahwa tidak relevan mempertanyakan ituGayus lantas berdiri dan menyatakan walk out dari sidang"Keluar dari sidang itu hal biasaTidak perlu kita membuat sensasi seperti itu," kata Benny yang anggota dewan dari Fraksi Partai Demokrat itu(aga)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Angket Jalan, Reshuffle Mengancam
Redaktur : Tim Redaksi