jpnn.com, JAKARTA - Lembaga Pemantau Pengelolaan dan Pendayagunaan Harta Negara (LP3HN) mendesak Kejaksaan Agung RI mengusut tuntas kasus dugaan penambangan dan penjualan timah ilegal yang diduga melibatkan petingggi PT Timah dan BUMN lain yang juga bergerak di bidang pertambangan.
LSM itu menduga praktik ilegal tersebut mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 700 miliar.
BACA JUGA: Usut Kasus Timah, Kejagung Bakal Periksa Sandra Dewi Hari Ini
Ketua Umum LP3HN Saidin Sianipar mengatakan dugaan penambangan dan penjualan timah ilegal itu melibatkan 12 perusahaan yang mendapatkan surat perintah kerja (SPK) dari PT Timah selama tiga bulan, yakni pada periode Januari-Maret 2024.
Adapun modusnya ialah PT Timah melakukan pembelian biji timah dari beberapa perusahaan pemegang SPK sebagaimana sebanyak 618,01 ton dengan harga Rp 220 juta per ton sehingga totalnya mencapai sekitar Rp 135,9 miliar.
BACA JUGA: Kejagung Periksa Empat Pejabat ESDM Terkait Kasus Korupsi Timah PT Timah Tbk
Kemudian, PT Timah pada Maret 2024 kembali membeli 652,73 ton dengan harga Rp 220 juta per ton.
"Total pengeluaran PT Timah selama Januari-Maret 2024 untuk membeli biji timah tersebut senilai Rp 279,56 miliar," ujar Saidin melalui keterangan tertulis, Selasa (28/5).
BACA JUGA: PT Timah Optimasi Zircon, Hasilnya Cukup Menjanjikan
Saidin menjelaskan asal-usul sumber biji timah tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dia pun menyebut transaksi itu melibatkan orang nomor satu di PT Timah dan sebuah BUMN lain.
Menurut Saidin, pembelian biji timah tersebut dilakukan karena para penambang mengatakan bahwa biji timah itu diambil di luar wilayah kerja yang disepakati dalam SPK.
"Setelah transaksi selesai, para penjual barang tidak bisa menjelaskan asal usul sumber biji timah yang dibeli tersebut. Diduga biji timah tersebut hasil dari area penambangan dalam IUP PT Timah," kata Saidin.
Dua menuturkan hasil pemurnian biji timah batangan tersebut tidak bisa dijual di pasar resmi karena ada ketidakjelasan asal-usulnya.
Para pelaku kemudian membuat dokumen palsu tentang asal-usul biji timah itu dengan beberapa alasan.
Pertama, kemungkinan biji timah itu diperoleh dari area SPK, maka polanya tidak jual-beli dan PT Timah hanya memberikan upah kerja, bukan melakukan jual-beli.
Apabila dilakukan jula-beli dengan timah, maka harga pembelian dari lokasi penambangan milik PT Timah sebesar Rp 100 juta per ton.
"Diduga telah terjadi penggelembungan harga yang dilakukan PT Timah dari harga pembelian yang seharusnya Rp 100 juta per ton menjadi Rp 200 juta per ton," ucapnya.
Saidin menduga selisih dari harga yang pembelian tersebut diduga masuk ke kantong pribadi. Sehingga, patut diduga para perusahaan tersebut melakukan penambangan di wilayah hutan lindung secara ilegal yang berdampak kerugian negara secara ekologis dan hilangnya potensi penerimaan negara ratusan miliar rupiah.
Ia menambahkan, bahwa regulasi yang berlaku di perdagangan timah mewajibkan kejelasan asal usul barang sejak dari lokasi tambang sampai di proses pemurnian menjadi timah batangan.
Apabila hal tersebut tidak dapat dibuktikan maka timah batangan tersebut tidak dapat di perdagangkan di pasar resmi.
"Harga timah batangan sekitar US$ 34.000 per ton atau sekitar Rp 550 juta per ton. Total biji timah yang ditambang perusahaan-perusahaan tersebut selama Januari-Maret 2024 sebanyak 1.270,74 ton atau sekitar Rp 700 miliar. Sampai saat ini PT Timah tidak bisa menjual timah batangan tersebut karena ketidakjelasan asal-usul," bebernya.
Ia mengungkapkan, diduga kuat para pelaku melakukan penjualan timah batangan tersebut secara ilegal dengan cara diseludupkan ke luar negeri dengan berbagai cara dengan mengubah bentuk batangan menjadi hasil seni ukir dan lainnya yang menimbulkan kerugian negara sekitar Rp 700 miliar.
"Kami memprakirakan kerugian keuangan sekitar Rp 300 miliar dari pembelian biji timah yang tidak jelas asal usulnya dan kerugian pendapatan Rp 400 miliar dari penjualan ilegal timah batangan yang tidak bisa dijual di pasar resmi. Hancurnya nama baik PT Timah," tegasnya.
Atas adanya dugaan temuin ini, Saidin mendesak Kejaksaan Agung untuk mengusut tuntas kasus ini bekerjasama dengan BPK dan atau BPKP untuk mengaudit pembelian biji timah dan penjualan hasil pemurnian bulan Januari-Maret 2024. Pasalnya, diduga kuat adanya pemalsuan dokumen.
"Saya minta semua dokumen sumber barang dan SPK yang dikeluarkan oleh PT Timah diperiksa. Demikian haknya dengan semua pemilik perusahaan penerima SPK yang merupakan perpanjangan tangan HPS yang diduga merugikan negara," ujar dia.
Menanggapi temuan tersebut, Direktur Utama PT Timah Ahmad Dani Virsal menegaskan bahwa operasional pihaknya telah memenuhi persyaratan berdasarkan regulasi.
"Dan dilaksanakan pada Izin Usaha Penambangan yang dimiliki perusahaan," ujar dia dalam surat klarifikasi yang diterima Redaksi, Kamis (30/5).
Ahmad pun mengungkapkan bahwa pola kemitraan tambang yang dilakukan PT Timah adalah salah satu upaya perusahaan untuk membentuk ekosistem bisnis pertimahan yang sehat.
Upaya ini juga dilaksanakan dengan mengacu kepada perundang–undangan, PP, Permen dan Kepmen ESDM yang terkait dengan
program kemitraan.
Dalam pelaksanaan program kemitraan, lanjut dia, PT TIMAH Tbk telah melakukan pembinaan terhadap mitra yang bertindak tidak sesuai peraturan dan ketentuan yang telah disepakati.
"Bahkan sampai dengan pemutusan hubungan kerja," tegasnya.
Terkait dugaan kerugian negara Rp 700 miliar, dia menyampaikan bahwa PT Timah telah melakuan ekspor menyusul terbitnya persetujuan dari Kementerian Perdagangan pada awal Maret 2024.
"Dimana produk ekspor tersebut telah dilengkapi dengan kelengkapan administratif sampai dengan asal–usul yang terverifikasi," ungkap Ahmad.
Lebih lanjut Ahmad mengatakan PT Timah meyakini setiap persoalan tentang pertimahan adalah sebuah dinamika yang harus diperbaiki.
"Tidak hanya dalam konteks PT Timah Tbk, namun penataan, pelaksanaan bisnis pertimahan yang baik dan komitmen terhadap regulasi haruslah menjadi tujuan kita bersama. Perusahaan meyakini dengan adanya upaya perbaikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dapat menjadi titik balik untuk memperbaiki ekosistem timah
Indonesia," pungkas dia. (dil/jpnn)
Catatan Redaksi: Berita ini telah diubah pada 30 Mei 2024, dengan menambahkan tanggapan dari pihak PT Timah
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif