jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah terus bekerja keras mengumpulkan data transaksi belanja online (e-commerce) dalam waktu dekat.
Langkah itu dilakukan untuk mengukur dampak peralihan dari penjualan offline ke daring (dalam jaringan).
BACA JUGA: Pemerintah Siapkan Aturan Rekam Transaksi Online
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menyatakan, pihaknya memiliki data produksi dan penawaran ke pasar.
Namun, untuk melihat daya beli, BPS membutuhkan data dari payment gateway 300 pengelola belanja online anggota Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA).
BACA JUGA: Kuartal Kedua, Pertumbuhan Industri Hanya 3,54 Persen
’’Kami pernah melakukan survei kecil ke rumah tangga. Hasilnya, 15 persen rumah tangga pernah melakukan transaksi online,’’ urai Kecuk, sapaan akrab Suhariyanto, di gedung DPR, Senin (14/8).
Dia membantah daya beli masyarakat menurun. Meski secara persentase melambat, pertumbuhan konsumsi rumah tangga secara nominal justru meningkat.
BACA JUGA: Luncurkan Urban Sisterhood, JD.ID Makin Fokus Manjakan Perempuan
Pada kuartal pertama lalu, rata-rata konsumsi per kapita hanya mencapai Rp 4,8 juta.
Pada kuartal kedua, rata-rata konsumsi per kapita meningkat menjadi Rp 5,07 juta.
Survei BPS yang menunjukan pola peningkatan pendapatan mengakibatkan porsi belanja online semakin besar.
Hal tersebut menunjukkan bahwa kelas menengah masih melakukan konsumsi. Menariknya, kelas menengah kini lebih mengutamakan liburan daripada belanja.
Sepanjang kuartal kedua lalu, imbuh Kecuk, konsumsi rumah tangga masih tumbuh 4,95 persen secara tahunan (yoy).
Angka tersebut naik tipis jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya 4,94 persen.
Sejumlah subsektor juga tumbuh lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi 5,01 persen.
Misalnya, konsumsi makanan-minuman selain restoran 5,24 persen serta hotel-restoran 5,87 persen.
’’Pertumbuhan konsumsi 4,95 persen itu saya bilang masih kuat dan tidak ada indikasi penurunan daya beli,’’ terang Kecuk.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio juga tak sepakat dengan penurunan daya beli masyarakat.
Dia menilai hanya ada peralihan pola konsumsi. Tito mencontohkan ada sekitar 4,6 juta pembeli makanan melalui aplikasi Go-Jek yang tidak terlacak Ditjen Pajak.
Ekspansi perusahaan konsumer raksasa ke daerah juga memengaruhi pola konsumsi masyarakat kelas menengah ke bawah.
’’Ekonomi menengah ke bawah turun karena orang-orang lebih memilih membeli makanan siap saji,’’ imbuhnya.
Sementara itu, CEO Bukalapak Achmad Zaky menilai pembaruan data ekonomi digital mutlak dibutuhkan.
Alasannya, masyarakat kini leluasa membeli hampir seluruh barang dari toko online, termasuk kendaraan dan perhiasan emas.
’’E-commerce tidak menggeser penjualan ritel, bahkan memberikan alternatif pada UKM untuk berekspansi,’’ lanjutnya.
Secara terpisah, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menilai penurunan daya beli hanya bersifat sementara.
Alasannya, perubahan pola konsumsi hanya bersifat musiman.
’’Penurunan tersebut seasonal saja karena memang perubahan lifestyle,’’ jelasnya. (dee/rin/c22/noe)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Akui Sulit Turunkan Kemiskinan
Redaktur & Reporter : Ragil