Kemajuan Teknologi Digital RRC Berpotensi Hadirkan Ancaman

Selasa, 23 April 2024 – 14:36 WIB
(Ki-ka) Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia Ali Abdullah Wibisono, Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) Dr. Johanes Herlijanto, dan Ketua BEM FIS UNJ Ibra Fabian Dwinata, dalam diskusi bertajuk “China dan Keamanan Siber di Asia Tenggara: Peluang dan Tantangan bagi Indonesia” di Jakarta. Foto: dok. FSI

jpnn.com, JAKARTA - Negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, perlu merespons secara bijak kemajuan teknologi informasi di Republik Rakyat China (RRC).

Pasalnya, meski dapat membawa peluang peningkatan kapasitas digital, China dipandang bisa membawa ancaman siber bagi negara-negara lain.

BACA JUGA: FSI Imbau Anggota ASEAN Bersatu dan Tegas Hadapi Provokasi China di LCS

Hal itu diungkap dalam diskusi bertajuk 'China dan Keamanan Siber di Asia Tenggara: Peluang dan Tantangan bagi Indonesia' yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (BEM FIS UNJ) bersama Forum Sinologi Indonesia (FSI), Jakarta, Senin (22/4).

Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI) Ali Abdullah Wibisono menjelaskan bagaimana China, di era kekinian makin mengandalkan kekuatan digital.

BACA JUGA: Etnik Tionghoa Sepenuhnya Bagian dari Indonesia, Ketua FSI Beber Sejarahnya

"China menjalankan operasi siber untuk melakukan peretasan data dari negara-negara Barat,” ungkap Wibisono.

Menurut Wibisono, China menganggap perlu melakukan pertempuran siber untuk meningkatkan kekuatan digital sebagai respons terhadap penetrasi sistem yang dilakukan oleh negara-negara barat.

BACA JUGA: FSI: Gagasan GSI dari China Perlu Disikapi dan Diwaspadai, Hati-Hati!

"Informasi yang dibocorkan oleh Edward Snowden pada 2013, menciptakan persepsi ancaman dalam diri pemerintah China terhadap potensi ancaman dari Amerika Serikat,” tuturnya.

Dia pun mengimbau otoritas terkait untuk bersikap tegas terhadap segala ancaman siber, baik dari China, maupun dari negara-negara lainnya.

"Indonesia tidak bisa mengandalkan norma siber global yang belum secara eksplisit melarang serangan siber oleh satu negara terhadap negara lain. Pencegahan dan pemulihan pasca serangan siber adalah tanggung-jawab masing-masing negara," bebernya.

Sementara itu, Ketua FSI Johanes Herlijanto beranggapan bahwa Indonesia perlu terus mengamati perkembangan teknologi digital di RRC.

Perkembangan teknologi ini terkait erat dengan komitmen China mengembangkan apa yang Presiden Xi Jinping sebut sebagai “Kekuatan Produktif Kualitas Baru” (New Quality Productive Forces).

Merujuk pernyataaan seorang sarjana di China, Johanes menjelaskan bahwa “Kekuatan Produktif Kualitas Baru” adalah produktivitas maju yang didorong oleh terobosan teknologi revolusioner, alokasi faktor produktif secara inovatif, peningkatan, dan transformasi industri secara mendalam.

“Istilah ini melatarbelakangi pernyataan Perdana Menteri Li Qiang pada Maret 2024, China akan berupaya meningkatkan kemandirian dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek)," ujar Johane Herlijanto.

Johanes memprediksi bahwa komitmen di atas akan mendorong China makin meningkatkan kemampuan teknologi nya, termasuk teknologi informasi.

Pada sisi lain, China juga tertarik untuk terlibat dalam pengembangan infrastruktur digital di negara-negara lain, termasuk Indonesia, melalui platform yang disebut sebagai 'jalan sutra digital'.

“Platform-platform media sosial asal China telah dicurigai melakukan pengumpulan data, baik di negara-negara Barat maupun di Indonesia. Demikian juga dengan peretas-peretas dari China, pernah diduga melakukan serangan-serangan siber bukan hanya di negara negara Barat, tetapi juga Asia Tenggara,” ungkapnya. (jlo/jpnn)


Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler