jpnn.com, JAKARTA - Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel berharap Polri transparan dalam mengusut kematian Bripda Ignatius Dwi Frisco Sirage atau Bripda IDF yang diduga tewas tertembak akibat kelalaian senior saat memperlihatkan senjata api rakitan ilegal.
Reza meminta Polri terbuka menjelaskan kelalaian seperti apa yang menyebabkan tewasnya Bripda IDF di Rusun Polri Cikeas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat tersebut.
BACA JUGA: Inilah yang Bikin Keluarga Curiga Bripda IDF Dibunuh Secara Terencana
"Kelalaiannya seperti apa? Perlu dibuka. Pertanyaan ini muncul karena di organisasi kepolisian kerap dikenal 'Blue Curtain Code', Kode Tirai Biru,” kata Reza saat dihubungi di Jakarta, Minggu (30/7).
Dia menjelaskan bahwa Kode Tirai Biru ini adalah kecenderungan untuk menutup-nutupi kesalahan korps.
BACA JUGA: Kasus Korupsi di Basarnas, Chandra Singgung Pasal 200 UU Peradilan Militer
Temuan tentang adanya ‘kode senyap’ (Kode Tirai Biru) tersebut menurutnya kontras dengan pernyataan polisi yang akan selalu transparan dan objektif dalam pengungkapan kasus.
Terlebih lagi, baru setahun yang lalu publik dihebohkan oleh tragedi pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J oleh atasannya sendiri, yakni mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo.
BACA JUGA: Ini yang Dilakukan 18 Pasangan Bukan Suami Istri saat Kena Razia di Indekos, Hmmm
Peristiwa Duren Tiga itu dinilai Reza memperlihatkan potret kekejaman senior terhadap junior yang sempat ditutup-tutupi peristiwanya dan faktanya hingga akhirnya keluarga Brigadir J dan warganet bersuara, barulah transparansi dan objektivitas dilakukan serius, hingga Kode Tirai Biru tersibak.
Oleh karena itu, pria yang pernah mengajar di PTIK/STIK itu mendorong Polri membentuk tim investigasi yang melibatkan pihak eksternal guna menjawab prasangka pihak keluarga yang menduga Bripda IDF dibunuh secara terencana, ditambah rasa skeptisme masif di publik.
Akan tetapi, dia tidak merekomendasikan Polri melibatkan Kompolnas sebagai pihak eksternal dalam tim investigasi tersebut, karena catatan sejarah di kasus pembunuhan Brigadir J mencatat bahwa Komisi Kepolisian Nasional malah mengiyakan 'investigasi' Polres Jakarta Selatan bahwa tewasnya Yosua akibat baku tembak.
Reza menyebut pelibatan unsur eksternal di luar Kompolnas dalam investigasi kematian Bripda IDF adalah harga mahal yang harus dibayar Polri untuk memulihkan kepercayaan masyarakat.
"Apa boleh buat. Ini contoh harga mahal yang terpaksa harus Polri bayar akibat krisis kepercayaan publik," kata penyandang gelar MCrim dari University of Melbourne Australia itu.
Bicara kelalaian yang disampaikan Polri di kasus tewasnya anggota Densus 88 Bripda IDF, Reza menyebut pihak keluarga bisa saja melayangkan gugatan kepada Polri sebagaimana lazim dilakukan masyarakat di negara-negara Barat.
"Di Barat, sudah sering warga menggugat polisi atas police misconduct," ucapnya.
Dia menyebut kelalaian pun bisa menjadi materi gugatan. Demi menghindari proses hukum, polisi biasanya pilih memberikan kompensasi langsung ke keluarga korban.
Namun menurut Reza, untuk mengetahui siapa pihak yang harus digugat, apakah personel yang lalai atau institusi kepolisian, maka Polri perlu memperjelas bentuk kelalaian yang menyebabkan Bripda IDF tewas tertembak.
"Tergantung bentuk kelalaiannya. Karena itulah saya tadi berpesan, jelaskan bagaimana bentuk kelalaiannya," ujar Reza.
Sebelumnya, Bripda IDF tewas tertembak akibat kelalaian rekan kerjanya yang memperlihatkan senjata api rakitan ilegal pada Minggu (23/7) di Rusun Polri, Cikeas.
Dua anggota Polri dari Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri ditetapkan sebagai tersangka, yakni Bripda IMS dan Bripka IG. mereka dinyatakan melanggar kode etik kategori pelanggaran berat serta tindak pidana Pasal 338.
Bripda IMS dikenakan Pasal 338 atau Pasal 359 KUHP dan atau Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951. Sedangkan untuk tersangka Bripka IG dikenakan Pasal 338 Juncto Pasal 56 dan atau Pasal 359 KUHP Juncto Pasal 56 KUHP dan atau Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
Keduanya terancam pidana hukuman mati, atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya 20 tahun.(antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam