Kemdagri Klarifikasi Tujuh Qanun Aceh

Rabu, 17 Desember 2014 – 09:05 WIB

jpnn.com - JAKARTA – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat sedikitnya terdapat tujuh qanun atau peraturan daerah dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), yang tengah diklarifikasi karena diduga bertentangan dengan perundang-undangan yang berada di atasnya.

Menurut Kepala Biro Hukum Kemendagri, Widodo Sigit Pudjianto, dua dari ke tujuh qanun tersebut masing-masing Qanun Jinayah dan Qanun Tata Ruang Aceh.

BACA JUGA: Terserang Asma, Ketua KPU Simalungun Meninggal di Yogyakarta

“Qanun Aceh sedang kita klarifikasi lagi. Kalau enggak salah ada tujuh, misalnya ada Qanun Jinayah dan Qanun Tata Ruang. Kalau dia (qanun,red) dimasukkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014, maka kita pakai undang-undang yang lama (UU Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemda)," ujarnya di Jakarta, Selasa (16/12).

Sigit memaparkan, dalam melakukan evaluasi Kemendagri masih memberlakukan dua mekanisme. Artinya, kalau Qanun Jinayah dan Qanun Tata Ruang Aceh diterbitkan dan diminta untuk ditinjau saat rezim UU Nomor 32 Tahun 2004 masih berlaku, maka berlaku evaluasi dan klarifikasi.

BACA JUGA: Wako-Wawako Berseteru, Ini Beragam Komentar Warga Siantar

“Artinya, evaluasi dilakukan sebelum perda diberlakukan. Oleh DPRD dan kepala daerah, dibawa ke tingkat atasnya untuk dikonsultasikan. Kalau cocok, dilanjutkan. Kalau enggak cocok, dicoret. Untuk perda kabupaten dibawa ke provinsi, sementara perda provinsi dibawa ke Kemendagri. Kalau klarifikasi artinya perda dibawa ke atasannya, diperiksa ada yang cocok atau tidak. Kalau tidak cocok, dicoret, suruh ganti. Setelah selesai, dikirimkan ke daerah, dikasih nomor register,” katanya.

Sementara itu jika qanun diterbitkan setelah rezim Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 terbit, maka berlaku mekanisme evaluasi dan pembatalan. Artinya, tidak ada klarifikasi. Sehingga ketika ada yang tidak tepat, Kemdagri akan langsung mencoret pasal-pasal yang dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya.

BACA JUGA: Mertua Tidak Tahu Harta Warisan Diagunkan untuk Biaya Pilkada

“Pasal berapa yang salah, coret. Pasalnya tidak boleh berlaku. Nah untuk rezim UU 23 Tahun 2014 ini belum ada yang ditolak. Tapi sudah ada beberapa (permintaan evaluasi Perda) yang masuk. Ini nanti kita pakai rezim yang baru. Baik itu dari Aceh maupun dari daerah lain, akan kita gunakan rezim baru. Artinya kalau bertentangan, saya rapatkan dengan kementerian/lembaga terkait, kalau salah langsung dicoret,” katanya.

Meski begitu, Sigit belum memapar apakah permintaan evaluasi terhadap ke tujuh qanun Aceh, dimasukkan ke Kemendagri setelah UU Nomor 23 berlaku, atau masih di bawah rezim UU Nomor 32 tahun 2004. Ia hanya menargetkan evaluasi di Kemdagri akan dilaksanakan selama 25 hari kerja.

“Idealnya 10-15 hari kerja. Tapi saya nggak mau janji terlalu muluk. Makanya saya patok dulu 25 hari kerja untuk membatalkan Perda. Begitu saya terima, maka targetnya 25 hari itu sudah ada hasil apakah mau ditolak atau diterima untuk dibatalkan,” katanya.

Sebagaimana diketahui, DPRA Aceh mengusulkan penerapan qanun jinayah atau hukum pidana syariah Islam, diberlakukan untuk non-Muslim yang bermukim di Aceh. Usulan terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (DPRU) antara Komisi G DPRA, dengan elemen masyarakat di Banda Aceh, Sabtu (6/9) lalu.

Dalam Hukum Jinayah Pasal 3 ayat 2, disebutkan yang termasuk jarimah meliputi khamar (minuman keras), maisir (judi), khalwat (perbuatan tersembunyi antara dua orang berlainan jenis yang bukan mahram), ikhtilath (bermesraan antara dua orang berlainan jenis yang bukan suami istri), zina, pelecahan seksual, dan pemerkosaan.

Juga terkait perbuatan qadzaf (menuduh orang melakukan zina tanpa dapat mengajukan paling kurang empat saksi), liwath (homo seksual), dan musahaqah (lesbian). Bagi pelanggar ayat tersebut, diberlakukan hukuman cambuk mulai dari 10 kali hingga 150 kali, termasuk berlaku bagi non-Muslim di Aceh.

Sementara itu terkait Qanun Tata Ruang, Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur, sebelumnya mengatakan, Qanun Tata Ruang Aceh mengabaikan pengaturan wilayah kelola mukim sebagai wilayah hak asal usul masyarakat adat di Aceh. Padahal wilayah kelola masyarakat diakui dalam putusan Mahkamah Konstitusi.

Selain itu terjadi pula pengurangan luas hutan Aceh, tim terpadu menyetujui Aceh mengubah fungsi hutan seluas 145.982 hektar, termasuk hutan lindung dan konservasi menjadi areal penggunaan lain (APL) seluas 79.179 hektar.

Lalu, penunjukan kawasan hutan baru seluas 26.465 hektar. Karena itu kemudian Walhi menilai keberadaan qanun tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya.(gir/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dulu Mesra, ke Toko Baju pun Bersama


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler