jpnn.com, JAKARTA - Wacana revisi Peraturan Pemerintah 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi kesehatan yang digulirkan kemenkes, tidak mendapat dukungan Kemenko Perekonomian.
Asisten Deputi Pengembangan Industri Kemenko Perekonomian Atong Soekirman menjelaskan, pihaknya melihat kebijakan tersebut dari beberapa sisi, termasuk industri dan penerimaan negara.
BACA JUGA: NU Imbau Pemerintah Adakan Kajian Sebelum Larang Rokok Elektrik
“Kami melihat dari sisi tenaga kerja. Jika tidak hati – hati, aturan yang keliru bisa menciptakan pengangguran. Jadi kami belum sepakat,” tutur Atong Soekirman dalam pernyataan resminya, Senin (18/11).
Dijelaskan Atong, produktivitas Industri Hasil Tembakau (IHT) terus menurun setiap tahunnya. Adanya tambahan tekanan berupa kebijakan yang keliru dapat berdampak negatif pada industri tersebut dan semakin membuat industri terpuruk.
BACA JUGA: Penggabungan Produksi SKM dan SPM Memberatkan Industri Rokok
Selama beberapa tahun terakhir, IHT terus mengalami banyak tekanan dari berbagai sisi, khususnya regulasi yang berlebihan. Baru-baru ini pemerintah, melalui PMK No. 152/2019, memutuskan untuk menaikan tarif cukai yang sangat tinggi sebesar 23% dan harga eceran sebesar 35% yang akan diberlakukan mulai Januari 2020. Kenaikan ini merupakan kenaikan tertinggi dalam 10 tahun terakhir.
Tekanan pada industri ini tentunya akan mengancam seluruh mata rantai produksi yang terlibat. Mulai dari tenaga kerja dan bisnis di bidang perkebunan, baik itu para petani tembakau dan cengkih; para tenaga kerja pabrikan; hingga pekerja dan pemilik toko ritel; serta lini usaha lain yang terkait.
BACA JUGA: APTI Ingatkan Pemerintah, Jangan Sampai Industri Rokok Hancur
Selama lima tahun terakhir, terdapat lebih dari 90 ribu tenaga kerja pabrikan yang telah mengalami PHK. Angka ini dikhawatirkan akan terus bertambah sejalan dengan ketidakpastian hukum yang membayang-bayangi industri padat karya ini.
Atong menambahkan, PP 109/2012 yang saat ini diberlakukan masih relevan. Justru Kementerian Kesehatan seharusnya melihat pasal - pasal yang sifatnya wajib tetapi belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik pada PP tersebut sebagai prioritas. Misalnya melaksanakan program upaya menurunkan prevalensi anak terhadap rokok.
Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), M. Nur Azami menilai, rencana revisi PP 109 hanya akan mengancam eksistensi Industri Hasil Tembakau (IHT), baik dari sisi keberlangsungan usaha maupun penyerapan tenaga kerja.
“Usulan revisi PP 109/2012 tersebut belum pernah disosialisasikan kepada stakeholder di sektor IHT. Selain itu, tidak dijelaskan pasal-pasal yang akan diubah," ujar Nur Azami.
Nur berpendapat, aturan produk tembakau sudah cukup ketat karena mengatur promosi produk, iklan, serta tidak menjangkau anak di bawah umur.
"Aturan tersebut tidak perlu direvisi, kecuali revisi tersebut melibatkan stakeholder dan pasal-pasal di PP 109/2012 tidak memberatkan sektor industri hasil tembakau," tambah Nur. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad