Penggabungan Produksi SKM dan SPM Memberatkan Industri Rokok

Sabtu, 17 Agustus 2019 – 02:04 WIB
Sejumlah buruh pabrik rokok sedang bekerja. Ilustrasi Foto: DONNY SETYAWAN/RADAR KUDUS

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya Sulami Bahar mengaku tidak setuju terhadap wacana penggabungan volume produksi rokok sigaret keretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) untuk diterapkan pada kebijakan cukai yang akan datang.

Menurut dia, penggabungan volume produksi SKM dan SPM yang merupakan bagian dari wacana penyederhanaan cukai hasil tembakau akan menciptakan persaingan tidak sehat di antara industri tembakau.

BACA JUGA: Gapero Surabaya Beri 4 Solusi Kebijakan Cukai 2020

“Kami sangat tidak setuju dengan penggabungan volume produksi SKM dan SPM maupun simplifikasi karena sangat memberatkan industri, terutama industri kecil,” ucapnya, Jumat (16/8).

BACA JUGA: Bea Cukai Batam dan Kepri Sikat Kapal Pembawa Rokok Ilegal

BACA JUGA: Batas Produksi SKM dan SPM Mestinya Digabung

Dia menjelaskan, dalam industri golongan menengah dan kecil yang mana volume produksinya masih rendah, penggabungan SKM dan SPM akan memaksa mereka naik ke golongan yang lebih tinggi.

Sulami menambahkan, hal tersebut membuat tarif cukai dan harga jual eceran (HJE) menjadi ikut melonjak.

BACA JUGA: Simplifikasi Cukai Dinilai Ancaman Bagi IHT

“Dalam konteks persaingan usaha, dampak tersebut akan melemahkan pemain di industri kecil dan menengah, tetapi menguntungkan industri besar yang sudah dominan di segmen SKM maupun SPM,” ucapnya.

Menurut dia, sebaiknya pemerintah juga tidak menerapkan penyederhanaan cukai tembakau.

Sulami menilai struktur tarif cukai tembakau pada saat ini yang terdiri dari sepuluh golongan sudah mencerminkan kondisi IHT yang terdiri dari 437 pelaku industri dengan rentang variasi produksi sangat variatif dan luas.

“Simplifikasi struktur tarif cukai akan menyebabkan terpukulnya pabrik golongan kecil dan menengah yang akan berakibat pada hilangnya lapangan pekerjaan dan semakin maraknya rokok ilegal,” terangnya.

Tenaga kerja juga menjadi perhatian Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM-SPSI).

“Regulasi yang dikeluarkan pemerintah atas tembakau akan berdampak pada keberlangsungan perusahaan hasil tembakau. Jumlah industri hasil tembakau yang makin berkurang tentu akan memengaruhi tenaga kerja yang ada,” jelas Ketua FSP RTMM-SPSI Sudarto.

Sebelumnya, penolakan penggabungan volume juga pernah disampaikan Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI).

Gapero memberikan beberapa saran kepada pemerintah untuk kebijakan cukai di tahun 2020.

Pertama, sigaret keretek tangan (SKT) yang merupakan industri padat karya perlu di berikan insentif tambahan dalam bentuk perluasan batas jumlah produksi khususnya industri golongan II dan III serta preferensi tarif cukai dan HJE untuk semua golongan.

Kedua, kenaikan tarif dan HJE berdasarkan pada inflasi. Ketiga, pengendalian harga transaksi pasar (HTP) dengan pembatasan minimum 85 persen dari harga jual eceran (HJE) tetap dipertahankan oleh pemerintah.

“Merujuk hasil riset Nielsen, pada April 2018 terjadi penurunan volume industri rokok sebesar tujuh persen. Pemerintah hendaknya bijak dalam menyikapi kondisi industri hasil tembakau (IHT) saat ini,” tuturnya. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tarif Cukai Rokok Kompleks, Produsen Bisa Lakukan Kecurangan


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler