jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Kemenkominfo) bersama Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi dan mitra jejaringnya di Seminyak, Bali meluncurkan 58 buku hasil kolaborasi literasi digital.
Buku-buku itu diterbitkan untuk memperkuat literasi masyarakat tentang teknologi digital dan pemanfaatannya secara positif.
BACA JUGA: Kemenkominfo Gelar Webinar untuk Tingkatkan Literasi Digital Pelajar
"Kebebasan berekspresi ini enggak bisa dipisahkan dengan etika dan toleransi, mereka ini harus jadi satu," kata kata Dewan Pengarah GNLD Siberkreasi Donny Budi Utoyo dalam siaran persnya, Selasa (16/8).
Menurut Donny, toleransi yang ada saat ini merupakan hasil dari tingkat literasi yang tinggi dan kebebasan berekspresi.
BACA JUGA: Dunia Hadapi Krisis Pangan, Dirjen Kemenkominfo: Kuncinya Sinergitas
Tingkat toleransi makin tinggi jika apresiasi dan etika itu ada ketika berpendapat.
"Buku-buku ini bisa diunduh secara bebas dan gratis oleh masyarakat melalui situs literasi digital," tambah Donny.
BACA JUGA: Kemenkominfo-Siber Kreasi Gelar Pelatihan Literasi Digital untuk Masyarakat di Kota Ini
Ada tujuh mitra jejaring yang berkolaborasi dalam peluncuran buku ini, yaitu CfDS (Center for Digital Society) Universitas Gadjah Mada, Common Room, Hipwee, Klinik Digital Universitas Indonesia, ICT Watch, MAFINDO, dan Relawan TIK.
Hal itu agar masyarakat bisa menggunakan buku-buku literasi digital secara masif untuk pendidikan.
"Buku-buku yang diluncurkan merupakan bentuk dari riset tentang perubahan-perubahan sosial yang disebabkan oleh transformasi digital," kata Amelinda Kusumaningtyas dari CfDS (Center for Digital Society) Universitas Gadjah Mada (UGM).
Selain itu, ada juga buku tentang ekonomi digital yang menjelaskan tentang pemanfaatannya seperti apa, implikasi pada pemberdayaan perempuan dan inovasi digital terbentuk ketika COVID-19 terjadi.
Ada juga buku yang membahas tentang doxing atau penyebaran informasi pribadi seseorang di internet tanpa izin.
"Apa pun alasannya, perundungan di dunia maya bukan suatu hal yang bisa dijustifikasi. Dari itulah kami membahas kira-kira langkah apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan awareness dan mencegah cyberbullying," kata Amelinda.
Perwakilan dari Common Room Erni Sulistyowati menjelaskan secara singkat tentang 10 buku yang dibuat dengan tujuan untuk membantu menurunkan kesenjangan digital di Indonesia.
Ada buku yang membahas tentang peningkatan kapasitas di bidang teknologi informasi, pemanfaatan digital, kebijakan dan regulasi, serta tentang pembelajaran teknologi informasi dan layanan berbasis komunitas.
"Semoga buku ini juga bisa berkontribusi untuk menyelesaikan kesenjangan digital di Indonesia, khususnya pedesaan dan daerah terpencil," kata Erni.
Sementara itu, Indriyatno Banyumurti selaku ketua ICT Watch menjelaskan buku-buku soal edukasi menggunakan internet yang baik.
Ada tiga buku yang membahas tentang #JagaPrivasi, Manajemen Strategi Komunikasi dalam mengelola media sosial selama pandemi, dan tantangan utama transformasi digital Indonesia yang berhubungan dengan DEWG (Digital Economy Working Group) G20 saat ini.
"Dari buku-buku ini juga, bisa diukur seberapa buruknya setiap individu menjaga privasi," ujar Indriyanto.
Ada juga buku-buku yang dihasilkan oleh tim Jaringan Pegiat Literasi Digital (JAPELIDI), yang membahas tentang panduan dan bagaimana posisi perempuan di dunia daring secara cermat dan bermedia sosial secara bijak.
Tim JAPELIDI membuat 15 buku yang terbagi menjadi buku kolaborasi, buku panduan, dan buku khusus yang mengajarkan empat pilar literasi digital.
Tim Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) menyajikan tentang buku berjudul "Membangun Resiliensi dalam Gejolak Pandemi", yang membahas tentang kisah dan tantangan dialami oleh sukarelawan ketika Covid-19 terjadi.
Buku tersebut dibuat berdasarkan riset yang harapannya bisa menjawab masalah-masalah dan mendorong semangat kerelawanan.
"Tantangan tidak hanya soal pendidikan, tetapi setiap daerah pasti punya tantangannya sendiri-sendiri termasuk saat pandemi dengan pembelajaran secara online atau jarak jauh yang biasanya kita lakukan secara offline," jelas Nuril Hidayah.
Mahabatis Shoba, sukarelawan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) mengatakan kebebasan berpendapat dan berekspresi, juga harus diiringi dengan beretika di dunia maya dan nyata. (esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemenkominfo Ajak Pelajar Melek Literasi Digital Berbasis Kearifan Lokal
Redaktur : Dedi Sofian
Reporter : Mesyia Muhammad