jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Holtikultura memberikan startegi untuk menghadapi dampak perubahan iklim antara lain berupa antisipasi, adaptasi, dan mitigasi di sektor holtikultura.
Hal tersebut diungkapkan langsung oleh Direktur Jenderal Hortikultura Kementan, Prihasto Setyanto dalam siaran persnya, Jumat (19/11).
BACA JUGA: Kementan Bahas Pengembangan Hortikultura Melalui SEAVEG 2021 yang Diikuti 6 Negara
Menurut dia, antisipasi berupa pengajian terhadap perubahan iklim untuk meminimalkan dampak negatif terhadap sektor pertanian.
"Adaptasi berupa penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi dampak perubahan iklim, dan selanjutnya mitigasi yaitu usaha dalam mengurangi risiko terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca,” ujar Prihasto.
BACA JUGA: Kementan Dorong Pemasaran Produk Hortikultura Melalui Pasar Lelang
Dia menjelaskan, teknologi 4.0 di bidang pertanian menjadi suatu hal yang penting menghadapi perubahan iklim.
Teknologi berkembang dengan tujuan untuk menghindari risiko kerugian dalam budi daya pertanian yang berkaitan dengan perubahan iklim seperti gagal tanam dan serangan hama.
BACA JUGA: Kementan Genjot Produksi Bawang Merah, Ada Trik Menanam Saat Musim Hujan
Salah satu mahasiswa dari Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada Bayu mengatakan ada sejumlah masalah yang dihadapi dari perubahan iklim yang berakibat kerugian ekonomi.
Pertama, kata dia, karena masalah level informasi terkait dengan cuaca hanya sampai kecamatan, padahal cuaca sangat fluktuatif.
"Ini berpengaruh pada cara budi daya-nya. Selanjutnya dari literasi, pengetahuan tentang iklim yang harus diketahui dan dibaca oleh para petani,” ungkap Bayu.
Kebutuhan teknologi dalam menghadapi perubahan iklim bisa berupa prediksi cuaca, jumlah air, kondisi tanah dengan pemasangan sensor, waktu pemupukan, jumlah pemupukan, cara menghadapi, dan menangani serangan hama.
Informasi yang didapat melalui sensor tersebut harus dapat dipahami oleh petani dan diakses secara realtime. Selain digunakan pada sisi budi daya, teknologi smart farming bisa diterapkan juga sebagai penduga emisi gas rumah kaca.
“Pengukuran dan pendugaan emisi gas rumah kaca juga merupakan suatu hal yang penting di dalam upaya untuk menentukan strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim,” tambah Bayu.
Salah satu praktisi teknologi irigasi tetes komoditas hortikultura pada lahan kering, Yance mengatakan banyak lahan di Indonesia yang tidak dimaksimalkan secara baik akibat iklim dan ketersediaan air terbatas.
“Masalah selanjutnya, petani di Indonesia 90 persen berusia di atas 47 tahun. Sangat sedikit generasi muda dan anak petani yang ingin melanjutkan profesi orang tuanya," kata Yance
"Pola pertanian masih mempertahankan sistem pertanian konvensional atau lebih mengandalkan tenaga kerja manusia dan petani tidak mengetahui analisis unsur hara tanah,” sambungnya.
Yance melanjutkan bahwa dengan didukung smart farming membuat petani dapat mengetahui sensor ph tanah dan kelembapan, sensor suhu, perkiraan cuaca, kontrol pengairan, sensor NPK, dan water flow.
Pemanfaatan teknologi di lahan menjadi poin penting dalam peningkatan produktivitas pertanian dan akan berpengaruh pada kesejahteraan petani.
Namun, dalam pemanfaatannya diperlukan teknologi yang mencapai skala mikro atau lokal agar lebih bermanfaat dan tepat jika digabungkan dengan berbagai teknologi pendukung lain. (mrk/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kementan Raih Penghargaan Top Government Public Relations Award 2021
Redaktur : Dedi Sofian
Reporter : Dedi Sofian, Dedi Sofian