Kementerian Baru dan Masa Depan Kebudayaan

Oleh Fathan Mubarak*

Kamis, 24 Oktober 2024 – 08:32 WIB
Kementerian Kebudayaan. Ilustrasi. Foto: source for JPNN

jpnn.com - Sejarah kebudayaan di Nusantara setidaknya dimulai sejak lima puluh ribu tahun lalu—ketika Homo Wajakensis diketahui pernah hidup di Tulungagung.

Saat itu, nenek moyang orang Indonesia sudah ada di wilayah Asia Tenggara dan sebagian dari mereka bergerak ke Amerika lewat Selat Bering.

BACA JUGA: Kementerian Kebudayaan Hilang dari Skenario Kabinet Prabowo-Gibran, Pelaku Seni Resah

Pada 8.000-6.000 SM, Zaman Es berakhir. Paparan Sunda tenggelam. Sumatra, Jawa, Kalimantan, yang semula menyatu dengan daratan Asia, terpecah menjadi pulau-pulau terpisah.

Dalam hipotesa Oppenheimer, berakhirnya Zaman Es membuat orang Austronesia, termasuk nenek moyang orang Indonesia, menyebar ke seluruh dunia dari Asia Timur hingga Amerika Selatan dengan membawa ilmu tani dan irigasi.

BACA JUGA: Ketua BKSAP Fadli Zon Temui Presiden Majelis Umum PBB, Serukan Reformasi

Salah satu yang mendapat pengaruh adalah Peradaban Sumeria pada sekitar 5.000 SM.

Pada saat yang sama, kebudayaan Gunung Padang muncul di Cianjur, peradaban Goa Pawon muncul di Bandung, hingga memasuki abad pertama masehi.

BACA JUGA: Respons Fadli Zon Soal Demo Penolakan Revisi UU Penyiaran

Peradaban Teluk Lada muncul di pantai barat pulau Jawa. Lalu kita menyaksikan abad yang berlari dimana kerajaan-kerajaan di Nusantara lahir-mati silih berganti.

Barangkali sejarah memang diakronis dan memanjang dalam waktu. Namun, apa yang disebut kebudayaan Indonesia hari ini, lebih tampak sebagai penggalan-penggalan narasi yang seringnya patut dicurigai.

Foucault menyebut itu sebagai governmentality. Sayangnya kita tidak bisa misalnya menyeru “ar-ruju’ ila al-Qur'an wa as-Sunnah" sebagaimana sering terdengar dari kalangan Islam puritan.

Sebab apa yang disebut “sumber” dalam perbincangan sejarah-budaya Indonesia, terlampau cecer dan rombeng.

Baik dari penelitian Jared Diamond maupun riwayat merapi kita tahu ada banyak peradaban hancur karena faktor lingkungan.

Kerajaan Tambora, Sanggar, Pekat, semua musnah sebagaimana Kota Pompei di hadapan ledakan Vesuvius.

Di Dieng pada April 1955, Dukuh Legetang dalam satu malam berubah menjadi bukit karena tertimpa longsoran Gunung Pengamun-amun.

Begitu juga dengan 21 desa yang kini menjadi genangan lumpur Lapindo. Kita pun mengerti mengapa dulu Mpu Sindok melakukan eksodus besar-besaran ke arah timur dan Jawa bagian tengah menjelma menjadi kuburan imperium.

Kita memang tidak boleh menyerah pada pendapat yang menyebut Keraton Majapahit mengalami moksa.

Riwayat penemuan benda-benda purbakala turut membuktikannya. Pada 1814, seorang tentara Belanda bernama Thedorf Van Elf menemukan candi Arjuna di dalam genangan sebuah telaga.

Candi Borobudur ditemukan seorang kapiten China di Yogyakarta dalam rupa bukit yang kemudian dieksplorasi oleh Raffles.

Begitu juga dengan situs Liyangan yang ditemukan seorang penambang pasir, situs Kota Lama Banten yang tertimbun lumpur, candi Muara Takus yang tertimbun endapan sungai, dan lain-lain.

Kabar buruk datang dari sebuah catatan Belanda yang melaporkan bahwa pada tahun 1800-an, wilayah Trowulan kehilangan sekitar 5 juta kubik tanah akibat penggalian illegal yang dilakukan para pemburu peninggalan Majapahit.

Di era yang sama, Keraton Yogyakarta dijarah tentara Inggris saat Geger Sapehi. Sejumlah pusaka kerajaan, arca, emas, naskah-naskah kuno, arsip kerajaan, perabotan, semua diboyong ke Eropa.

Lalu kita tercenung menyaksikan 360 ribu poselen hasil temuan diperjual-belikan oleh seorang pemburu harta bernama Michael Hatcher.

Pemburu harta lainnya asal Belgia, Luc Heymans, pernah mengangkut 270 ribu benda bersejarah berupa kristal, permata, kramik, porselen, mutiara, dan emas yang ditemukan di perairan pelabuhan Cirebon.

Hingga pada akhirnya, sebagai ahli waris sah peradaban Nusantara, kita hanya mengais sisa-sisa.

Salah satunya adalah Museum Nasional di Jakarta. Museum ini memiliki lebih dari 140.000 artefak, melampaui jumlah koleksi museum-museum yang ada di Asia Tenggara.

Bahkan arca gajah perunggu yang ada di halamannya—yang membuatnya kerap disebut museum gajah, merupakan benda bernilai tinggi pemberian raja Chulalongkorn pada tahun 1871.

Namun, Museum Nasional tidak hanya mengingatkan pada koleksi-koleksi megalitikum hingga koleksi numismatik dan heraldik.

Museum Nasional, tanpa harus membicarakan kekecewaan pascaperang, menyimpan juga kisah masyhur Kusni Kasdut.

Aksi Kusni Kasdut di Museum Nasional pada 1961 adalah peristiwa kriminal paling terkenal dalam sejarah Indonesia.

Ia dan komplotannya menyamar menjadi polisi, melumpuhkan semua sekuriti (satu di antaranya tewas), dan membawa barang-barang tak ternilai untuk dijual di pasar gelap.

Selain Patung Budha Emas dan sebagian perhiasan kuno yang berhasil ditemukan kembali di Banten, benda-benda bersejarah dan bernilai material tinggi yang dirampok Kusni Kasdut hilang hingga sekarang.

Termasuk sebelas berlian peninggalan kerajaan Mataram Kuno, Sriwijaya, Majapahit, dan masa kolonial.

Kusni Kasdut bukanlah yang terakhir. Museum Nasional kembali jatuh ke lubang yang sama pada tahun 1979, 1987, 1992, 1996, dan 2013.

Ditambah catatan panjang perampokan museum yang ada di daerah-daerah, rasa-rasanya sulit menghitung kebangkrutan budaya yang tengah kita alami.

Yang terakhir adalah tragedi kebakaran pada 16 September tahun lalu. Peristiwa memilukan ini menghanguskan enam ruang pamer koleksi pra sejarah Museum Nasional dan melahap sejumlah koleksi hingga tak dapat dipulihkan.

Satu catatan lain tak kalah penting: kebakaran tersebut mungkin mengakibatkan juga kekecewaan publik yang sama sulitnya untuk dipulihkan.

Di tengah semua kekacauan itulah, Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan yang disahkan DPR RI pada 2017 lalu dan pembentukan Kementerian Kebudayaan, membawa harapan baru.

Sebab sejak masa awal kemerdekaan hingga berakhirnya rezim Jokowi, kebudayaan senantiasa berada bersama sektor lain dalam kementerian.

Pemerintahan hasil pemilu 2024 menjadi yang pertama dalam sejarah Indonesia yang menjadikan kebudayaan sebagai kementerian tersendiri.

“Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.

Bunyi UUD 45 pasal 32 terasa baru benar-benar didengar. Pemerintahan yang dipimpin Prabowo seperti percaya bahwa kebudayaan adalah fokus penting dalam pembangunan dan tata kelola negara.

Beberapa kata kunci yang dibeberkan Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan juga lumayan ndakik-ndakik namun cukup menarik: reinventing Indonesia identity di tengah megadiversity, kebudayaan sebagai kekuatan pembangunan, ekonomi, dan diplomasi, memang layak dieksplorasi.

Kebudayaan Indonesia patut diletakkan menjadi sumber daya strategis untuk mengembalikan dan mempertegas posisi Indonesia di panggung dunia.

Warisan budaya yang melimpah, ritus yang beraneka serta cagar-cagar budaya yang menjadi saksi perjalanan panjang peradaban manusia, semua dapat membawa manusia Indonesia pada masa depan yang lebih bermartabat dan sejahtera.

Tentu saja ini agenda besar dan harus dikerjakan secara kolosal. Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan cukup memberikan aksentuasi terhadap keterlibatan masyarakat dalam agenda-agenda pemajuan kebudayaan.

Pemerintah Daerah harus didorong untuk memiliki Perda tentang pemajuan kebudayaan. Hingga tiap-tiap daerah mampu merumuskan pikiran pokok kebudayaan, strategi kebudayaan, dan rencana induk pemajuan kebudayaan.

Termasuk membentuk Dewan Kebudayaan sebagai instrumen keterlibatan masyarakat dalam agenda pemajuan kebudayaan.

Dengan demikian, kita akan menyongsong Indonesia Emas yang penuh optimisme dan harapan-harapan baru, apalagi peradaban kita layak menyandang gelar The Mother of Civilization.(***)

*Penulis adalah peneliti budaya, tinggal di Cirebon


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler