jpnn.com, BOGOR - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) meminta sejumlah pasal dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai aturan pelaksana Undang-Undang (UU) Kesehatan untuk dicabut.
Permintaan tersebut khususnya ditujukan pada pasal-pasal pengaturan produk tembakau yang dapat berdampak negatif terhadap keberlangsungan tenaga kerja secara luas.
BACA JUGA: Petani Tembakau Merasa Ada Paksaan di Balik RPP Kesehatan
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker Indah Anggoro Putri menegaskan posisi Kemnaker pada prinsipnya mengusulkan agar pasal-pasal yang menuai masalah untuk tidak dimuat dalam RPP Kesehatan.
Pasal-pasal dimaksud adalah yang berdampak pada kondisi hubungan industrial, terutama yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK).
BACA JUGA: Aturan Tembakau di RPP Kesehatan Dinilai Merugikan Petani
“Pasal-pasal yang bisa berdampak pada PHK sudah kami petakan. Terutama ada lima pasal yang krusial,” kata Dirjen Indah.
Hal itu disampaikannya saat menjadi pembicara di acara 'Workshop Advokasi Terintegrasi' yang digelar Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP RTMM-SPSI) di Bogor, Jawa Barat, Senin (30/10) sore.
BACA JUGA: P3M Minta Kemenkes Keluarkan Pasal Tembakau dari RPP Kesehatan
Salah satunya adalah pasal yang terkait pelarangan iklan dan promosi produk tembakau.
“Dampaknya banyak. Misalnya larangan iklan. Jangan dilarang banget lah. Kita selama ini tahu iklan rokok kan (berkontribusi) besar,” ungkapnya.
Ketika pelarangan iklan tersebut dijalankan, lanjut Dirjen Indah, yang bisa terdampak adalah tenaga kerja di industri tidak langsung dari industri hasil tembakau, seperti industri kreatif dan media.
“Di pabrik (rokok) sendiri, juga pasti ada pengurangan tenaga kerja (jika pelarangan ini dilakukan),” terangnya.
Selain itu, pasal yang mengharuskan setiap bungkus rokok berisi minimal 20 batang juga dinilai Kemnaker akan berdampak terhadap pengurangan tenaga kerja.
”Produksinya juga, kalau dibatasi jadi segitu (20 batang) kan pasti ada pengurangan tenaga kerja,” tegasnya lagi.
Karena itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai leading sector pembahasan RPP Kesehatan diminta untuk mempertimbangkan aspek ketenagakerjaan di Indonesia.
Terlebih, industri hasil tembakau merupakan sektor yang melibatkan tenaga kerja dalam negeri dalam jumlah yang banyak.
Dirjen Indah menegaskan prinsip dan sikap Kemnaker adalah mendukung agar kebijakan yang berlaku untuk industri hasil tembakau itu jangan sampai berdampak terhadap pengurangan tenaga kerja.
"Sebab, walaupun mesinnya canggih-canggih, tapi tetap banyak mempekerjakan tenaga kerja Indonesia, terutama wanita. Jadi, satu orang kena PHK saja itu dampaknya banyak,” imbuhnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum PP FSP RTMM-SPSI Sudarto AS menegaskan seluruh anggota serikat yang mayoritas bekerja di industri hasil tembakau akan terus berjuang mempertahankan mata pencahariannya yang legal dan semestinya dilindungi negara.
“Kami memohon agar pemerintah hadir untuk melindungi mata pencaharian kami," pinta Sudarto.
Sudarto mengatakan berbagai ketentuan dalam RPP Kesehatan secara nyata dan terang-benderang dapat mematikan keberlangsungan industri hasil tembakau.
"Selain itu, berbagai larangan tersebut seolah-olah memposisikan industri hasil tembakau sebagai industri ilegal,” ujarnya.
Terdapat tiga tuntutan sebagai kesimpulan atas 'Workshop Advokasi Terintegrasi' PP FSP RTMM-SPSI.
Pertama, meminta pemerintah mengeluarkan aturan produk tembakau dari RPP Kesehatan karena akan mematikan keberlangsungan mata pencaharian ratusan ribu anggotanya.
Kedua, meminta Kemenkes untuk melibatkan pemangku kepentingan terkait, termasuk serikat pekerja, untuk memberikan masukan melalui pembahasan yang transparan dan komprehensif.
Ketiga, PP FSP RTMM-SPSI menilai aturan produk yang telah berlaku sekarang, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012), dinilai sudah komprehensif mengatur pengendalian produk tembakau.
Karena itu, tegas Sudarto menambahkan, aturan tersebut sebaiknya dipertahankan dan diperkuat implementasinya, bukan diganti tanpa ada evaluasi secara komprehensif. (mar1/jpnn)
Redaktur & Reporter : Sutresno Wahyudi