jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah berencana menaikkan cukai rokok sebesar 10,04 persen tahun depan. Kebijakan tersebut dinilai akan membebani emiten rokok.
Setiap tahun, kenaikan cukai biasanya membuat harga rokok naik. Meski kenaikan cukai rokok terus menurun, namun hal tersebut tetap akan memengaruhi produksi dan penjualan rokok. Pada 2016, cukai rokok naik 11,19 persen. Kemudian tahun ini cukai rokok naik 10,54 persen.
BACA JUGA: Tarif Cukai Rokok Naik 10 Persen Tahun Depan
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira Adhinegara mengatakan, rencana kenaikan cukai selalu memukul industri rokok, tak terkecuali perusahaan besar yang listing di bursa efek.
“Laba mereka akan turun, otomatis. Jadi dalam tiga tahun terakhir, dengan kenaikan cukai rokok yang di atas 10 persen, volume produksi rokok bisa turun 2 persen,” katanya kemarin (21/10).
BACA JUGA: Cukai Rokok Naik 10,04 %, Jokowi: Itung-itungannya Ketemu
Volume produksi rokok tahun 2016 turun 6 miliar batang. Sementara hingga pertengahan 2017 ini volume produksi rokok turun 5,4 miliar batang.
Industri rokok lama kelamaan, akan menjadi sunset industry. Hal itu membuat para produsen memilih melakukan diversifikasi.
BACA JUGA: Kenaikan Cukai Rokok Harus Pertimbangkan Efek Domino
Contohnya, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) yang melakukan diversifikasi bisnis dengan membangun bandara. Lalu, PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) juga berekspansi dengan mengembangkan bisnis perkebunan dan kampus.
Di samping itu, adanya rokok illegal juga menghambat penjualan rokok legal yang diproduksi oleh produsen besar.
Padahal para produsen tersebut rutin membayar cukai setiap tahun, sementara pemberantasan rokok illegal kurang maksimal.
Bhima pun memperkirakan saham-saham rokok tidak akan banyak dibeli, setidaknya hingga akhir tahun. “Saya rasa sih enggak (dipilih) ya kalau kondisinya sudah begini,” ujarnya.
Analis OSO Sekuritas Riska Afriani mengungkapkan, emiten rokok biasanya membatasi kenaikan harga jual meski cukai terus naik.
Hal itu dilakukan untuk menjaga pangsa pasarnya (market share). Dampaknya, margin yang didapat tumbuh kurang maksimal. “HMSP penurunannya cukup besar,” tuturnya.
Pada semester I HMSP mencatat pertumbuhan pendapatan sebesar Rp 46,58 triliun 2017. Jumlah tersebut turun 1,5 persen dibanding periode yang sama tahun lalu yakni Rp 47,33 triliun.
Laba bersih HMSP pun turun 1,4 persen secara year on year (yoy) menjadi Rp 6,05 triliun. Sementara GGRM masih mencatat pertumbuhan pendapatan 8 persen (yoy) menjadi Rp 40,2 triliun, dengan laba bersih yang tumbuh 9,09 persen menjadi Rp 3,12 triliun.
Di sisi lain, PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) mencatat pendapatan yang mengecil bahkan mencapai 21,7 persen (yoy), dari Rp 902,6 miliar pada semester I 2016 menjadi Rp 760,68 miliar pada semester I 2017.
Laba pun turun 15,72 persen menjadi Rp 10,6 miliar. Emiten lain, PT Bentoel Internasional Investama Tbk (RMBA) malah mencatat kerugian yang membesar menjadi Rp 2,08 triliun.
Rugi tersebut naik 27 persen di tengah pendapatan yang masih bisa tumbuh 14 persen. Pendapatan RMBA sendiri tercatat sebesar Rp 19,23 triliun. (rin)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Struktur Tarif Cukai Rokok Harus Diubah
Redaktur & Reporter : Soetomo