jpnn.com - JAKARTA - Menteri Perekonomian Hatta Rajasa meyakini keputusan menaikkan harga elpiji 12 kg tidak akan berpengaruh besar terhadap angka inflasi. Sebaliknya inflasi 2014 diyakini bisa lebih rendah dibandingkan 2013.
Menurut Hatta, terkait kenaikan elpiji 12 kg, pemerintah memang tidak bisa melakukan intervensi. Sebab, keputusan itu murni aksi korporasi atau dalam hal ini sudah jadi keputusan bisnis dari PT Pertamina (Persero).
BACA JUGA: LPG Naik, Bisa Picu Gejolak Ekonomi
"Kenaikan elipiji itu memang corporate action karena pemerintah tidak punya kewenangan intervensi kecuali menyangkut subsidi. Kalau yang menyangkut subsidi (elpiji 3 kg) tentu pemerintah punya kewenangan bersama DPR," ujarnya usai pembukaan perdana perdagangan saham di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (2/1).
Karena murni aksi korporasi maka tidak perlu izin pemerintah untuk menaikkan harga elpiji itu. Penetapan harga terbaru sudah melalui mekanisme dalam perusahaan dengan berbagai pertimbangan. "Kalau saya punya keinginan tentu kita tahan. Jangan dulu, katakanlah ditahan dulu. Namun demikian RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) mereka (Pertamina) sudah tentukan. Mereka punya mekanisme.
BACA JUGA: Elpiji Naik, Masyarakat Marah Lewat Twitter
BPK juga sudah menemukan kerugian karena harga yang tidak sesuai dengan produksinya, sebab di bawah harga eceran pokoknya. Dan ini dalam korporat tidak dibenarkan dan jadi semacam temuan BPK," ulasnya.
Hasil RUPS Pertamina menetapkan kenaikan harga elpiji non subsidi berlaku mulai Januari 2014. Meski begitu Hatta meyakini kenaikan elpiji non subsidi tidak akan memicu kenaikan angka inflasi. "Inflasi kita 2014 relatif rendah, saya meyakini itu. Di Desember 2013, inflasi kita 0,5 persen sehingga year on year kita itu sekitar 8,3 persen jauh di bawah 9 persen angka inflasi prediksi semula," yakinnya.
BACA JUGA: Desak Pertamina Jelaskan Biaya Produksi Elpiji
Lebih lanjut, menurutnya, inflasi 2014 akan relatif rendah sehingga kenaikan harga elpiji non subsidi tidak akan mendorong peningkatan inflasi yang tinggi. "Mestinya kita kendalikan juga adalah harga pangan dan harga yang diatur pemerintah. Jadi relatif pengaruhnya terukur. Saya meminta proporsinya diatur agar jangan memberatkan dunia usaha karena dunia usaha kita menghadapi situasi yang tidak ringan supayat idak terjadi WO (Walk Out). Namun tidak terhindarkan tariff listrik naik dan itu sudah jadi keputusan dalam APBN 2014. Sekali lagi proporsinya yang harus diatur," ulasnya.
Memang, kata Hatta, jika cost di sektor energy meningkat maka bisa berdampak kenaikan inflasi tetapi tidak akan signifikan. Terlebih panen dunia pada 2014 diprediksi mencukupi kebutuhan. Kecuali jika terjadi situasi abnormal dari iklim yang bisa memengaruhi produksi dan ketersediaan pangan dunia. "Demikian juga kita pada 2013 tidak mengimpor beras sama sekali. Di 2014 ini kita jaga produksi kita dengan prioritaskan 10 juta ton, itu jadi program utama kita," tekad Hatta.
Sementara itu, kenaikan harga gas elpiji ukuran 12 kilogram sebesar 68 persen membuat beban industri kecil menengah (IKM) meningkat 5-10 persen. Disamping itu, disparitas harga yang tinggi juga diprediksi membuat aksi pengoplosan semakin marak.
Dirjen Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian Euis Saedah mengatakan kenaikan harga gas elpiji 12 kilogram ini tentunya akan sngat membebani industri kecil dan menengah."Terutama.bagi industri makanan minuman kecil, yang berproduksi di rumah-rumah, mereka itu sangat bergantung pada gas elpiji 12 kilogram," ujarnya Kamis (2/1).
Dalam sehari industri makanan minuman skala kecil bisa mengkonsumsi antara 3-4 tabung gas elpiji 12 kilogram. Jika biasanya pengeluran mereka hanya Rp 300 ribuan perhari untuk membeli gas, kini dana yang harus dikeluarkan antara Rp 500 ribuan."Ini berarti harus ada tambahan biaya untuk energi, dan tentu mengurangi margin mereka," sebutnya.
Pihaknya memperkirakan kenaikan harga elpiji menambah beban pengusaha antara 5-10 persen dari biaya produksi. Namun pengaruh ini tidak sama terhadap setiap sektor usaha."Yang pasti untuk industri besar mereka tidak terpengaruh karena pakai gas lewat pipa, ini justru kenanya ke industri kecil menengah yang banyak pakai tabung," tambahnya.
Menurutnya, yang bisa dilakukan oleh industri hanyalah menyesuaikan volume barang yang dijual. Namun hal itu sepertinya sulit dilakukan karena pada tahun 2013 mereka sudah menaikan harga jual mulai dari lima persen."Kalau pindah ke tabung tiga kilogram rasanya tidak mungkin, pergantiannya cukup ribet dan pastinya butuh banyak sekali," cetusnya.
Sementara itu, Ketua Pengurus Harian Lembaga Konsumen Indonesi (YLKI), Tulus Abadi menilai kenaikan harga elpiji kemasan 12 kilogram akan mendorong konsumen ber- migrasi ke elpiji subsdsi tiga kilogram sehingga berpotensi meningkatkan aksi pengoplosan secara ilegal."Karena disparitas harga 12 kiolgram dengan tiga kilogram sangat jauh," ungkapnya.
Pihaknya meminta Pertamina dan pemerintah mengantisipasi kebijakan tersebut dengan memperketat pengawasan harga elpiji kemasan 12 kilogram."Masyarakat akan mencari harga yang murah, tentunya ini peluang besar bagi oknum-oknum pengoplos. Kalau itu terjadi kerugian negara akan bertambah besar," jelasnya. (gen/wir)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Masyarakat Resah, LPG 3 Kg Langka, 12 Kg Mahal
Redaktur : Tim Redaksi