Kenaikan Tarif Cukai Harus Perhatikan Dampak Kelangsungan IHT

Minggu, 30 Agustus 2020 – 17:44 WIB
Ilustrasi pekerja di pabrik rokok. Foto: Bea Cukai

jpnn.com, JAKARTA - Tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok tahun depan menjadi Rp172,8 triliun. Naik 4,8 persen dari target tahun ini sebesar Rp164,9 triliun.

Kenaikan tarif cukai rokok ini akan diumumkan pada akhir September 2020. 

BACA JUGA: Dampak Pandemi, Tarif Cukai IHT Jangan Naik Terlalu Tinggi

Hal itu masih menjadi polemik lantaran kenaikan tarif CHT sekitar 23 persen pada 2020 ini ternyata tidak menghasilkan penerimaan yang optimal.

Kenaikan tarif cukai rokok sejalan dengan target penerimaan akhir 2021. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPBN) 2021, Kemenkeu mematok penerimaan cukai sebesar Rp 178,5 triliun. 

BACA JUGA: WHO: Simplifikasi Tarif Cukai Rokok Harus Segera Dijalankan

Jumlah tersebut naik 3,6 persen year on year (yoy) dibanding outlook akhir tahun ini yang mencapai Rp 172,2 triliun.

Terkait hal ini, Kepala Sub Direktorat Tarif Cukai & Harga Dasar Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC), Sunaryo mengatakan kenaikan tarif cukai rokok tahun depan telah mempertimbangkan dampak pandemi COVID-19 dan asumsi makro 2021.

BACA JUGA: Cukai & HJE Rokok Naik, Pemerintah Diminta Perhatikan Nasib Industri Hasil Tembakau

"Tentu asumsi makro akan menjadi pertimbangan dalam pembuatan policy dan penentuan target cukai 2021," ujarnya dalam Webinar Akurat Solusi bertemakan 'Rasionalitas Target Cukai 2021' di Jakarta Minggu (30/8).

Ada empat aspek yang menjadi pertimbangan pemerintah soal kenaikan cukai hasil tembakau pada 2021. 

Pertama, hasil survei dampak pandemi Covid-19 terhadap kinerja reksan cukai yang menunjukan secara umum masih memiliki resilience untuk melindungi tenaga kerja (padat karya).

Kedua, berdasarkan hasil indepth interview, secara umum kontributor utama mengalami penurunan baik secara volume maupun nominal cukai.

Kemudian, Ketiga, berdasarkan monitoring HTP, pabrikan belum sepenuhnya melakukan fully shifted/ forward shifting, kondisi saat ini pabrikan masih menalangi (backward shifting). 

Keempat, titik optimum menjadi penentuan target 2021 yang tidak serta merta penambahan beban berkorelasi positif terhadap sektor penerimaan.

Sehingga, kenaikan CHT tidak hanya mempertimbangkan penerimaan negara. Sebab, tidak serta merta penambahan tarif cukai dapat menambah penerimaan.

"Makanya ini tantangan bagi kami untuk membuat solusi. Bagaimana dengan situasi yang seperti ini bisa tumbuh penerimaan cukai tetapi pertimbangannya dari industri dan kesehatan bisa optimum," jelasnya.

Sementara, dalam kesempatan yang sama, Analis Kebijakan Ahli Madya BKF Kementerian Keuangan Wawan Juswanto mengatakan bahwa kebijakan kenaikan tarif cukai mempertimbangkan tiga hal. Yakni Undang-Undang Cukai, optimalisasi kebijakan, dan kebijakan industri.

"Yang dipertimbangkan mana? tiga-tiganya ini kami pertimbangkan secara mix," ungkapnya.

Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Willem Petrus Riwu memprediksi volume produksi rokok bakal anjlok signifikan imbas dari pandemi Covid-19 dan kenaikan cukai rokok ini.

Sehingga perlu adanya Roadmap yang jelas dan memberi kepastian terhadap industri ini.

Untuk tetap mempertahankan kinerja Industri Hasil Tembakau (IHT), pemerintah harus segera menyelesaikan roadmap.

Terlebih, rencana pemerintah untuk menyederhanakan cukai rokok mendapat pertentangan dari sebagian pelaku IHT, khususnya yang tergolong pelaku industri kecil dan menengah. 

"Kondisi IHT saat ini sangat terhimpit, perlu komitmen bersama pemerintah dan pemangku lepentingan lainnya untuk memberi masa pemulihan. Dan berhenti menerbitkan kebijakan yang menciptakan ketidakpastian usaha selama 3 tahun bagi usaha IHT selama masa pemulihan," paparnya.(chi/jpnn)


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler