Kenangan Sidarto Danusubroto Dampingi Bung Karno di Ujung Kejatuhan

Minta Megawati Selundupkan Uang ke Wisma Yaso

Jumat, 25 Juni 2010 – 09:51 WIB
Sudarto Danusubroto. Foto; Priyo Handoko / Jawa Pos
SIDARTO Danusubroto adalah ajudan terakhir Bung KarnoSehari setelah peringatan meninggalnya (haul) Bung Karno, 21 Juni lalu, dia menuturkan kembali pengalamannya mendampingi proklamator itu

BACA JUGA: Eno Sigit, Cucu Pak Harto yang Terjun di Dunia Pendidikan Anak-Anak

Banyak cerita menarik yang belum terungkap.
 
-----------------------------------------
PRIYO HANDOKO, Jakarta
-----------------------------------------

 
Pandangan mata Sidarto Danusubroto menerawang ketika mulai bercerita mengenai sosok yang sangat dikaguminya itu, Soekarno
Pria 74 tahun tersebut tidak akan melupakan peristiwa yang dialami pada 10 Desember 1967.

Saat itu, Bung Karno memberinya sebuah buku berjudul Sukarno An Autobiography karya Cindy Adams

BACA JUGA: Perjuangan Aryanti R. Yacub Memimpin Ikatan Sindroma Down Indonesia

Sampul buku tersebut berwarna merah dengan foto Bung Karno yang berjas putih, berpeci, sambil tertawa lebar
Ketika memberikan buku itu, Bung Karno yang tengah berada di ujung kejatuhannya menyampaikan wejangan kepada Sidarto.

Bung Karno menyatakan bahwa dirinya bisa dikucilkan, dijauhkan dari keluarga, bahkan ditahan dan lama-lama akan mati sendiri

BACA JUGA: Bonek Aljazair Gelar Doa, Pendukung Portugal Lepas Bendera

"Tapi, catat ya To? (Sidarto, Red), jiwa, ide, ideologi, semangat, tak dapat dibunuh," ungkap Sidarto menirukan ucapan Bung Karno saat ditemui di kediamannya, Jalan Kemang Utara, Jakarta Selatan, Rabu (22/6).

Bung Karno mengutip kalimat yang diucapkannya itu dari filsuf Jerman, Freili Grath, yang dalam bahasa aslinya berbunyi, "Man totet den Geist Nicht." Sidarto sempat tertegun mendengarnyaSecara spontan, dia lantas meminta Bung Karno untuk menuliskan ucapannya tersebut di halaman depan buku yang baru diterimanya

"Waktu beliau bicara begitu, saya bilang, Pak (Soekarno, Red) tolong ditulis sekalian di situMaka, jadilah tulisan ini," ujar Sidarto sambil menunjukkan buku "bersejarah" yang masih terawat baik itu.

Dengan nada bercanda, Sidarto menyatakan, coretan tangan Bung Karno itulah yang dijadikan salah satu materi kampanyenya saat pemilu legislatif laluDia mencetak tulisan tersebut di panel baliho kampanyenyaHebatnya, model kampanye itu manjurSidarto terpilih kembali menjadi anggota DPR dari PDIP untuk periode ketiga sejak 1999

Alumnus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta 1962 tersebut kembali terpilih dalam Pemilu 2009 dari dapil Jawa Barat VIII yang meliputi Kabupaten dan Kota Cirebon serta Kabupaten IndramayuMeski sudah cukup umur, Sidarto masih terlihat bugar dan energik.

Dia memang berkesempatan dekat dengan Bung KarnoSebab, sejak 6 Februari 1967, Sidarto yang kala itu berpangkat adjun komisaris besar polisi (AKBP) ditugasi menjadi ajudan Bung KarnoDia menggantikan Kombespol Sumirat yang ditahan pasca-SupersemarSurat keputusan pengangkatan Sidarto ditandatangani Bung Karno pada 22 Februari 1967.

Baru tiga bulan Sidarto menjalankan tugas, situasi politik nasional yang tengah memanas mencapai klimaksnyaPada 12 Maret 1967, keluar TAP MPRS XXXIII/MPRS/1967 yang melucuti kekuasaan eksekutif Bung KarnoMelalui TAP itu juga Soeharto diangkat menjadi pejabat presiden.

Meski Soekarno sudah tidak mempunyai kekuasaan, Sidarto tetap tidak ditarik dari posisinya sebagai ajudanSewaktu menghadap pimpinan Polri, dia diperintah agar terus mendampingi Bung Karno"Pemerintah memandang Bung Karno perlu didampingi ajudanJadi, saya melayani presiden yang ditahan," tuturnya

Tapi, untuk sementara, Soekarno yang diposisikan sebagai "presiden nonaktif" masih diperbolehkan tinggal di Istana MerdekaSampai suatu hari, sekitar Mei 1967, Bung Karno yang didampingi Sidarto yang baru saja pulang dari jalan-jalan keliling Jakarta dicegat dan dilarang masuk istana"Saya ingat, beliau habis nyate (makan sate, Red) sama saya di pinggir Pantai Cilincing," cerita Sidarto.

Karena tidak diperbolehkan masuk istana, Bung Karno langsung menuju kediaman Wisma Yaso (sekarang menjadi Museum Satria Mandala, Red) di Jalan Gatot SubrotoKarena mendadak, presiden pertama republik itu tidak sempat berkemas"Barang-barang pribadi beliau sama sekali tidak bisa dibawa," ungkap mantan Kapolda Sumbagsel (1986?1988) tersebut.

Terusir dari istana juga berarti kehilangan fasilitas protokoler, termasuk sekretaris presidenKarena itu, Sidarto kemudian mendapat tugas tambahan baru, yakni menjadi "sekretaris" Bung Karno"Jadi, saya sempat menjadi ajudan sekaligus sekretaris dadakan Bung KarnoHasil ketikan saya ya kurang proporsional seperti ini," katanya sambil menunjukkan sejumlah copy surat yang masih disimpan dengan rapi.

Sejak meninggalkan istana, sebagian besar surat Bung Karno malah ditandatangani SidartoMisalnya, surat yang ditujukan kepada Pangdam VI Siliwangi Letkol Abas tertanggal 27 September 1967Surat tersebut menginformasikan daftar nama para pekerja untuk penyelesaian rumah di Batu Tulis, Bogor.

Mengapa Bung Karno tidak menandatangani sendiri surat itu? "Ini kan soal teknis dan rutin dari presiden ke bawahan (Pangdam)Jadi, mungkin cukup ajudan saja yang menandatangani," jelas pria kelahiran Pandeglang, 11 Juni 1936, itu.

Menurut Sidarto, tak lama setelah meninggalkan Istana Merdeka, Bung Karno tak ubahnya tahanan kotaUntuk mobilitas Jakarta?Bogor saja, Bung Karno harus mendapat izin tertulis dari Pangdam VI Siliwangi dan Pangdam V DjayakartaNah, tugas mengurus perizinan itu dibebankan ke pundak Sidarto.

"Jadi, tugas saya, bolak-balik mengurus exit permit dan entry permitJakarta?Bogor sudah kayak ke luar negeri saja," ujar bapak lima anak itu sambil geleng-geleng kepala

Pada pengujung Desember 1967, Bung Karno mulai berstatus tahanan rumahDia tidak boleh lagi meninggalkan Wisma YasoBahkan, keluarga dan kerabat sulit menemui Bung KarnoUntuk membesuk Bung Karno, mereka harus mendapat izin lebih dulu dari otoritas yang berwenang.

Dalam periode susah seperti itu, Sidarto kembali mendapat pengalaman yang tak terlupakan"Saya disuruh ke sana-kemari mencari duitSebab, Bung Karno tidak pegang duit," katanya.

Menurut dia, Bung Karno memang seorang negarawan yang geniusNamun, soal keuangan pribadi, dia tak begitu memperhatikanKarena itu, saat menjadi tahanan rumah, Bung Karno sering kehabisan uang pegangan maupun uang untuk biaya hidup sehari-hari.

"Sewaktu disuruh mencari duit itulah, saya sempat bingung dari mana bisa memperolehnyaSebab, orang-orang dekat Bung Karno sewaktu saya dekati malah lari semuaMereka takutHanya satu-dua orang yang masih setia," ujar Sidarto yang kini duduk di Komisi I DPR tersebut.

Suatu ketika, Bung Karno meminta Sidarto menemui Tukimin, mantan pejabat rumah tangga Istana MerdekaTanpa kesulitan berarti, Sidarto berhasil mendapatkan USD 10 ribu dari Tukimin.

Kesulitan justru terjadi saat hendak membawa uang itu ke Wisma YasoSidarto takut digeledah penjaga, kemudian uangnya disitaTak kehilangan akal, dia lalu memasukkan uang tersebut ke kaleng biskuitDia lantas menemui Megawati dan meminta putri Bung Karno itu membawakannya untuk Bung Karno.

"Mbak Mega yang bawa masukMbak Mega kan bisa beralasan untuk mengunjungi ayahandanya," kenang Sidarto.

Pada 23 Maret 1968, turun surat resmi dari Markas Besar Angkatan Kepolisian (saat ini Mabes Polri, Red) yang berisi penarikan Sidarto dari posisinya selaku ajudan Bung Karno"Saat kondisi kesehatan Bung Karno semakin lemah, fungsi ajudan semakin tidak diperlukanYang lebih dibutuhkan adalah dokter dan perawatSaya lalu diminta Panglima Angkatan Kepolisian (saat ini disebut Kapolri, Red) Soetjipto Joedodihardjo untuk ditarik," jelasnya

Meski dalam surat penarikan Sidarto masih disampaikan kemungkinan dikirimkan penggantinya, faktanya, ajudan baru itu tidak pernah adaJadi, Sidarto tercatat sebagai ajudan terakhir Bung Karno(*/c5/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tim Trisakti Touring Jakarta-Bali dengan Mobil Minyak Jelantah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler