Kenapa Greenpeace tak Lapor soal Karhutla di Papua pada Presiden Sebelum Jokowi?

Rabu, 18 November 2020 – 14:01 WIB
Presiden SBY kala itu mengunjungi kapal Rainbow Warrior milik Greenpeace. Foto: dok PPID

jpnn.com, JAKARTA - Pakar Komunikasi Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Lancang Kuning (Unilak) Pekanbaru, Afni Zukifli mempertanyakan maksud dan tujuan LSM Greenpeace (GP) Indonesia yang menyebarkan tayangan melalui laporan investigasi sebuah media massa nasional dengan menggunakan video lama.

Video itu bertemakan 'Papua: Investigasi ungkap perusahaan Korsel 'sengaja' membakar lahan untuk perluasan lahan sawit''  yang beredar baru-baru ini hingga ke media sosial.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Anies Baswedan Dicecar Puluhan Pertanyaan, Perintah Terbaru Kapolri, Jangan Berani Gelar Aksi Reuni 212!

Bahan dasar penyusunan informasi dalam tayangan investigasi itu ternyata menggunakan video kejadian tahun 2013. Tepatnya pada Mei 2013 yang tentunya kondisinya sudah berbeda dengan saat ini. 

Afni mempertanyakan alasan Greenpeace yang seolah baru mempermasalahkan peristiwa karhutla itu saat ini, di era Presiden Jokowi.

BACA JUGA: Presiden dan Greenpeace Gelar Pertemuan di Rainbow Warrior

Padahal ketika pengambilan video itu dilakukan pada 2013, Greenpeace sempat bertemu dengan presiden sebelumnya.

"Sedangkan di tahun yang sama, dari jejak digital yang ada, Presiden dan Menteri Kehutanan di masa itu, era 2013 pernah meluangkan waktu mengunjungi kapal kebanggaan Greenpeace, Rainbow Warrior, yang bersandar di Tanjung Priok, Jakarta. Tepatnya pada bulan Juni. Artinya, Greenpeace sebenarnya punya keleluasaan waktu untuk menyampaikan temuannya perihal kebakaran lahan di Papua, kepada pemimpin tertinggi pemerintahan masa itu. Tapi mengapa itu baru dilakukan Greenpeace di November 2020, di masa tidak sedang terjadi kebakaran sebagaimana yang tergambarkan?," tanya Afni.

BACA JUGA: KLHK: Mengapa Greenpeace Baru Sekarang Mengekspos Video Karhutla Tahun 2013?

Video itu, kata Afni, telah diakui Greenpace diambil pada Mei 2013 lalu. Artinya masih ada waktu 16 bulan sebelum terjadi pergantian pemerintahan di Oktober 2014.

Waktu yang seharusnya bisa dimanfaatk Greenpeace untuk melaporkan soal karhutla pada presiden dan menteri kehutanan di era pemerintahan saat itu.

Karena itulah dia mempertanyakan tujuan Greenpeace baru meramaikan video tersebut saat ini melalui media massa.

"Mengapa GP menyia-nyiakan waktu 16 bulan tersebut, dengan tidak melaporkan case Korindo kepada pemerintah? Mengapa justru baru mengungkit kejadian tersebut setelah lebih 7 tahun berlalu? Apakah sekelas GP tidak mengikuti perubahan besar-besaran dalam tata kelola hutan dan lingkungan di Indonesia, atau memang tidak mau mengakuinya?," tambah Afni.

Dia memaparkan SK pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan yang diberikan Menteri Kehutanan kepada PT Dongin Prabhawa, merupakan SK tahun 2009.

Kebakaran yang terjadi di video yang menyebar viral, juga ternyata terjadi di 2013. Sementara penayangan video yang beredar tahun itu dan dibuat seolah sedang terjadi dianggap Afni sebagai kamuflase informasi. Seharusnya, kata dia, ada informasi yang cover both side, sehingga informasi yang diberikan tidak berat sebelah dan seolah ingin menggiring opini publik.

"Kenyataan bahwa hutan papua sudah 'dikapling' perusahaan Korea karena keluarnya izin negara adalah satu fakta, tetapi menyampaikan kamuflase informasi dengan menyamarkan dan seolah menggiring opini seolah-olah 'pelanggaran' masih terjadi sampai hari ini, jelas adalah hal lain yang berbeda," tuturnya.

Afni mengatakan tidak menyalahkan informasi yang disajikan media massa nasional terkait peristiwa itu. Menurutnya itu sah-sah saja dilakukan.

Karena itu menjadi bagian dari hak kebebasan pers mengungkap fakta bahwa masih ada ketimpangan sosial antara masyarakat tempatan dengan perusahaan yang bercokol di tanah nenek moyang mereka.

"Informasi seperti ini sangat diperlukan, menolak lupa, demi terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun menjadi tidak fair karena informasi mengedepankan seolah-olah semua 'kejahatan' lingkungan hidup dan kehutanan itu sedang dan masih terjadi sampai saat ini. Di sinilah 'kesalahan fatal' itu terjadi. Banyak hati jadi terobok-obok. Marah. Atau bahkan merasa benci pada pemerintah Republik Indonesia. Karena hakikatnya rasa ketidakadilan, penindasan, kemiskinan, telah mejadi musuh bersama rakyat dunia. Belum lagi framing ke arah pelanggaran HAM, yang sudah menjadi isu sensitif di Papua. Terlebih lagi tulisan yang diduga sarat framing ini diterbitkan berdekatan jelang perayaan Hari Papua Merdeka, awal Desember nanti. Framing yang sangat berbahaya sekali. Sudah kebayang resiko potensi seperti apa dunia menatap ke Indonesia dari indikasi framing media ini? atau seperti apa hati rakyat Papua yang salah membaca informasi? atau bahkan rakyat Indonesia secara keseluruhan menyikapi berita ini?," sesal Afni.

Dia juga mendukung pernyataan Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Prof Dr Yanto Santosa, bahwa informasi seperti ini berpotensi memprovokasi dunia serta memecah belah persatuan warga di Papua.

Karena faktanya, Korindo Group sudah pernah diberikan sanksi oleh Ditjen Penegakan Hukum (Gakkum) era pemerintahan saat ini.

Setelah kejadian tahun 2015, Gakkum KLHK untuk pertama kalinya dalam sejarah berani menyasar perusahaan raksasa besar. Baru di era pemerintahan inilah ada sanksi untuk korporasi terkait karhutla.

Sepanjang tahun 2015-2020 (per Oktober), Ditjen Gakkum KLHK mencatatkan putusan perdata terbesar dalam sejarah Indonesia untuk penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan.

Ada 13 putusan hukum inkract, dengan nilai putusan sanksi lebih dari Rp20 triliun. Menerapkan 1.482 sanksi administrasi, melakukan 1.514 pengawasan perusahaan, 26 gugatan perdata di pengadilan, dan melakukan 1.455 operasi.

"Indonesia sudah berubah banyak dalam hal tata kelola lingkungan. Dunia harusnya mendapatkan sinyal itu. Bukan justru framing yang dipenuhi kamuflase informasi yang membahayakan NKRI," tegas Afni lagi.

Pemerhati karhutla ini juga mengaku penasaran, mengapa kasus kebakaran 7 tahun lalu di Papua tidak diungkap GP segera, dan mengapa kasus kebakaran di areal konsesi besar lainnya di masa yang hampir berdekatan justru tidak dipersoalkan oleh LSM ini.

"Mengapa GP tidak melaporkan kasus karhutla di APP yang begitu hebatnya di tahun 2015? apakah karena GP waktu itu lagi bekerja sama dengan APP? Karena informasinya bukan Group Korindo lho yang terbakar parah di 2015, tapi justru group APP. Butuh kejujuran dan keadilan informasi bagi publik untuk case ini dari pihak GP, karena saya juga termasuk masyarakat korban karhutla dan asap," kata Afni. (jpnn)

 

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler