Para pemimpin di seluruh dunia saat ini sedang mengatasi pandemi COVID-19 dengan pilihan sulit antara mementingkan masalah kesehatan dan ekonomi, yang juga bercampur dengan kepentingan politik.
Tidak saja menghadapi tuntutan dari rakyat yang mereka pimpin, pertentangan mengenai arah yang harus dituju juga muncul dari berbagai kalangan, termasuk di kalangan pejabat pemerintahan sendiri yang seharusnya bisa bekerjasama.
BACA JUGA: Dokter Indra: Pemerintah, Tolong Bantu Kami
Dalam sistem yang berbeda-beda di tiap negara, kebijakan yang diambil atau dijalankan di tingkat pusat kadang berbeda dengan apa yang dilakukan di tingkat bawahnya.
Hal tersebut tampak terjadi di Australia, di mana perbedaaan kebijakan tampak jelas di pusat dan daerah, seperti dialami negara bagian Victoria yang sedang menghadapi pandemi gelombang kedua.
BACA JUGA: Hari Ini Ada 3.737 Kasus Baru Covid-19, Korban Jiwa Sudah 8,544 Orang
Dua belas bulan lalu, atau setidaknya 10 bulan lalu, barangkali tidak banyak negara yang menduga jika pandemi COVID-19 akan berkembang seperti sekarang ini.
Sifatnya yang mendadak dan virus yang dengan sangat mudah menular membuat banyak negara terkejut.
BACA JUGA: Benarkah Liga 1 Tetap Berlanjut Meski Ada Pemain Terpapar Covid-19?
Kebijakan yang dijalankan kemudian terlihat tambal sulam karena memang tidak ada petunjuk jelas apa yang harus dilakukan.
Australia dan Selandia Baru pada awalnya muncul sebagai negara yang mengambil kebijakan cepat untuk mencegah menyebarnya virus tersebut di negeri masing-masing. Perbedaan kepentingan politik mulai terlihat Photo: Krisis yang dialami dunia berkenaan dengan pandemi COVID-19 mengejutkan banyak orang, dan tidak ada formula pasti bagaimana menyelesaikannya. (AAP: Steven Saphore)
Dalam gelombang pertama, Australia dan Selandia Baru dianggap berhasil mencegah banyaknya korban yang meninggal, dengan menutup perbatasan internasional dan berbagai kebijakan lainnya.
Ketika itu, baik kebijakan pemerintah Federal yang dikuasai oleh Partai Liberal dengan berbagai negara bagian di Australia relatif tidak banyak menimbulkan friksi.
Namun ketika gelombang kedua pandemi terjadi di negara bagian Victoria, kebijakan apakah harus mementingkan masalah kesehatan atau ekonomi kemudian bercampur dengan kepentingan dan perbedaan garis politik.
Di Australia saat ini, negara bagian yang sama dengan pemerintah Federal, dalam arti sama-sama dikuasai oleh Partai Liberal, adalah New South Wales, Australia Selatan, dan Tasmania.
Sementara itu di lima negara bagian lainnya, yakni Australia Barat, Queensland, Northern Territory (NT), Australian Capital Territory (ACT), dan Victoria dikuasai oleh Partai Buruh.
Partai Liberal yang berkoalisi dengan Partai Nasional, dan Partai Buruh adalah dua partai terbesar di Australia. Bila yang satu memerintah, yang lainnya akan menjadi partai oposisi.
Apa yang sekarang terjadi di negara bagian Victoria dengan Menteri Utama Daniel Andrews dari Partai Buruh menunjukkan arah kebijakan yang diambil juga harus mempertimbangkan kepentingan politik.
Daniel yang selalu memberikan jumpa pers terkait COVID-19 setiap hari selama dua bulan terakhir berulang kali mendapat pertanyaan mengenai keputusan yang diambilnya.
Seperti saat mengumumkan tetap memperpanjang masa 'lockdown' selama dua minggu hingga 29 September 2020, meski kasus penularan COVID-19 sudah menurun dalam beberapa pekan sebelumnya.
Hanya jika kasus baru terus menurun, dengan kemungkinan di bawah 50 kasus per hari, maka pembatasan di Melbourne akan dilonggarkan dan diperkirakan baru akan terjadi di akhir Oktober nanti.
Atas keputusan ini, Perdana Menteri Australia, Scott Morrison memberikan komentar.
"Mudah-mudahan ini merupakan skenario terburuk saja," kata PM Morrison.
Keputusan negara bagian Victoria banyak juga dikecam oleh kalangan usaha yang mengatakan semakin lama Victoria ditutup semakin sulit bagi bisnis untuk bangkit lagi nantinya.
Dalam reaksinya terhadap komentar PM Morrison, Daniel mengatakan jika politik tidak akan menyelesaikan masalah pandemi.
"Virus ini tidak akan terkalahkan dengan bermain politik," kata Daniel.
"Saya mengatakan kepada Perdana Menteri bahwa skenario terburuk adalah kita bisa melonggarkan keadaan untuk tiga atau empat minggu dan kemudian harus ditutup lagi," katanya. Baca juga: Kabar warga Indonesia jalani lockdown lebih ketat di Melbourne Photo: Kebanyakan warga Indonesia di Melbourne merasa tidak terlalu berdampak pada aturan pembatasan tahap keempat yang lebih ketat, karena sudah banyak diam di rumah sejak Maret lalu. (AAP: Daniel Pockett)
PM Morrison juga kemudian berusaha membandingkan Victoria (dikuasai Partai Buruh) dengan negara bagian New South Wales (dikuasai Partai Liberal).
"Dalam situasi yang sama yang ditetapkan oleh Victoria, New South Wales juga seharusnya menetapkan kebijakan lockdown," kata PM Morrison.
"Pendapat bahwa NSW akan melakukan hal yang sama bila keadaan kami diterapkan di sana. Tentu saja aturan kami tidak bisa diterapkan di sana. Mereka NSW dan kami tidak dalam situasi yang sama dengan mereka," kata Daniel.
Ketegangan antara PM Morrison dengan negara bagian lain, selain Victoria, juga terjadi dengan Menteri Utama Queensland, Premier Annastacia Palaszczuk.
Annastacia yang berasal dari Partai Buruh menuduh PM Morrison melakukan tindakan 'bullying' terhadap dirinya dengan campur tangan saat ada seorang warga yang minta diberi izin khusus untuk menghadiri pemakaman ayahnya.
Rabu kemarin, PM Morrison menelpon langsung Anastasia agar warga tersebut diber izin. Dia akhrinya bisa melihat jasad ayahnya untuk terakhir kali namun tidak dizinkan untuk menghadiri pemakaman.
Premier Queensland itu mengatakan dia bukan pihak yang berwenang untuk mengeluarkan izin tersebut dan tindakan PM Morrison menelpon dirinya adalah hal yang tidak pantas.
"Saya tidak mau di-bully atau diintimidasi oleh PM yang menelpon saya pagi ini dan saya sudah dengan jelas mengatakan bahwa itu semua bukan keputusan saya," kata Anastasi, Kamis kemarin (10/09). Pilihan yang sulit bagi siapa pun Photo: Menteri Utama Queensland Annastacia Palaszczuk marah dengan tindakan 'bullying' yang didapatnya dari PM Scott Morrison. (ABC News: Josh Bavas)
Ketegangan antar para pemimpin Australia di depan publik menunjukkan betapa rumitnya dan kompleksnya masalah yang dihadapi tiap negara dalam menghadapi pandemi COVID-19 saat ini.
Para pemimpin sudah sering bertemu di belakang layar dan banyak diharapkan untuk menyelesaikan perbedaan mereka sebelum muncul di depan publik.
Australia sejauh ini adalah negara yang relatif berhasil menangani COVID-19, namun hal yang sudah berlangsung selama sembilan bulan ini mulai menguji banyak kesabaran para pemimpinya.
Pilihan dari sisi paling konservatif dari pendekatan kesehatan adalah penutupan ketat selama beberapa waktu hingga kasus penularan tak ada lagi, sebelum dibuka kembali.
Pendekatan lainnya adalah melihat kemungkinan krisis ini akan berlangsung lama, maka dampak ekonomi bagi mereka yang masih hidup harus juga mendapat perhatian.
Tidak ada pilihan mudah yang tersedia saat ini.
Premier Annastacia dari Queensland menggemakan pendekatan terbaik yang menurutnya harus terjadi.
"Saya berhadap Perdana Menteri akan bekerjasama secara kooperatif dengan semua orang di seluruh negeri."
"Perpecahan, pertikaian dan intimidasi, dan bullying merupakan yang terburuk yang saya rasakan selama hidup saya," kata Annastacia.
Oleh karena itu, bila para pemimpin di manapun kemudian menambahkan masalah politik dalam kemelut yang sudah ada sekarang ini, kemungkinan dampaknya bagi masyarakat luas akan lebih dalam lagi.
Kerjasama antar para politisi di manapun tampaknya semakin diperlukan.
Imbauan yang tidak mudah dilaksanakan, namun tanpa kerjasama, rasanya susah untuk menang melawan virus yang tidak nampak ini.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mbak Shinta KADIN Dorong Pelaku Usaha Bertransformasi di Masa Pandemi