Keropak Pernah Hanya Berisi Bungkus Permen dan Amplop Kosong

Minggu, 22 Juni 2014 – 12:02 WIB
TEMUKAN JALAN: Ridwan Hasan di depan markas Klinik Pendidikan MIPA yang dirintisnya di Bogor. Dia kini mulai menikmati hasil keikhlasannya berbagi ilmu. Sekaring Ratri/Jawa Pos/JPNN.com

jpnn.com - Siapa sangka lembaga bimbingan belajar rintisan Ridwan Hasan Saputra itu kini berkembang pesat. Siapa sangka para siswanya, yang kebanyakan dari kalangan tidak mampu, berprestasi di berbagai olimpiade tingkat nasional maupun internasional. Apa kuncinya?

SEKARING RATRI ADANINGGAR, Bogor

BACA JUGA: Tentang Perempuan Menemukan Tujuh Telur dan Cenderawasih

Lembaga bimbingan belajar (bimbel) itu diberi nama Klinik Pendidikan MIPA (KPM). Menempati dua bangunan ruko bertingkat, KPM bermarkas di kompleks Taman Pagelaran, Kawasan Ciomas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
 
Meski markasnya tidak megah, klinik pendidikan itu mempunyai murid ribuan orang. Pada umumnya, siswa yang belajar di situ adalah anak-anak dari kalangan kurang mampu. Mereka tidak mempunyai dana berlebih untuk belajar di lembaga bimbel yang biayanya mahal-mahal tersebut. Karena itu, KPM menjadi tempat yang mereka butuhkan.

Selain di Bogor, KPM memiliki cabang di Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi, Semarang, Solo, Serang, dan Surabaya. Yang hebat, meski bayarannya sukarela, KPM sukses mengantarkan para siswanya menjadi langganan juara dalam berbagai event olimpiade matematika. Tidak hanya level nasional, tapi juga internasional.
 
Mulai 2004 hingga 2013, setidaknya sudah 85 medali emas, 134 medali perak, dan 251 medali perunggu berhasil diraih para siswa KPM dalam kompetisi tingkat nasional. Sedangkan tingkat internasional, siswa-siswi KPM sukses meraih 71 medali emas, 243 perak, dan 349 perunggu.
   
Namun, siapa sangka keberhasilan KPM itu bermula dari kotak amal atau keropak. Bila umumnya lembaga bimbel mematok tarif  untuk siswa, di KPM itu tidak berlaku. Siswa tidak diwajibkan membayar jasa bimbingan yang diberikan para tutor. Pengurus KPM hanya menyediakan kotak amal di tempat belajar. Bila ada siswa yang punya uang, berapa pun jumlahnya, dan rela menyumbangkannya, siswa tinggal memasukkan dalam kotak itu. Tapi, kalau toh, siswa tidak punya uang, KPM tidak akan memaksa mereka mengisi kotak amal.  
 
Pendiri KPM Ridwan Hasan Saputra mengakui, secara logika sangat sulit membuat KPM menjadi besar seperti sekarang, jika hanya mengandalkan kotak amal dengan isi seikhlasnya. ’’Tapi itulah yang terjadi. Semua benar-benar berasal dari kotak amal,’’ kata Ridwan saat ditemui di kantornya, Sabtu (21/6).

BACA JUGA: Dua Kali Menangi Lomba Mobil Hemat Energi

Ridwan mengisahkan, semua bermula ketika dirinya lulus dari Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 1999. Dia tak langsung bekerja melainkan melanjutkan kuliah program master di kampus yang sama. Nah, di sela-sela kuliah itulah, Ridwa mengajar les privat dari rumah ke rumah.

Kala itu,  pria yang memang jago matematika dan fisika itu memang mematok harga lumayan mahal untuk setiap siswa. ’’Saya dulu sombong, karena saya merasa pintar. Karena itu, saya pasang tarif yang mahal untuk mau privat ke saya,’’ ujarnya.

BACA JUGA: Menahan Lapar, Tidur di Trotoar Depan Istana

Tapi, ’’masa kejayaan’’ itu tidak lama. Ridwan ganti harus menghadapi berbagai cobaan yang datang bertubi-tubi. Pada Februari 2003 dia gagal masuk pegawai negeri. Setelah itu dia sakit parah. Kata dokter, Ridwan kelelahan karena berkendara ke sana-kemari untuk memberi les privat. Pendapatan dari les pun langsung turun drastis. Dia sempat putus asa.
’’Saya berpikir, kenapa saya diberi cobaan seperti ini. Saya ini orang pintar, saya juga rajin beribadah, tapi kok hidup saya seperti ini,’’ kenangnya.

Beruntung, Ridwan bisa segera bangkit. Pria kelahiran 16 April 1975 itu menyadari bahwa sebagai orang pandai, dirinya harus menyebarkan ilmu dengan ikhlas. Dari situlah tercetus ide untuk membuka bimbel dengan bayaran seikhlasnya. Dia pun bertekad melahirkan para siswa yang tidak hanya pintar namun juga berakhlak mulia. Dia lalu mengundang murid-murid privatnya ke rumah kontrakannya, mengikuti les privat dengan metode baru tersebut.
   
Ternyata, respons yang diterima di luar dugaan. Privat dengan metode bayar seikhlasnya tersebut malah membuat Ridwan kesulitan mendapatkan murid. Tidak sedikit yang mengira Ridwan hilang akal. ’’Saya sempat dikira orang gila. Bahkan ada yang menuduh saya pengikut aliran sesat,” ceritanya.
   
Bukannya tambah banyak, siswanya satu per satu meninggalkan Ridwan. Bahkan, pernah tinggal dua orang. Namun, ayah tiga anak itu tidak patah arang. Meski tabungannya terkuras habis, dia tetap bertahan dengan metode kursus berbayar sukarela itu.

’’Bagi kebanyakan orang, arti seikhlasnya itu ya gratis. Pernah kok di dalam keropak itu hanya berisi  bungkus permen, amplop kosong, dan bedak. Tapi, saya harus tetap ikhlas,’’ katanya.
   
Pada pertengahan 2003, Ridwan mendapat tawaran menjadi pelatih nasional olimpiade matematika. Tawaran tersebut datang dari guru SMA-nya. Pekerjaan tersebut mampu membantu biaya operasional KPM. Bahkan, sejak itu Ridwan bisa meng-hire guru untuk membantunya di KPM. Namun, tidak mudah mencari tenaga pengajar yang rela dibayar seikhlasnya. Akibatnya, tidak sedikit guru yang kabur, usai mengikuti training dari Ridwan.

’’Saya pernah melatih 30 calon guru KPM. Ketika saya tanya apa mereka mau dibayar seikhlasnya, sebagian besar kabur. Hanya satu dua yang bertahan dan biasanya mereka mahasiswa yang butuh tambahan biaya kuliah,” tutur dia.
   
Kendala itu juga tidak memudarkan semangat Ridwan. Sedikit demi sedikit upaya Ridwan membuahkan hasil. Jumlah muridnya terus bertambah. Bahkan, dia harus merelakan rumahnya untuk dijadikan tempat kursus.

“Jadi saya dan keluarga yang pindah ke rumah kontrakan, sementara kantor KPM pakai rumah saya. Bahkan kalau kontrakannya habis, saya dan keluarga harus pindah lagi. Tapi, Alhamdulillah, istri saya sama sekali tidak keberatan,”urai penerima penghargaan Satya Lencana Wira Karya dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2007 itu.
    
Tidak hanya itu, sebagai pelatih nasional olimpiade, Ridwan beberapa kali berhasil membuat siswa-siswanya meraih kemenangan di olimpiade matematika tingkat nasional dan internasional. Bahkan, tidak sedikit orang tua yang lantas menanyakan metode pembelajaran matematika yang diajarkan Ridwan para siswanya. “Banyak yang bilang, kok anak saya pulang-pulang dari sini, jadi pinter matematikanya,”ujarnya.
   
Ridwan menjelaskan, memang ada metode khusus yang digunakannya. Dia menyebutnya metode Matematika Nalariah Realistik. Sesuai namanya, metode pembelajaran tersebut menggunakan penalaran dalam memahami matematika. “Jadi menggunakan matematika untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari,”kata dia.
   
Metode matematika nalariah realistic tersebut pun mulai diterapkan pada 2005. Seiring berjalannya waktu, KPM pun makin besar. Keberhasilan Ridwan membawa murid-muridnya meraih medali dalam sejumlah olimpiade matematika, ikut membantu berkembangnya KPM.  
      
Jumlah murid dari kalangan berada pun terus bertambah. Hal tersebut membantu operasional KPM dan upaya subisidi silang bagi siswa-siswa yang tida mampu. Ridwan pun mulai menerapkan pembagian kelas. Ada kelas regular dan kelas khusus atau kelas berbakat. Kelas regular diperuntukkan bagi setiap siswa yang mendaftar di KPM. Sementara kelas berbakat dikhususkan bagi siswa yang berhasil mengikuti seleksi ketat terlebih dahulu. Siswa yang berada di kelas berbakat ini memang dipersiapkan untuk mengikuti sejumlah kompetisi matematika.
 
Anak ketiga dari lima bersaudara itu mengakui, sebagai pelatih nasional olimpiade, dia menyaksikan para peserta olimpiade, pada umumnya berasal dari kalangan mampu. Karena, biaya kursus khusus olimpiade cukup mahal. Bahkan, ada anak yang sampai menghabiskan Rp 20 juta hanya untuk persiapan mengikuti olimpiade. “Nah kalau anak-anak yang nggak mampu kan nggak bisa ikut. Karena itu, lewat KPM saya ingin memberikan kesempatan kepada semua anak, termasuk golongan tidak mampu, untuk mengikuti olimpiade. Dan terbukti, mereka juga sering menang,”urai dia.
    
Namun, meski seikhlasnya, Ridwan cukup disiplin dalam mendidik murid-muridnya. Di samping kemampuan akademis, dia juga getol dalam upaya meningkatkan keimanan dan ketakwaan murid-muridnya. Karena itu, setiap murid memiliki kartu sholat untuk mengukur kerajinan ibadah. Di samping itu, setiap siswa juga memiliki PR akhlaq dan target hafalan Al-Quran. Mereka juga diminta menjalankan satu diantara tujuh sunnah, seperti shalat Dhuha atau shodaqoh. “Kalau ada yang misalnya nggak sholat, kita biasanya suruh push up,”ujarnya.
    
Tidak hanya itu, Ridwan juga tidak segan mengeluarkan anak yang bandel. Dia menuturkan, dalam kelas berbakat, ada sistem eliminasi. Jika nilai siswa menurun atau kelakuannya buruk, maka dia akan dikeluarkan. “Begitu juga kalau ada anak dari kelas regular atau khusus yang tidak masuk tiga kali dalam satu semester, itu juga kita keluarkan,”tegasnya.
   
Kedisiplinan tersebut juga berlaku bagi orang tua siswa. Keberhasilan Ridwan dalam mengembangkan KPM tidak lepas dari upayanya mengedukasi orang tua siswa terkait metode pembayaran seikhlasnya. Dia menguraikan, untuk kelas regular, digelar pertemuan orangtua murid sekali dalam satu semester. Sementara untuk kelas berbakat, sekali dalam sebulan. “Kalau mereka tidak datang sekali saja, saya pecat,” kata dia.
 
Dalam pertemuan tersebut, Ridwan memaparkan metode pembayaran dengan memberikan contoh dari pengalaman-pengalaman pribadinya. “Ya saya cerita pengalaman, kalau orang nolong itu, biasanya berhasil. Dan itu sedikit banyak sukses. Akhirnya orang tua pun sadar metode ini bukan berarti bayar gratis,”ujarnya.
 
Ridwan mengisahkan pernah ada peristiwa yang cukup menggemparkan terkait pertemuan orang tua siswa. Kala itu, dia mengundang 500 orang tua siswa untuk mengikuti pertemuan. Ternyata yang hadir hanya 25 orang. Otomatis, sisanya pun dipecat. “Anaknya datang les, saya suruh pulang. Akhirnya, mereka saya suruh bikin surat pernyataan minta maaf,” ungkapnya sembari tersenyum.
   
Saat ini, di samping membuka cabang, Ridwan juga melebarkan sayap KPM di daerah-daerah tempat tinggal para guru KPM. Nama program tersebut Rumah Pendidikan MIPA (RMP). Program tersebut diperuntukkan bagi para siswa yang tidak bisa datang untuk belajar ke KPM.  “Karena kan di sini lokasinya juga jauh dari perkotaan. Jadi kadang ada yang kesulitan datang kemari, apalagi anak yang nggak mampu. Makanya saya adakan RPM,”katanya.
 
Tidak hanya itu, Ridwan juga membuka kelas taekwondo, pencak silat dan bahasa Inggris. Sama seperti kelas matematika, dia juga menerapkan metode bayar seikhlasnya. Ke depan, Ridwan mempunyai mimpi bisa mendirikan KPM di setiap kota di Indonesia. “Itu mimpi saya, semoga bisa terwujud,”imbuhnya. (***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dijemput Mobil, Bawa Baju Sisa yang Kering


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler