jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sangat tegas menjaga amanat dalam UU Lingkungan Hidup. Salah satunya menerapkan sanksi berat bagi pelaku pembakar lahan dan hutan yang merugikan masyarakat. Tidak hanya yang dilakukan individu ataupun kelompok, tapi juga korporasi.
Pasal 'sakti' UU Lingkungan Hidup yang bisa menjerat pelaku pembakar lahan dan hutan pernah mendapat perlawanan dari kekuatan korporasi. APHI dan GAPKI mengajukan Judicial Review (JR) terkait Pasal 69 ayat (2), Pasal 88, dan Pasal 99 UU Lingkungan Hidup ke Mahkamah Konstitusi, meski kemudian mencabutnya karena mendapat perlawanan yang sangat keras dari publik.
BACA JUGA: 51 Lokasi Perhutanan Sosial Siap Diluncurkan Jokowi
Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani menegaskan bahwa penerapan pasal dalam UU Lingkungan Hidup, untuk melindungi segenap rakyat Indonesia. Judicial Review (JR) hanya upaya untuk melepas tanggung jawab, dengan mengkambing-hitamkan masyarakat atas ketidakmampuan korporasi sebagai pemegang izin, dalam mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan di kawasan konsesi mereka.
''Seharusnyalah korporasi mampu mencegah dan mengatasi meluasnya kebakaran hutan dan lahan di wilayah konsesi mereka,'' tegas Rasio.
BACA JUGA: Inovasi KLHK Menjaga Kekayaan Negara
Suatu ketika saat Karhutla pernah membara, ternyata berasal dari konsesi lahan lebih dari 80 ribu Ha, bandingkan dengan luas Jakarta yang hanya sekitar 60 ribu Ha. Seharusnya sebagai pemegang izin, korporasi wajib mempunyai kemampuan dan siap untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran di konsesi mereka.
''Meluasnya kebakaran dikarenakan korporasi tidak mempunyai sarana, prasarana dan SDM yang memadai. Agar tidak terulang, dalam dua tahun ini telah diterapkan sanksi administratif, perdata dan pidana dengan tegas,'' ungkap Rasio.
BACA JUGA: KLHK Pastikan tidak Ada Merkuri di Poboya
Penegakan hukum harus dilakukan secara serius, karena jika dibiarkan maka masyarakatlah yang menjadi korbannya. Terbukti hampir dua dekade lamanya Indonesia nyaris selalu langganan Karhutla, dan dampaknya dirasakan jutaan rakyat yang terpapar asap. Aktivitas pendidikan dan ekonomi juga terganggu.
Penegakan hukum baik sanksi administratif, perdata dan pidana yang dilakukan KLHK, mampu memberikan efek jera dalam mendorong perusahaan memperbaiki perilaku dan kinerja pengelolaan lingkungan.
''Ada Perbaikan sarana dan prasarana pencegahan dan penanggulan kebakaran oleh perusahaan, walaupun masih harus ditingkatkan. Kami terus melakukan pengawasan untuk memastikan ketaatan dan melakukan tindakan tegas terhadap perusahaan yang tidak taat,'' ungkapnya.
Sepanjang tahun 2015-2017, Gakkum KLHK telah melakukan 1.444 pengawasan izin lingkungan. Adapun sanksi administratif di periode yang sama, telah dilakukan sebanyak 353 kali. Meliputi tiga sanksi pencabutan izin, 21 sanksi pembekuan izin, 191 sanksi paksaan pemerintantah, 23 sanksi teguran tertulis, dan 115 sanksi berupa surat peringatan.
Penegakan hukum yang dilakukan KLHK sepanjang periode 2015-2017 tidak hanya melalui jalur pidana, tapi juga perdata.
Untuk pidana, ada 338 kasus lingkungan yang statusnya P-21. Diantaranya meliputi kasus pembalakan liar, perambahan, peredaran ilegal TSL, pencemaran lingkungan, serta kasus kebakaran hutan dan lahan. Sedangkan dari penegakan Gakkum jalur perdata, KLHK menangani 25 kasus melalui pengadilan, dan 111 kasus di luar pengadilan.
Adapun total putusan pengadilan yang sudah dinyatakan inkracht untuk ganti kerugian dan pemulihan (perdata), mencapai Rp17,82 Triliun. Sedangkan untuk nilai pengganti kerugian lingkungan di luar pengadilan (PNBP) senilai Rp36,59 miliar. Angka ini menjadi yang terbesar dalam sejarah penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia.
''Penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan melalui sanksi administratif, perdata dan pidana secara konsisten dan tegas adalah upaya untuk melaksanakan perintah konstitusi dan hak-hak masyarakat,'' tegas Rasio. (jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Wujudkan Bebas Sampah di Gunung, Sungai Hingga Laut
Redaktur : Tim Redaksi