jpnn.com - DITUDUH berhala terbesar, Borobudur dibom. Dari 11 bom, sembilan yang meledak. Anehnya, bom yang dipasang di punggung arca Bima, arca yang dikeramatkan sebagian pengunjung, tak meledak.
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Tafsir Al Quran! Antara Borobudur, Nabi Sulaiman dan Ratu Penyembah Matahari
Almanak bertarekh 1953 ketika Daoed Joesoef (mahasiswa UI) dan Adi Putera Parlindungan (mahasiswa UGM) bertandang ke Candi Borobudur.
Saat itu keadaan candi, "semuanya serba miring dan berlumut. Di sana-sini bahkan bermunculan tunas-tunas kecil pohon kayu," kenang Daoed Joesoef yang ketika itu berusia 27 tahun.
BACA JUGA: Tafsir Al Quran! Borobudur Istana Ratu Balqis yang Hilang
Waktu akan menapaki candi, pemilik warung yang mereka singgahi mengingatkan supaya berhati-hati kalau menaiki candi, karena sewaktu-waktu bisa runtuh.
Tetap saja keduanya naik ke puncak candi yang tak berpenjaga seorang pun. "Orang-orang yang ingin mengunjungi candi, tampaknya hanya kami berdua," tuturnya bernostalgia.
BACA JUGA: Kapan Candi Borobudur Dibangun? (1)
Menjelang sore, halaman candi yang luas kian ramai. Pedagang aneka minuman panas, kacang, ketela, jagung rebus, pecel, nasi gudeg, tongseng, mi rebus berdatangan.
Orang yang menaiki candi pun kian ramai. Ada yang menyendiri, semedi sambil membakar menyan. Ada yang gerombolan.
Dan tak sedikit pasangan muda-mudi yang datang untuk memadu kasih. Maka tak ayal, di dinding candi yang penuh relief itu banyak goresan kenangan tanda cinta kasih. Lengkap dengan nama dan tanggalnya.
Maka wajar pula di sana banyak sampah. Mulai dari daun, kulit pisang, kertas pembungkus, puntung rokok, tongkol jagung hingga sisa-sisa makanan.
Menurut info yang didapat Daoed, "kabarnya Borobudur baru dibersihkan bila akan ada kunjungan dari pembesar."
Malam itu Daoed Joesoef dan Adi Putera Parlindungan menikmati indahnya pancaran bulan purnama di puncak Borobudur.
"Seakan-akan tak ada lagi jarak antara langit dan bumi dan dari peleburan yang syahdu menjadi keseluruhan ini memancar makna kehidupan yang mencuat hingga ke dalam keabadian," begitu kesan Dooed dalam kunjungan pertamanya ke Borobudur, 1953.
Warisan Dunia
Antara 1968-1971, Daoed Joesoef sekolah di Sorbonne dan tinggal di Paris, ibukota Prancis.
Daoed rutin berkunjung ke UNESCO--lembaga pendidikan, keilmuan dan kebudayaan PBB yang berkedudukan di kota itu.
"Karena perpustakannya relatif lengkap," katanya.
Apalagi, lembaga ini sering menghelat seminar terbuka dan pameran seni budaya dari berbagai bangsa.
Kemudian hari dia mengetahui UNESCO punya dana khusus untuk membiayai pemugaran monumen warisan dunia.
Kala itu, lembaga PBB tersebut sedang menggarap proyek Abu Simbel di tepi Sungai Nil, Mesir.
Setelah proyek ini selesai, anggaran selanjutnya akan diperebutkan. Daoed terbayang Borobudur.
Daoed mengabarkan ini kepada Kedutaan Besar Indonesia di Paris.
Pendek kisah, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mashuri memberi Daoed Joesof jabatan formal; penasehat delegasi Indonesia untuk UNESCO.
Sambil kuliah, melalui diskusi-diskusi di forum UNESCO, dia aktif meyakinkan bahwa Candi Borobudur perlu diselamatkan.
"Saat itu yang menjadi saingan Borobudur kota air Venesia, Italia dan Mohenjrodaro, kota tua di Pakistan. Akhirnya Borobudur menang," tulis Daoed Joesoef dalam bukunya, Borobudur.
Berhala Terbesar?
29 Januari 1973. Pemerintah Indonesia dan UNESCO menandatangani persetujuan. Hari itu juga, UNESCO dan member states yang bersedia membantu pendanaan pemugaran Borobudur juga teken perjanjian.
UNESCO aktif mengirim delegasinya yang terdiri dari pakar berbagai disiplin ilmu untuk penyelamatan Borobudur ke Indonesia. Mereka bertukar pikiran dengan ahli-ahli Indonesia.
10 Agustus 1973 pemugaran resmi dimulai.
"Tenaga teknis dan pekerja sebanyak 600 hingga 700 orang," tulis Daoed yang pada 1978--lima tahun setelah kembali ke tanah air--diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan oleh Presiden Soeharto.
Dengan jabatan itu, dia berkewajiban mengawasi jalannya proyek pemugaran Borobudur.
Selama proses pemugaran berlangsung, Daoed mengaku sering dikirimi surat kaleng.
"Isinya berupa makian, hujatan dan kutukan bahwa saya orang kafir. Karena bertanggungjawab atas pembangunan berhala terbesar di tanah air."
Menurut dia, dari gaya bahasa yang dipakai dan ayat-ayat yang diketengahkan, sebenarnya sudah jelas si penulis surat kaleng hidup dan berada di lingkungan yang mana.
Dia abai. Proyek jalan terus. Pada 23 Februari 1983 pemugaran Candi Borobudur yang menghabiskan dana US$24 juta, dinyatakan berakhir dan sukses sesuai rencana.
Pukul 10.30, Presiden Soeharto disaksikan Direktur Jenderal UNESCO A.M. M'bow menandatangani prasasti dan sampul hari pertama perangko seri Borobudur.
Dalam riuh rendah kegembiraan hari itu, Daoed resah. Adi Putera Parlindungan, sekondan lama yang kala itu sudah jadi guru besar dan Rektor Universitas Sumatera Utara berhalangan hadir.
Dan Daoed lebih resah lagi ketika dua tahun setelah peresmian itu, entah ada hubungan dengan surat-surat kaleng yang pernah diterimanya atau tidak, Borobudur dibom, Senin dinihari, 21 Januari 1985.
Empat bulan kemudian, polisi menangkap dua bersaudara, Abdul Kadir bin Ali al-Habsyi dan Husein bin Ali al-Habsyi. Mohammad Jawad yang disebut-sebut sebagai otak aksi itu tak pernah tertangkap.
Akibat bom itu, sembilan stupa rusak.
Sebenarnya bom yang dipasang sebanyak 11 buah. Tapi, 2 di antaranya tidak meledak. Yakni, yang diletakkan di punggung arca Bima.
"Itu arca Dhyani Budha yang selama ini dikeramatkan oleh para pengunjung," tulis Daoed Joesoef. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Begini Cara Inggris, Belanda dan Jepang Menjaga Borobudur Ketika Menduduki Jawa
Redaktur : Tim Redaksi