jpnn.com - Dokter identik dengan praktik layanan kesehatan dan orasi ilmiah. Ikatan Alumni FK Unair membuktikan, para dokter juga jago di bidang jurnalistik. Hingga lahirlah majalah bergaya populer bernama dokter. Kini semua orang bisa tahu pernik-pernik kedokteran dengan gaya penuturan yang ringan.
Ratusan alumni Fakultas Kedokteran Unair merayakan peluncuran edisi perdana majalah dokter, Rabu (28/1). Para tokoh kedokteran Surabaya berkumpul di lokasi yang dipilih, aula FK Unair, Jalan Prof Dr Moestopo. Nama-nama yang sudah malang melintang di dunia medis hadir dan bercengkerama bersama. Suasana terasa hangat.
BACA JUGA: Jenazah Teknisi AirAsia Ditemukan, Kakak Saiful: Alhamdulillah Bisa Dikubur
Di antaranya, ahli bedah jantung yang juga President of International College of Surgeon Indonesia Section Prof Paul Tahalele SpBTKV (K) FCIS, dokter spesialis penyakit dalam konsultan ginjal hipertensi Dr Pranawa SpPD KGH, ahli kusta Indonesia Prof Dr Indropo Agusni SpKK (K), serta pasangan spesialis dan konsultan mata Prof Moh Yogiantoro SpPD-KGH FINASIM dan Prof Siti Moesbadiany Soebandi SpM-K.
Mereka menjadi kontributor debut majalah yang dicetak 2.000 eksemplar itu. Kisah dan berita mereka mengisi halaman-halaman majalah tersebut.
BACA JUGA: Pasutri-Pasutri Rescuer, Gaji Kecil Tak Masalah yang Penting Sering Kumpul
Acara dimulai dengan mini talk show yang digawangi para kontributor. Satu per satu menceritakan kisah di balik artikel yang termuat. Ketua Alumni FK Unair Pujo Hartono, Kepala Instalasi Gawat Darurat RSUD dr Soetomo dr Urip Murtedjo SpB-KL, Dekan FK Unair Prof Dr dr Agung Pranoto MSc SpPD, dan sejumlah alumnus lain menyimak cerita mereka dengan serius.
”Saya ucapkan selamat atas terbitnya majalah ini. Tadi Pak Dirut (RSUD dr Soetomo) dr Dodo Anondo MPH berpesan, mudah-mudahan bukan pertama dan terakhir,” ujar Dr Pranawa SpPD KGH.
BACA JUGA: Orang-orang Pigmi di NTT yang Hampir Punah, Miskin, dan Terpinggirkan
Menurut Pranawa, adanya majalah yang digawangi para dokter sebenarnya bukan yang pertama. Namun, masalah klasik tentang mandeknya penerbitan terus terjadi. Dia mencontohkan sudah dua kali membidani majalah medis, tapi semuanya mati di tengah jalan.
Dokter alumnus Unair angkatan 1969 itu berharap hal tersebut tidak terjadi pada dokter. Apalagi dia menganggap majalah itu memiliki gaya baru karena ditulis dengan gaya pop. Rubrik-rubrik di dalamnya memakai istilah kedokteran. Misalnya, Anatomi, X-Ray, Nutrisi, Skeleton, Fisiologi, dan Prognosis. Isinya tidak melulu artikel ilmiah. Tapi, ada kisah lucu masa lalu para alumnus. Ada juga profil alumnus, hobi, traveling, fotografi, sampai review kuliner. ”Bikin majalah itu butuh keterlibatan banyak dokter. Jadi, majalah ini bisa menjadi wadah belajar menulis,” ujar Pranawa.
Sementara itu, Prof Yogiantoro dan Prof Siti Moesbadiany mengaku senang bisa berbagi cerita untuk pembaca majalah yang memiliki moto sharing and caring itu. Keduanya menghiasi rubrik Takikardi, Love Story. Mereka berbagi resep menjaga pernikahan tetap langgeng.
Ada juga Dr Kery R. Kertosen SpOG. Dia dipilih karena merupakan angkatan pertama dokter FK Unair yang berasal dari Merauke, Papua. Sebagai seorang anak petani, Kery tidak menyangka bisa menjadi dokter. Meski sudah jadi dokter, kecintaannya pada tanaman tidak pernah padam. Karena itu, selain menjalani profesi dokter, dia berkebun kangkung dengan lahan seluas 5 hektare. Kery juga sangat menyukai mangga hingga memiliki 40 jenis varietas mangga layak ekspor. ”Alhamdulillah, dari kebun kangkung saya bisa mempekerjakan 15 orang. Ini kepuasan tersendiri. Jadi, saya dikenal dokter petani yang ahli seksualitas,” ujarnya disambut tawa undangan.
Kery menyatakan, majalah dokter penting sebagai sarana silaturahmi antaralumnus. Dia pernah merasakan betapa sulitnya menjalin komunikasi dan memperoleh informasi bagi dokter yang bertugas di pulau terpencil.
Alumnus FK Unair angkatan 1968 itu mengungkapkan pernah bertugas sebagai dokter inpres di Fak Fak, Papua. Daerah tersebut jauh dari kata modern. Menuju kantor kecamatan harus berjalan kaki. TV pun tidak ada. Koran dikirim per bulan. Saat ada rekan dokter ke Papua, Kery baru bisa bertukar informasi. ”Majalah ini bisa dibagikan ke alumni di perbatasan. Bisa memotivasi dan mempererat ikatan,” ucapnya.
Kemudian, Prof Indropo Agusni menambahkan, pihaknya bangga dengan pemberian nama dokter. Semua fon yang dipakai kecil karena memiliki makna dokter itu humble dan tidak boleh sombong. Selain itu, tulisan dokter tersambung semua sebagai tanda jalinan persaudaraan antaralumnus. Terakhir, huruf e dibuat miring yang berarti dokter juga manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan.
Di balik suksesnya peluncuran tersebut, ada para dokter yang memberikan waktu luang demi membidani majalah itu. Pimpinan editorial dokter dr Evy Ervianti SpKK menyatakan bersyukur majalah tersebut bisa terwujud.
Perjuangannya tidak mudah. Persiapan dilakukan sejak Oktober tahun lalu. Para penggawa majalah tersebut harus melongok internet hampir setiap hari untuk mencari tampilan majalah terbaik. Mereka tidak jarang terlibat perdebatan sengit untuk menentukan format. Mulai fon, visi misi, hingga layout. Mereka tidak mau penampilan majalah itu biasa saja. ”Kami tidak mau ecek-ecek dan membosankan. Dilihat sebentar dan ditaruh lagi,” ungkapnya.
Evy pun meminta masukan dari para dokter atas terbitnya majalah perdana itu. Dia juga akan berupaya mewujudkan harapan para dokter agar majalah tersebut tidak bernasib sama dengan para pendahulunya. Yakni, mati dan tidak terbit lagi. Dia berkomitmen untuk kontinu memproduksi dokter. Edisi perdana dicetak 2.000 eksemplar dan diberikan gratis kepada alumni. Jumlah alumni mencapai 9.000 orang yang tersebar di seluruh Indonesia.
Selanjutnya, majalah itu akan terbit setiap triwulan. ”Banyak alumni berusia muda yang sudah berbicara di forum internasional. Nanti kami angkat untuk menunjukkan potensi alumni. Selain itu, bisa memotivasi yang lain untuk berprestasi,” jelasnya.
Salah satu rubrik yang unik dari majalah tersebut adalah Fashion & Mode. Untuk edisi kali ini, ada fashion spread bertema edgy-chic retro. Untuk pembuatan rubrik tersebut, dr Irmadita SpKK bertugas menjadi fashion editor. Dokter spesialis kulit kelamin itu mengungkapkan tidak mudah membuat halaman itu. Sebab, dia tidak memiliki pengalaman dalam dunia fashion. Dia hanya suka membaca majalah fashion. Namun, lantaran diberi kepercayaan, Irma tidak menolak saat ditawari menjadi pengasuh rubrik tersebut.
Di sela-sela praktik, dia mengatur jadwal pemotretan dengan para model yang tidak lain adalah para dokter PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis) FK Unair. ”Foto sejak November. Modelnya dokter Unair sendiri karena banyak potensinya. Tidak perlu ca
BACA ARTIKEL LAINNYA... 10 Perempuan Ini Dilatih Kemiliteran tapi Tetap Harus Pintar Berdandan
Redaktur : Tim Redaksi