Orang-orang Pigmi di NTT yang Hampir Punah, Miskin, dan Terpinggirkan

Rabu, 28 Januari 2015 – 16:28 WIB
BAK RAKSASA: Wartawan Jawa Pos Hilmi Setiawan (tengah) bersama pasangan suami istri pigmi Rampasasa; Viktor Jemarut, 80, dan Tekla Ndandus, 76. (Jawa Pos Photo)

jpnn.com - Keberadaan masyarakat pigmi di Dusun Rampasasa, Desa Wae Mulu, Kecamatan Wae Rii, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), masih menyimpan misteri. Konon, postur tubuh mereka yang pendek mewarisi gen manusia purba Homo Floresiensis yang fosilnya ditemukan di Gua Ling Bua, tak jauh dari Rampasasa.

Laporan Hilmi Setiawan, Manggarai

BACA JUGA: 10 Perempuan Ini Dilatih Kemiliteran tapi Tetap Harus Pintar Berdandan

MISTERI orang pigmi Rampasasa itu menarik perhatian dr Aman Bhakti Pulungan. Aman menganggap keberadaan mereka terlihat ’’ganjil’’ dibanding orang modern pada umumnya. Postur orang pigmi paling tinggi hanya 150 cm, namun dengan organ tubuh yang tumbuh ’’normal’’. Karena itulah, Aman lalu menjadikan orang-orang pigmi sebagai objek penelitian disertasinya untuk meraih gelar doktor di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) 13 Januari lalu (Jawa Pos, 15 Januari 2015).

Berdasar penelitian Aman, postur pendek orang pigmi tidak disebabkan kekurangan gizi atau zat kalsium. Bahkan, kata dosen FKUI tersebut, asupan gizi orang-orang pigmi lebih dari cukup. Malah, yang ekstrem, lebih baik dibanding gizi orang Jakarta.

BACA JUGA: Kisah Sukses Pengusaha Tiwul: Yosea Suryo Widodo

Aman menyimpulkan bahwa postur pendek orang-orang pigmi ternyata merupakan faktor genetis alias keturunan. Mereka diindikasi masih keturunan manusia purba masyarakat Flores (Homo Floresiensis) yang hidup ratusan tahun silam di Flores.

Atas dasar hasil penelitian Aman itu, Jawa Pos menemui langsung orang-orang pigmi di Rampasasa 16 Januari lalu. Hingga saat ini orang pigmi di Rampasasa masih tersisa sekitar 200 jiwa.

BACA JUGA: Lulusan SD jadi Juragan Antena, Kini Punya 13 Rumah

Begitu sampai di dusun yang terletak di lereng bukit itu, saya langsung berkunjung ke salah satu rumah warga pigmi. Memang, setiap tamu yang datang ke kampung kate Rampasasa akan diajak masuk ke rumah gendang, rumah adat mereka. Dinamai rumah gendang karena di tiang penyangga rumah bagian tengah digantung beberapa buah gendang. Juga ada perisai dan cambuk. Ketiganya dipakai saat ada perhelatan tarian adat caci setiap selesai musim panen, sekitar Agustus.

Saat masuk rumah kecil itu, saya seperti raksasa yang sedang masuk rumah liliput. Tinggi tubuh saya yang sekitar 170 cm nyaris menyundul kayu penyangga atap yang terbuat dari seng. Bahkan, ketika melalui pintu, saya harus merunduk agar tidak terbentur gawangnya yang hanya setinggi 1,7 meter.

Rumah gendang tersebut mempunyai lima ruangan. Empat ruangan untuk kamar tidur penghuni yang masing-masing berukuran 4 x 3 meter. Letaknya di empat sudut rumah gendang. Sedangkan satu ruangan lainnya merupakan ruang serbaguna yang berada persis di tengah-tengah rumah. Ruang serbaguna itu dipakai untuk upacara adat menyambut tamu atau upacara-upacara keluarga lainnya, seperti pernikahan, kelahiran, atau kematian.

Setiap tamu asing yang masuk rumah gendang akan disambut upacara kapu oleh seluruh warga pigmi Rampasasa. Siang itu upacara dipimpin Darius Sekak, 65, yang merupakan ketua rumah gendang. Pria bertinggi 140,9 cm tersebut tinggal bersama istrinya, Regina Idas (140,8 cm).

Penghuni rumah gendang terdiri atas pasangan dari suku-suku yang berbeda. Mereka tinggal di empat kamar yang tersedia. Dua kamar untuk perwakilan suku Ntala, sedangkan dua kamar lainnya untuk suku Tuke’i dan suku Lao. Suku Ntala mendapat dua kamar karena jumlah dan pengaruhnya lebih dominan daripada suku lainnya.

Suku Ntala diwakili Darius dan istrinya serta pasangan Victor Jerubu (146,5 cm) dan Yuliana Mia (140). Suku Tuke’i mendelegasikan pasangan Petrus Antas (145,5) dan Martha Dahung (136,5). Sementara itu, perwakilan suku Lao di rumah itu adalah Rofinus Dangkut (157,9) beserta istrinya, Yuiana Nut (140,6).’’Rumah adat ini harus diisi perwakilan dari suku-suku yang ada. Tidak boleh hanya dihuni satu suku saja,’’ jelas Darius.

Kondisi bilik-bilik kamar di rumah gendang itu sangat sederhana dan jauh dari standar kesehatan rumah pada umumnya. Setiap kamar masih disekat lagi menjadi dua ruangan. Satu ruangan difungsikan sebagai ruang keluarga, ruangan yang lain untuk tempat tidur.

Kondisi tempat tidurnya juga sangat sederhana, hanya berupa dipan kayu yang di atasnya diberi kasur tipis yang sudah kumal. Tak ada pencahayaan, apalagi listrik. Cahaya hanya bergantung kepada sinar matahari yang masuk melalui celah-celah dinding kayu.

Darius menceritakan, di rumah gendang berlaku aturan pewarisan bilik kamar. Biasanya orang tua akan menyerahkan bilik kamar itu kepada anaknya yang belum bisa membangun rumah sendiri. Tetapi, ketika anak-anaknya sudah bisa membangun rumah sendiri di luar rumah gendang, kamar tersebut akan dihuni orang tuanya sampai meninggal.

Dan, ketika orang tua yang menghuni rumah gendang itu meninggal, harus ada salah satu di antara anak-anaknya yang bersedia menghuni bilik kamar di rumah gendang. ’’Anak-anak tidak boleh menolak. Karena itu amanat dari orang tua sebelum meninggal,’’ jelas Darius.

Dengan cara seperti itu, keempat bilik kamar di rumah gendang tidak pernah kosong. Aturan adat tersebut mereka jalankan secara turun-temurun sejak dulu.

Terkait dengan postur tubuh mereka yang pendek, Darius mengakui bahwa itu merupakan warisan dari nenak moyang mereka yang secara ilmiah dikenal dengan nama homo Floresiensis. Manusia purba itu dulu banyak hidup di gua-gua, salah satunya di Gua Liang Bua yang terletak sekitar 2 km dari Dusun Rampasasa.

’’Nenek moyang kami itu pindah ke Rampasasa setelah di sekitar Gua Liang Bua terjadi wabah penyakit misterius. Banyak yang kemudian mati di dalam gua,’’ jelas Darius.

Meskipun secara fisik lebih pendek dibanding warga pada umumnya, orang-orang pigmi Rampasasa tidak pernah berkecil hati. Pemuda-pemuda pigmi juga aktif ikut kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan. ’’Kami kan juga warga seperti yang lain. Jadi ya wajar kalau kami ikut kegiatan seperti yang lain,’’ tutur pria yang dituakan di suku Ntala itu.

Dari sisi sosial ekonomi, masyarakat pigmi Rampasasa masuk kategori prasejahtera alias miskin. Penghasilan mereka sebagai buruh tani cengkih dan kemiri tidak seberapa. Paling banter mereka hanya mendapatkan beberapa kg beras sebagai ongkos kuli berkebun.

Untuk mencukupi kebutuhan hidup lainnya, masyarakat pigmi menarik ongkos kepada setiap wisatawan yang datang ke kampung mereka. Misalnya, ketika wisatawan ingin masuk rumah gendang, warga akan menarik tarif Rp 100 ribu per orang.

Kemudian, untuk foto bersama orang-orang kate itu, wisatawan juga harus mengeluarkan duit antara Rp 50 ribu-Rp 100 ribu. Lalu, untuk jasa pemandu masuk ke kampung pigmi Rampasasa, tarifnya Rp 50 ribu. ’’Orang pigmi Rampasasa menganggap setiap tamu yang datang itu membawa berkah bagi mereka,’’ kata Kornelis, penjaga situs Gua Liang Bua. (*/c9/ari/bersambung)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Priscilla Sitienei, Nenek Usia 90 Tahun jadi Murid SD


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler