BACA JUGA: Dradjad Wibowo pun Menangis
Maklum, harga nilam kala itu melambung, bahkan banyak petani mengalihkan sawah atau kebun para milik mereka dengan tanaman nilamLuar biasa
BACA JUGA: Jalan Tengah Perang Sawit
Saya menyaksikan demonstration effectBACA JUGA: Gaya Dahlan Patut Ditularkan
Kemeja, celana, piring dan kompor minyak tanah, dan sebagainyaYang panennya bagus malah membeli sepeda atau sepeda motorMirip petani sawit di Labuhanbatu yang berduyun-duyun membeli mobil pada 1997-1998 silam, ketika rupiah terpuruk Rp 17.500 per dolarMaklum, harga tandan buah sawit segar (TBS) melejit luar biasa.Tapi, eh, ada petani yang membeli kulkas alias lemari pendinginJangan tertawa para pembaca, si kulkas berubah menjadi lemari tempat pakaian, karena listrik belum masuk ke desa itu.
Teknologi memang canggihMembikin hidup lebih mudahSemakin efisien dan efektif dengan tujuan yang hendak digapaiTetapi teknologi yang selalu muncul dengan sistem mutakhir, tetap sajalah dikendalikan manusia yang bisa saja tak mencapai sasaran jika terjadi human error.
Kita belum tahu persis apa yang terjadi di tubuh maskapai Garuda yang hendak menerapkan sistem pelayanan terintegrasi, mulai dari monitoring pergerakan pesawat, kru dan lainnya, tetapi tiba-tiba kacau sejak 19 November 2010 laluSistem yang diberi nama "Integrated Operational Control System" (IOCS) yang diberlakukan sejak 18 November 2010 itu, pada 19 November 2010 "down" sekitar empat jam.
Puncak efek berantainya terjadi pada 21 November 2010, sehingga ratusan penerbangan Garuda di berbagai bandara kacau, delay berkepanjangan, hingga dibatalkan.
Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar mengaku, pihaknya telah mengeluarkan sekitar Rp 220 juta di samping membayar kompensasi pembayaran tiket hingga dua kali lipat besarnya.
Konon, tercatat sekitar 737 penumpang yang batal diterbangkan pada hari pertama gangguan sistem, terpaksa diinapkan di hotel oleh pihak Garuda sebagai konsekuensi yang diberikan maskapai sebagai bagian dari pelayananYa, barangkali bukanlah sebuah kerugian yang berarti untuk Garuda.
"Waktu hari pertama, kami hotelkan ada sekitar 737 penumpangKita kalikan saja jika rata-rata 300 ribu, mungkin sekitar Rp 220 juta," ujar Emirsyah, Selasa (23/11/2010).
Bahkan, kerugian akibat banyaknya jadwal penerbangan yang dibatalkan, menurut Emirsyah, bukanlah kerugianTetapi hanya kehilangan pendapatanYes, lost opportunity belakaLogikanya, pesawat tidak jalan, tidak ada biaya keluarTetapi bukankah gaji awak Garuda jalan terus?
Bahkan bila keterkendalaan ini berlama-lama, bisa mempengaruhi neraca di akhir tahunDi situlah ketahuan, perkara rugi atau untungSebab jika hanya perkara pesawat tidak jalan dan tidak ada biaya keluar, samalah artinya jika penerbangan distop setahun misalnyaHanya sekedar lost oppoutunity belaka?
Efek lain adalah citraApalagi di era liberalisasi maskapai penerbangan yang semakin hari akan semakin kompetitifKonsumen bebas menentukan dengan maskapai apa mereka terbangBelum lagi akibat domino kepada kerugian pengguna jasa penerbangan dan kargo Garuda yang bermatarantai panjangWah, bagaimana ya, mengkalkulasinya?
Tapi, kasus Garuda ini tak boleh membuat kita kapok kepada sistem, teknologi, komputerisme, dan berbagai hal produk modernism yang membuat hidup semakin nyaman, aman, efektif dan efisienMeskipun harus diakui, kadang ada hal-hal yang lucu, jika tidak dikatakan konyol.
Sejak banjir telepon seluler misalnya, sang ayah dan ibu mudah mengontrol putra-putrinyaMeski kadang ada yang meneleponi anaknya sampai puluhan menit, eh, ternyata si anak turun dari lantai dua di rumah mereka dan menemui orangtua yang meneleponinya di lantai dasar rumah yang samaDi satu rumah, kok bertelepon?
Kadang handphone menjadi bos baru yang wajib dipatuhiMeskipun seorang warga kota sudah hendak membeli barang yang ia suka di sebuah plaza, tiba-tiba menjadi batal karena si penjaga toko mencuekinya hanya karena handphone-nya berderingPadahal yang menelepon dari jauh itu malah sedang menagih utang pula.
Kadang dalam sebuah seminar yang asyik, konsentrasi peserta terusik karena mendadak ada dering telpon genggam yang nadanya norak pulaBahkan di atas pesawat pun, masih ada yang belum mematikan telepon selulernya meski sudah diserukan sang pramugari nan cantik.
Bahwa teknologi dengan seluruh sistemnya yang canggih sangat bermanfaat, tidak perlu lagi diperdebatkan.
Seorang teman yang bertugas ke pedesaan yang tidak punya fasilitas internet, bahkan bisa mengirimkan kolom ke sebuah media cetak dengan menggunakan handphoneJika malas menggunakan fasilitas internet di telepon seluler, malah bisa mengirimkannya melalui SMS (short message service), walaupun berkali-kali alinea demi alinea.
Pada akhirnya adalah faktor manusianya juga, secanggih apapun sistem teknologi datang "memanjakan" manusia dan aktifitas kehidupan ekonomi, sosial, politik, kebudayaan dan sebagainyaJika human error terjadi, semua macet dan berantakanTermasuk jika antar-unit yang mikro dan bahkan submikro dari sistem teknologi tidak connect, sistem pun tak berfungsi.
Saya tergelak-gelak membaca berita bahwa ternyata belum semua pemerintahan kota dan kabupaten melaksanakan pelayanan satu atap untuk berbagai urusan izin bagi kaum investor, pebisnis dan industriMasih banyak yang tetap saja menyebar di berbagai instansi/dinas terkait di sebuah kota dan kabupaten.
Padahal dengan sistem satu atap, biaya dan waktu menjadi lebih jelas dan tanpa pungutan ilegal, serta keluar dalam tempo yang lebih singkatNamun sistem yang efisien ini ternyata telah memusnahkan "rejeki" para pemberi izin yang semula banyak ituDengan tatap muka, rupanya kemungkinan pungutan liar tetap langgeng.
Astaga, suap pun rupanya memusuhi sistem teknologi yang canggih! (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sebutlah Soeharto Apa Adanya
Redaktur : Tim Redaksi