Ketika Para Dubes dan Ekspatriat Belajar Bahasa Indonesia di Jogja (2-Habis)

Susah Bedakan Susu Kedelai dan Susu Keledai

Sabtu, 07 Maret 2009 – 06:19 WIB

Selama mengajar para ekspatriat dan duta besar (Dubes), banyak kisah menarik dan menggelikanPengajar di Wisma Bahasa, Jogja, sempat kewalahan ketika ada yang menyeret materi kursus ke ranah agama dan politik.

AGUNG PUTU ISKANDAR, Jogja


HARI itu Rabu (4/3) sore, sekitar sepuluh remaja warga negara Jepang datang ke kantor Wisma Bahasa di Demangan Baru, Jogja

BACA JUGA: Ketika Para Dubes dan Ekspatriat Belajar Bahasa Indonesia di Jogja (1)

Begitu memasuki front office, beberapa pengajar dan petugas administrasi lembaga kursus bahasa Indonesia itu serentak menyapa: ''Selamat sore.''

Warga Jepang yang baru datang itu pun terlihat kikuk
Mereka berpandangan satu sama lain

BACA JUGA: Ketika Para Dubes dan Ekspatriat Belajar Bahasa Indonesia di Jogja (1)

Mereka, tampaknya, bingung dengan sapaan tersebut karena tak mengerti maksudnya
Tak lama berselang, rombongan yang kebanyakan kaum hawa itu pun memilih menganggukkan kepala dan tersenyum.

''Itu rombongan dari tour agent,'' kata Customer Relation Officer Wisma Bahasa Itha Prabandhani

BACA JUGA: Abdul Hadi Djamal, Legislator Penggiat Infrastruktur yang Terjerat Korupsi

Mereka, kata dia, adalah rombongan yang datang ke Indonesia untuk berwisataBeberapa tour agent, kata Itha, kemudian memasukkan belajar bahasa Indonesia sebagai salah satu kegiatan wisata.

''Tapi, mereka tidak lama di siniHanya mendapat pelajaran singkatPokoknya bisa menyapa dan membuat kalimat-kalimat simpel dalam bahasa Indonesia,'' jelas wanita berambut panjang itu.

Sebenarnya, ujar dia, pelajaran bahasa Indonesia yang diberikan di Wisma Bahasa tidak dilakukan menggunakan sistem klasikal, yakni dalam sebuah kelas dengan seorang pengajarTapi, kelas dijalankan dengan satu murid yang diajar empat hingga lima guruMasing-masing guru memiliki tugas sendiri''Nah, dari lima guru itu lantas ada satu yang bertanggung jawab penuh,'' ungkapnya.

Hal senada diungkapkan Direktur Wisma Bahasa Agus SoeharjonoLelaki asli Jogja tersebut menuturkan, dengan sistem seperti itu, interaksi antara guru dengan murid menjadi intensifPemahaman mereka terhadap bahasa Indonesia sebagai budaya dan bahasa pun bisa lebih matang.

Namun, konsekuensinya, tiap guru harus siap meladeni pertanyaan-pertanyaan ''aneh'' dari muridAgus yang dulu mengawali karir sebagai guru di Wisma Bahasa itu menuturkan, dirinya sempat bingung ketika salah seorang muridnya bertanya''Pak, di sini handphone dijual begitu mudah sampai penjualnya berkeliling kampung,'' ujar Agus menirukan pertanyaan salah seorang muridnya.

Dia sempat bingung atas maksud pertanyaan muridnya tersebutDia sendiri tidak memahami bagaimana mungkin handphone dijual seperti itu''Sebentar lagi, dia pasti lewatKita tunggu saja,'' kata murid itu tak mau kalah.

Tak lama kemudian, sebuah suara terdengar dari gang di depan Wisma BahasaSi murid langsung gembira''Itu dia,'' ungkapnya.

Agus pun terkekehTampaknya, yang dimaksud dengan penjual handphone itu adalah penjual lumpiaTiap sore pada jam-jam tertentu, penjual tersebut memang lewat di depan Wisma Bahasa dan meneriakkan dagangannya.

''Penjualnya kan bilang, lumpia, lumpiaNah, murid saya itu mengiranya Nokia, NokiaYa saya jelaskan bahwa itu bukan handphone, tapi makanan,'' tutur lelaki berambut tipis tersebut.

Dia mengungkapkan, selain soal budaya, yang paling sulit dalam belajar bahasa Indonesia adalah membedakan kosakataKosakata itu, kata dia, biasanya yang memiliki pelafalan hampir samaMisalnya, perawat dan pesawat.

Pernah suatu ketika murid diberi tugas membuat kalimatPertanyaannya, kamu pulang naik apa? ''Ada murid yang mengatakan, saya pulang naik perawat,'' ujarnya lantas terkekeh.

Itha pun tak mau kalahDia menceritakan, pernah salah seorang guru dikejutkan oleh pertanyaan salah seorang muridMurid itu mengatakan, ''Tolong buka celana.''

Tentu saja guru pun kagetApa maksud menyuruh membuka celana ituTapi, murid tersebut tidak bergurauDia seriusBeberapa saat kemudian dia pun tersadarTampaknya, murid itu ingin berkata, ''Tolong buka jendela.''

Soal pelafalan kata-kata yang hampir sama memang menjadi keluhan utamaMisalnya, Antoine Balancier, salah seorang muridLelaki warga negara Belgia itu mengaku paling sulit membedakan kata kedelai dan keledai''Ini susu kedelai apa susu keledai, susah membedakannya,'' kata lelaki berjenggot lebat tersebut.

Tapi, kata Balancier, ada satu hal yang paling sulit di Wisma BahasaApa itu? ''Ibu guru yang cantik mengganggu konsentrasi,'' katanya lantas tertawa lepas.

Pada beberapa murid di level intermediate dan di atasnya, pembelajaran tidak lagi tentang pengenalan struktur kata dan kosakataPembelajaran dilakukan dengan diskusi dengan tema yang disepakatiKarena itu, seorang guru harus pandai-pandai memilih tema.

Itha menuturkan, pernah salah seorang muridnya yang juga peneliti di sebuah NGO (non-government organization) hanya mau tema-tema Islam''Kebetulan, saat itu lagi ramai berita tentang Syekh Puji yang mau menikahi anak di bawah umurKami berdiskusi soal perdebatan tentang itu,'' jelasnya.

Tema-tema mengenai Islam dan budaya masyarakat memang yang paling ''seksi'' di mata para muridApalagi, selain dari kalangan mahasiswa dan peneliti, kebanyakan murid yang dikirim ke Wisma Bahasa bekerja di staf kedubes yang berhubungan dengan pekerjaan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat.

Likhu Puspa Hapsari, salah seorang guru lainnya, punya cerita soal ituSuatu ketika dirinya mendapat murid dari AmerikaLelaki bule tersebut sedang melakukan penelitian untuk meraih gelar doktoralKebetulan, disertasi dia membahas soal Islam di Indonesia.

Semua tema diskusi harus mengenai IslamSebab, jika tidak, bule itu takkan antusias mengikuti pelajaranSampai saat ini, Likhu dan muridnya tersebut masih kerap berinteraksi via jaringan pertemanan, Facebook.

''Suatu ketika, dia pernah menulis di wall FB (Facebook, Red) milikkuKatanya, bagaimana pendapatmu dengan fatwa golput haram dari MUI,'' tutur nona 24 tahun asli Lamongan tersebut.

Likhu menjawab, tidak semua orang menuruti fatwa ituSebab, masyarakat sekarang tidak terlalu menurut kepada MUIMasyarakat lebih menurut pada kiai dan ulama setempat.

Namun, muridnya itu tak mau kalah''Dia membalasKatanya begini, tapi sekarang orang Indonesia lebih menurut sama perkataan Hidayat Nurwahid (ketua MPR dan mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera, Red) ya,'' ujar LikhuKali ini, dia yang bingung harus menjawab apa.

Para guru memang memiliki pendekatan berbeda kepada tiap muridSemua harus menyesuaikan keinginan dan antusiasme merekaLikhu menuturkan, pernah ada seorang murid dari Kedubes AustraliaTampaknya, dia memiliki tugas untuk memantau pemilu di Indonesia.

Tiap murid, kata dia, harus menjalani program field tripYakni, kunjungan ke beberapa tempat sebagai sarana belajarNamun, staf kedubes itu tak mau kalau field trip harus ke tempat wisataDia lebih memilih pergi ke kantor-kantor partai.

''Ya, kami akhirnya harus mendampingi dia ke kantor DPD Golkar Jogja, ke KPU daerah, dan sebagainyaPokoknya yang berbau politik lah,'' kata lulusan Bahasa Jepang UGM itu.

Begitu pula dengan tema diskusiSemua harus berhubungan dengan pemiluMulai golput hingga aturan-aturan KPUSaat Wisma Bahasa meladeni Dubes Inggris Martin Hatful pun demikianSelama dua minggu belajar di Wisma Bahasa, Hatful tak lagi belajar mengenai tata bahasaTapi, lebih pada wacana politik di Indonesia(kum)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kobe Shimbun. Koran yang Sudah 120 Tahun Tak Pernah Libur


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler