jpnn.com - TAHUN bertarekh 1908. Ketika orang pergerakan di tanah Jawa mendirikan Boedi Oetomo, ranah Minang tengah bergolak. Urang awak angkat senjata, menolak bayar pajak pada Belanda. Pemberontakan itu berjuluk Perang Belasting.
-------
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
-------
BACA JUGA: Baca Nih...Trik Hamengkubowono X Macarin Pemudi Ibukota
Puncak acara peringatan hari Kartini tahun 1963 di kota Padang, menampil-dengarkan cerita Mande Siti. Saat itu umurnya 78 tahun. Meski sudah rabun, sepuh itu tak pikun.
Merujuk tulisan para juru warta di sejumlah media dan kesaksian yang dituliskan orang-orang yang hadir hari itu, Mande Siti mengurai cerita laksana orang bakaba.
BACA JUGA: Bukan Pindad! Inilah Kisah Pabrik Senjata Pertama...
Dan cerita itu dibukukan oleh Abel Tasman, Nita Indrawati dan Sastri Yunizarti Bakry dalam Siti Manggopoh. Lebih kurang berikut ini cuplikannya...
21 Februari 1908 pemerintah Hindia Belanda menerapkan peraturan belasting (pajak) di Minangkabau.
BACA JUGA: Dari Belanda ke Jepang, Galangan Kapal Terbesar Itu Dikuasai Republiken
Manti, dubalang, kepala nagari dan penghulu dikumpulkan untuk sosialisasi peraturan baru tersebut. Mulai 1 Maret kebijakan belasting mulai berlaku.
Segala hal terkait kehidupan rakyat kena belasting. Mulai dari pajak kepala, pajak cukai, pajak rodi, pajak tanah, pajak kemenangan/keuntungan, pajak rumah tangga, pajak penyembeliha, pajak tembakau, hingga pajak rumah adat.
Urang awak menolak takluk. Penindasan berbuah perlawanan.
Nagari Air Bangis, Painan dan Padang Panjang mengeluarkan resolusi penentangan. Luhak Agam tidak memenuhi undangan kepala laras saat sosialisasi.
Ada juga yang unjuk rasa ke kantor Asisten Residen di Bukittinggi. Dalam aksi itu, blanko belasting dirobek rakyat.
Protes Tak Berdengar
Untuk memuluskan peraturan belasting, pemerintah malah menempatkan balatentara untuk memungut pajak di sejumlah nagari. Mereka mendirikan markas.
Satu di antaranya di Bukit Bunian Berpuncak Tujuh, dua kilometer dari Pasar Manggopoh, Lubuk Basung.
"Belanda menempatkan sebanyak 55 orang tentara di sini," tulis buku Siti Manggopoh, karya Abel Tasman, Nita Indrawati, Sastri Yunizarti Bakry.
Tak sekadar memungut pajak, merasa berkuasa dan punya senjata, para serdadu kumpeni itu mulai berulah. Berlaku semena-mena. Sampai-sampai merendahkan nilai-nilai keperempuanan yang dijunjung tinggi di Minangkabau.
Habis sabar, seorang perempuan bernama Siti dari nagari Manggopoh merancang pemberontakan. Siti ketika itu berumur 28 tahun. Ia lahir bulan Mei 1880.
Dikumpulkannya para pendekar. Diajaknya berundinga di surau Kampung Parit, kini masjid Pahlawan Manggopoh.
Hadir di situ, Pak Cik Tuanku Padang, Majo Ali, Dullah Sutan Marajo, Rahman Sidi Rajo, Tabuh Mangkuto Sutan, Dukap Marah Sulaeman, Muhammad Bagindo Sutan, Tabad Sutan Saidi, Kalik Bagindo Marah, Unik, Sain Sidi Malin, Kana, Dullah Pakiah, Nak Abas Bagindo Bandaro, Sumun Sidi Marah, Siti dan suaminya Rasyid Bagindo Magek.
Merujuk jumlah yang hadir, "mereka membentuk Rombongan 17," tulis buku Siti Manggopoh.
Di surau yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari benteng Belanda, siasat disusun.
Siti yang ketika itu sedang ranum-ranumnya, bertugas menyusup ke markas Belanda untuk membaca keadaaan. Kendati sudah beranak dua, Siti masih bahenol.
Dullah mendulang sebanyak-banyaknya informasi di warung sate miliknya. Majo ali bertugas membangun front ke Kamang, Bukittinggi; menemui pimpinan gerakan rakyat di sana.
Seperti apa perlawanan yang dipimpin seorang perempuan ini? Ikuti sambungannya... “Siti Manggopoh, Kepala Pemberontak dari Ranah Minang”. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Galangan Kapal Terbesar di Asia Itu Direbut Jepang
Redaktur : Tim Redaksi