Ketum IGI: Guru Honorer Tidak Sanggup Mengamankan Seluruh Siswa di Masa Pandemi

Minggu, 31 Mei 2020 – 23:49 WIB
Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim. Foto: Ist

jpnn.com, JAKARTA - Ikatan Guru Indonesia (IGI) mendukung kebijakan Presiden Jokowi yang tidak ingin grasa-grusu menerapkan new normal di sekolah. Sebab, penerapan new normal di sekolah masih sangat berisiko jika dilakukan dalam waktu dekat. Protokol keselamatan di sekolah berbeda kondisinya dengan sektor umum lainnya terlebih yang dihadapi adalah anak-anak.

"Kami mendukung penundaan new normal di dunia pendidikan dan meminta Mendikbud Nadiem Makarim sesegera mungkin menyampaikan hal tersebut secara terbuka mengingat begitu banyak disdik saat ini yang sudah bersiap-siap menjalankan pembelajaran tatap muka mulai 13 Juli mendatang," kata Ketum IGI Muhammad Ramli Rahim dalam pernyataan resminya, Minggu (31/5)

BACA JUGA: Ketum IGI: Guru dan Siswa Rugi Besar Kalau Tahun Ajaran Baru Tidak Diundur

IGI tetap menolak adanya keinginan banyak pihak mendorong pembelajaran tatap muka meskipun dengan protokol kesehatan yang ketat, termasuk memperpendek waktu belajar menjadi hanya 4 jam tanpa istirahat.

IGI sangat yakin, sekolah yang saat ini digawangi oleh sekitar 60% guru honorer dengan mayoritas pendapatan hanya Rp 250 ribu per bulan tak akan sanggup menjalankan protokol kesehatan secara ketat bagi anak. Mulai dari masuk pagar sekolah hingga menanggalkan pagar sekolah, ini belum termasuk protokol kesehatan diantar sekolah dan rumah.

BACA JUGA: IGI Minta Tahun Ajaran Baru dDitunda Hingga 2021

"Memang akan ada sekolah, terutama sekolah swasta bonafid atau mantan sekolah unggulan yang mampu menjalankannya dengan baik tetapi itu tak layak menjadi alasan untuk menerapkan pembelajaran tatap muka secara keseluruhan," tegas Ramli.

Karena itu potensi penularan Covid-19 kepada anak atau dari anak sangat besar meskipun belajar hanya 1 jam di sekolah.

BACA JUGA: IGI Minta KPK Awasi Penyaluran Dana BOS untuk Pembelajaran Daring

Oleh karena itu Kemendikbud harus bersikap tegas sesuai arahan presiden. Kegamangan Kemendikbud mengakibatkan Dinas Pendidikan (Disdik) daerah mempertaruhkan nyawa anak didik. New Normal di dunia pendidikan seharusnya diterapkan jika di luar dunia pendidikan sudah sukses dijalankan.

Sebanyak 86 anak dinyatakan positif terinfeksi virus corona baru atau Covid-19 di Nusa Tenggara Barat (NTB) hingga Kamis (28/5). Dari 86 anak yang positif terinfeksi Covid-19 itu, 35 di antaranya merupakan balita rentang usia 0-5 tahun dan 51 anak berasal dari rentang usia 5-18 tahun.

Berdasarkan data persebaran Covid-19 dari situs web Covid19.go.id, per 29 Mei 2020, sebanyak 2,3 persen kasus positif corona adalah balita (0-5 tahun) dan 5,6 persen anak-anak (6-17 tahun).

Sementara di Jakarta sebagai salah satu wilayah dengan jumlah kasus corona yang tinggi juga memiliki banyak kasus anak positif COVID-19. Dikutip dari situs corona.jakarta.go.id, per 29 Mei 2020, balita (usia 0-5 tahun) yang terkonfirmasi positif mencapai 89 orang.

Sementara itu berdasarkan angket yang dilakukan oleh komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan mayoritas orang tua, lebih dari 80 persen memang menolak sekolah dibuka pada tahun ajaran baru ini.

Sementara itu petisi "TUNDA MASUK SEKOLAH SELAMA PANDEMI" hingga saat ini sudah ditanda tangani 92.715. Data tersebut seharusnya sudah menjadi dasar bagi Kemendikbud untuk mengambil keputusan yang jelas dan terang benderang.

Kemendikbud menurut IGI selama ini sudah sangat sering menganggap masalah serius bukan sebuah masalah. Misalnya terkait status dan pendapatan guru. Di era Pandemi ini, pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang masih jauh dari kesempurnaan pun dianggap bukan masalah. Padahal tingkat stress orang tua dan siswa sungguh sesuatu yang nyata. (esy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler