Keuntungan Besar Melayang, Kerja Sama Terhambat

Minggu, 12 Juni 2011 – 14:29 WIB
TUNIS - Mohamed Bouazizi mungkin tidak pernah menduga aksi bakar dirinya di jalan Kota Sidi Bouzid, Tunisia, bakal memicu revolusi berkepanjangan di Jazirah Arab dan Afrika UtaraPasca aksi nekat pemuda 26 tahun itu pada 17 Desember 2010, diktator dan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali tumbang pada Januari lalu

BACA JUGA: Yaman dan Libya Bakal Menyusul, Saudi Bisa Terakhir

Lalu, diktator dan Presiden Mesir Hosni Mubarak terjungkal sebulan kemudian.

Revolusi di dunia Arab itu masih bergulir sampai sekarang
Kendati sebenarnya motif nekat sang pemuda itu sama sekali tak berbau politik, warga miskin yang merasa senasib dengan Bouazizi menjadikan insiden tersebut sebagai batu pijakan untuk menggelorakan revolusi

BACA JUGA: Anak Presiden Yaman Kerahkan Kekuatan Militer

Dalam waktu singkat, revolusi sipil yang kali pertama muncul di Tunisia itu pun menjalar ke Mesir, Yaman, Syria, dan Libya.

"Banyak pakar yakin bahwa stagnasi ekonomi merupakan pemicu perubahan politik (di dunia Arab) itu
Idealnya, perkembangan politik dan ekonomi harus sejalan," terang Matthew Partridge, analis ekonomi politik yang juga penulis lepas, seperti dikutip New Statesman Selasa lalu (7/6)

BACA JUGA: Pasukan Syria Gelar Operasi Militer

Mahasiswa kedoktoran London School of Economics itu meyakini bahwa jika pemerintah hanya fokus pada perkembangan ekonomi tanpa peduli soal dampaknya pada masyarakat, rakyat akan cenderung bersikap oposisi.

Ben Ali, yang berkuasa selama sekitar 24 tahun, berhasil membuat makmur diri dan keluarganyaTermasuk, orang-orang dekat, kroni, dan para pejabat pemerintahannyaSebaliknya, rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan hidup makin sengsaraKekecewaan rakyat Tunisia pada pemerintahan tokoh 74 tahun itu akhirnya dilampiaskan lewat Revolusi MelatiBen Ali yang semula ngotot bertahan pun kemudian menyerahDia meninggalkan kekuasaannya di Tunisia pada 14 Januari 2011.

"Revolusi yang kini bergulir di Timur Tengah itu merupakan puncak dari kekecewaan rakyat terhadap kemiskinan atau kemunduran ekonomi dalam negeri serta tidak berfungsinya lembaga-lembaga negara," tegas Ali Kadri, mantan kepala divisi analisis ekonomi PBB di Timur TengahDalam kondisi tersebut, tutur dia, masyarakat pekerja dan kelas menengah ke bawah lah yang paling menderitaKarena itu, wajar jika kelompok tersebut yang paling santer menyerukan perubahan.

Pada 1971-2000 pertumbuhan ekonomi rata-rata di dunia Arab menunjukkan catatan negatifMisalnya, pendapatan nasional per kapita negara-negara Teluk saat itu hanya berkisar 2,8 persen per tahunNamun, secara kasat mata negara-negara penghasil minyak itu terlihat menterengPara pejabatnya kaya rayaBangunan mewah pun menghiasi ibu kota dan kota-kota besar di wilayah merekaSayang, kemakmuran itu tidak merata dan hanya dinikmati segelintir orang.

"Ini disebabkan kebiasaan rezim penguasa di Timur Tengah tak punya pemahaman yang baik tentang demokrasiMereka cenderung memperkaya diri sendiri dan tidak peduli pada kebutuhan rakyat," ungkap Kadri.

Fenomena itu pula yang terjadi di Mesir dalam tiga tahun terakhirDidukung militer, Mubarak menerapkan kebijakan yang membuat para petinggi angkatan bersenjata makin memuja diaBetapa tidak, Mubarak mengizinkan para jenderal terjun ke dunia bisnis.

Alhasil, militer Mesir menjadi salah satu kekuatan bersenjata terkaya di duniaSebab, militer pun memiliki beberapa perusahaan yang bergerak di sektor yang terbilang basahMisalnya, bidang perhotelan, konstruksi, minyak, semen, minyak zaitun, dan air minumKeuntungan yang masuk pun dinikmati sendiri oleh militer Negeri Piramida tersebut"Biasanya, perusahaan-perusahaan itu dipimpin oleh para purnawirawan berpangkat jenderal," papar Kadri.

Menurut Kadri, kebijakan Mubarak itulah yang lantas melecut revolusi di MesirRakyat jelata dan para pengangguran pun memberontak"Para pengangguran yang termasuk dalam usia produktif itu jelas tak mau nasib buruk menimpa anak cucu merekaKarena itu, mereka lantas berunjuk rasa, menuntut perubahan yang bisa mendatangkan kehidupan lebih baik untuk generasi berikutnya," ulas diplomat yang pernah tinggal di Kota Beirut, Lebanon, itu.

Mubarak yang semula ngotot bertahan akhirnya tumbang pada 11 Februari 2011Itu terjadi setelah militer berubah haluan dan mendukung revolusi sipil yang digulirkan rakyat dari Lapangan Tahrir, KairoRumor yang beredar menyebut bahwa militer kecewa setelah mengetahui bahwa Mubarak mempersiapkan putranya, Gamalsebagai penerusnyaIndikasi lahirnya dinasti Mubarak itulah yang membuat militer kecewa.

"Tumbangnya diktator di Tunisia dan Mesir menjadi keuntungan tersendiri bagi rakyat dua negara tersebutSebab, di masa transisi seperti sekarang, jelas suara mereka lebih diutamakanIni menerbitkan harapan bagi masa depan dua negara itu," urai KadriHanya, antek dua diktator itu sepertinya tidak tinggal diamMereka kembali menghimpun kekuatan dan berusaha mencari celah untuk bertakhta lagiItu sebabnya revolusi di Tunisia dan Mesir hingga saat ini belum mengarah pada terbentuknya pemerintahan demokratis.

Namun, revolusi sipil di Yaman, Syria, dan Libya tak berjalan semulus di Tunisia dan MesirMasyarakat internasional, terutama AS dan para sekutunya dari Barat, ikut campurDi Libya, misalnyaAS mengawali campur tangan lewat serangan udara di bawah bendera dan dukungan PBBBelakangan, pemerintahan Presiden Barack Obama menyerahkan operasi udara di Libya tersebut pada pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO)AS, Barat, dan NATO terang-terangan mendukung oposisi yang menghendaki Kadhafi mundur.

Di Yaman, AS juga berbicara lewat Arab Saudi untuk terus mendesak Presiden Ali Abdullah Saleh menyerahkan kekuasaan dan menerapkan pemerintahan transisiDi Syria pun, negara-negara Barat tak tinggal diam.

Bagi AS dan negara-negara Barat, berpangku tangan menyaksikan gejolak politik di Jazirah Arab dan Afrika Utara jelas tak menyelesaikan masalahPadahal, revolusi di sana jelas berdampak serius pada hubungan mereka dengan dunia ArabHal itu terkait dengan transaksi senjata dan perdagangan minyak yang berlangsung di antara Barat dan dunia Arab.

Sejumlah analis, seperti dikutip United Press Internasional (UPI), juga menyebut bahwa revolusi dan pergolakan di dunia Arab berpengaruh pula pada mundurnya kerja sama intelijen BaratPadahal, sebagian besar di antara negara-negara Arab yang bergejolak itu merupakan sekutu Barat (baca: AS dan para sekutunya).

Berita yang menyebutkan bahwa Inggris memberikan pelatihan militer kepada tentara Arab Saudi mendatangkan sentimen buruk bagi Negeri Ratu Elizabeth II tersebutSebab, tentara Saudi belakangan diketahui terlibat dalam represi yang dilakukan oleh pemerintah Bahrain terhadap kelompok oposisiBeberapa waktu lalu, Raja Hamad bin Isa Al Khalifa sengaja mendatangkan tentara Arab Saudi untuk membantu militer Bahrain mengatasi gejolak di dalam negerinyaBeruntung, aksi protes anti pemerintah di Bahrain berhasil diredam.

Bersamaan dengan itu, transaksi senjata Inggris dengan 15 negara di Timur Tengah juga menuai masalahPasalnya, Inggris juga memasok senjata kepada militer Mesir, Bahrain, Tunisia, dan LibyaRepresi bersenjata yang dilakukan pemerintah empat negara itu terhadap oposisi beberapa waktu lalu memicu protes pada InggrisNegara yang dipimpin Perdana Menteri (PM) David Cameron itu lantas dianggap tak bermoralInggris juga dituding telah mendukung kelaliman.

Menyikapi kritik tersebut, Inggris lantas mencabut 160 izin ekspor ke beberapa negara Timur TengahKebijakan yang diterapkan sejak Januari lalu tersebut tidak hanya berlaku untuk senjataTetapi, juga kerja sama lain yang berpotensi mendatangkan keuntungan besarDi sisi lain, Inggris membela diri dengan menyatakan bahwa perjanjian tersebut telah dibuat jauh hari sebelum revolusi bergulir di negara-negara yang bersangkutan.

"Inggris memang memasok helikopter tempur ke AljazairLantas, senapan semiotomatis dan gas air mata ke Bahrain, senapan otomatis ke Mesir, serta granat tangan ke JordaniaTetapi, semua itu berlangsung sejak Januari 2009," ungkap seorang pejabat perekonomian Inggris kepada UPI akhir bulan laluDalam kurun waktu itu, Inggris juga menjual amunisi pistol kepada SyriaSelain itu, menjual granat, senapan untuk para penembak jitu, dan gas air mata kepada Arab Saudi.

Menurut John Stanley, ketua Komite Investigasi Inggris, tidak tertutup kemungkinan bahwa senjata-senjata itu memang dipakai pemerintah Arab untuk menindas warganyaBahkan, mungkin juga sampai menewaskan merekaBerdasar Traktat Perdagangan Senjata, kata Stanley, negaranya telah melakukan transaksi dengan sahSebab, saat transaksi terjadi, para pemimpin Arab yang kini digoyang revolusi itu masih menjadi penguasa yang sah.

Selain senjata, revolusi di Timur Tengah juga menghambat kerja sama intelijen AS serta negara-negara Eropa dengan para sekutunya di Afrika dan ArabPadahal, selama ini AS dan sekutu-sekutu Eropanya bergantung pada informasi teror dari sanaSalah satunya adalah informasi tentang Al Qaeda Jazirah Arab (AQAP) yang berasal dari YamanKondisi Yaman yang karut-marut membuat informasi tentang aktivitas terorisme di sana ikut terhambat.

"Selama ini, informasi intelijen dari Afrika Utara menjadi bagian sangat penting dari pertahanan dan keamanan dalam negeri kami," ungkap seorang pejabat Eropa dalam wawancara dengan Associated Press akhir bulan laluPejabat yang merahasiakan namanya itu pun mengaku khawatir dengan perkembangan krisis politik di kawasan tersebutSebab, pemerintahannya tidak lagi bisa mengidentifikasi ancaman serangan teror dengan tepat.

"Sekarang aliran informasi intelijen dari Afrika Utara sudah banyak berkurangPadahal, kami sangat membutuhkan," ujarnya lagiMenurut dia, ancaman teror tertinggi justru sedang terjadiTerutama, setelah AS mengklaim sukses menewaskan pemimpin Al Qaedah, Osama bin Laden, dalam operasi khusus di Pakistan beberapa waktu laluPejabat tersebut yakin bahwa jaringan militan Islam di seluruh dunia sedang menyusun serangan balas dendamSelain AS, Eropa diyakini sebagai sasaran empuk.

Kekhawatiran sama membayangi pemerintahan ObamaApalagi, pasca operasi khusus yang menewaskan Osama, hubungan AS dan Pakistan memburukIslamabad kecewa dengan taktik yang diterapkan Washington untuk mengakhiri hidup buron nomor wahid AS itu di negerinyaPadahal, selain Pakistan dan Afghanistan, mitra antiteror terbaik AS adalah YamanKini, Yaman sedang tidak bersahabat dengan AS karena Obama mendesak terus agar Saleh secepatnya mundur.

Kendati demikian, Magnus Ranstorp, pakar terorisme dari National Swedish Defense College, meyakini bahwa kerja sama intelijen tersebut akan pulih"Anda bisa saja mengganti pemimpin suatu negaraTetapi, Anda tidak akan bisa mengubah seluruh jajaran pemerintahan yang ada di dalamnyaTermasuk, para pejabat keamanannya," paparnyaDia yakin, mitra Barat dan AS dalam perang antiteror secara global akan tetap memberikan informasiSeiring berjalannya waktu, kata dia, hubungan dengan dunia Arab itu akan normal kembali(berbagai sumber/hep/dwi)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Takut Adik Presiden, Warga Syria Lari ke Turki


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler