jpnn.com, JAKARTA - Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diatur dalam undang-undang yang bersifat lex spesialis harus diawasi dan dievaluasi karena banyak kesalahan.
Karenanya, revisi UU tentang KPK, UU Tindak Pidana Korupsi dan Pengadilan Tipikor, harus dilakukan.
BACA JUGA: Temui Kapolri, Pansus Angket KPK Minta Dukungan Penyelidikan
Ahli pidana dari Universitas Surabaya (Ubhara) Solehudin mengatakan, evaluasi itu harus dilakukan seperti soal kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Dia mengatakan, definisi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan di dalam UU KPK itu berbeda dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
BACA JUGA: Prof Romli Beber Kejanggalan Dana untuk ICW di Depan Pansus Angket KPK
Menurut dia, penyelidikan yang diatur KUHAP tujuannya mencari dan menemukan adanya peristiwa yang diduga kuat merupakan tindak pidana.
"Tapi, kalau di UU KPK penyelidikan itu tujuannya mencari dan menemukan dua alat bukti," kata Solehudin saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket KPK, Selasa (11/7) di gedung DPR, Senayan, Jakarta.
BACA JUGA: Prof Romli Ungkap Hal Mengejutkan soal Kasus BG dan HP ke Pansus Angket KPK
Padahal, lanjut Solehudin, di dalam UU KPK sudah ditegaskan bahwa hukum acara yang digunakan komisi antikorupsi harus mengacu pada KUHAP.
Lebih lanjut dia mengatakan, UU KPK dibentuk dalam suasana euforia sehingga yang timbul adalah bahasa politik, bukan bahasa UU.
Misalnya, dia mencontohkan, ihwal pertanggungjawaban KPK kepada publik. "Ini merupakan kelemahan bagaimana bentuk pertanggungjawaban kepada publik," katanya.
Pakar hukum pidana Romli Atmasasmita menilai pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK sudah out of the track.
Dia mengingatkan, KPK seharusnya tidak melakukan pemberantasan korupsi dengan melanggar hukum. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Masih Diperiksa KPK, Rapat Pansus Tanpa Agun Gunandjar
Redaktur & Reporter : Boy