jpnn.com, JAKARTA - DPP PDI Perjuangan bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil mendorong agar fraksi-fraksi di DPR konsisten dalam mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Nilai-nilai dalam penghapusan kekerasan seksual seharusnya sejalan dengan prinsip Islam.
Hal itu terungkap dalam diskusi publik secara virtual bertajuk Urgensi Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual pada Kamis (10/9).
BACA JUGA: Bu Mega Prihatin soal Kekerasan Pada Perempuan & Anak, PDIP Dorong RUU PKS
Ketua DPP PDIP bidang kesehatan, perempuan, dan anak Sri Rahayu, membuka acara tersebut.
Kapoksi Fraksi PDI Perjuangan di Komisi VIII DPR Diah Pitaloka mengatakan, banyak kelompok masyarakat, akademisi, artis, hingga kalangan legislator yang sudah mulai membicarakan draf RUU PKS.
Di dalam draf RUU PKS yang berusaha diusulkan oleh para aktivis dan pemerhati, ada sejumlah catatan baru termasuk sembilan jenis kekerasan seksual yang mengatur hingga pelarangan penyiksaan.
"Kami berharap drafnya bisa cepat selesai, sehingga bisa segera kami usulkan di dalam proses legislasi di DPR. Kami harap itu bisa terjadi Oktober, sehingga September kalau bisa sudah ada selesai draf dan naskah akademiknya. Sehingga segera ada prapembahasan di teman-teman DPR yang akan menjadi pengusul," kata Diah.
RUU PKS sebenarnya sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tetapi dikeluarkan dari prioritas tahun ini.
BACA JUGA: PKS: Jangan Mempertaruhkan Pendidikan Bangsa Hanya Demi Segelintir Pasal di RUU Cipta Kerja
Rencananya, RUU PKS akan kembali dimasukkan ke prioritas 2021.
Diah mengaku, sebagai yang sejak awal mendorong RUU ini PDIP gembira dengan antusiasme serta dukungan publik yang makin besar.
"Saya yakin sekarang dukungan fraksi-fraksi di DPR makin menguat, semoga memang benar adanya. Tidak hanya di ruang populer, tetapi juga di ruang legislasi," urai Diah.
BACA JUGA: Saran Andi Akmal PKS Terkait Pembahasan RUU Cipta Kerja
"Artinya jangan di luar bicaranya oke mendukung, begitu pembahasan tiba-tiba mundur. Kita berharap ada konsistensi juga dari teman-teman fraksi pendukung."
Valentina Sagala dari Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU PKS menyatakan, pihaknya sedang melakukan finalisasi draf yang akan diusulkan ke DPR.
Pihaknya mendefinisikan, "Perlindungan adalah segala upaya mencegah, menangani, menyediakan perlindungan, memulihkan korban, menindak pelaku, memberikan rasa aman kepada korban, saksi, dan keluarga korban, dan mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual."
"Intinya mempertegas negara hadir melindungi korban," kata Valentina.
Selain itu, diusulkan juga sembilan jenis kekerasan seksual. Yakni pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, perkosaan, pemaksaan aborsi, eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual.
Jaringan Koalisi juga mengusulkan unsur-unsur tindak pidana kekerasan seksual dalam RUU ini lebih detail dibanding perumusan dalam RUU Hukum Pidana.
Contohnya, perkosaan dalam RUU Hukum Pidana mengatur unsur kekerasan atau ancaman kekerasan.
"Sedangkan dalam RUU ini unsur-unsurnya diperluas menjadi kekerasan, atau ancaman kekerasan, atau tipu daya, rangkaian kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan,” katanya.
Sementara itu, KH Marzuki Wahid dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia mengatakan, setiap pemeluk Islam pasti akan menolak kekerasan seksual.
Maka dirinya merasa aneh jika ada WNI pemeluk Islam tak setuju pengesahan RUU PKS.
"Saya meragukan keislamannya. Karena semua orang Islam pasti mengharamkan kekerasan seksual, pasti. Kalau ada orang Islam tidak mengharamkan kekerasan seksual, saya malah mempertanyakan cara pandang keislamannya," kata Marzuki.
Dirinya mengaku sudah membaca draf RUU PKS sejak yang dibuat tahun 2017 hingga yang ada saat ini.
Baginya, substansi RUU itu sangat keren dan seharusnya segera disepakati lalu disahkan oleh Pemerintah dan DPR.
"Sebab RUU ini mengatur mulai dari hulu sampai hilir, mulai pencegahan sampai pemulihan, dan bahkan hak-hak korban ada di situ."
"Kemudian penindakan pelaku juga ada, bahkan hukum acaranya juga ada. Dan menurut saya ini yang kita butuhkan. Yakni sebuah undang-undang yang berpihak kepada korban," pungkasnya.
Diskusi tersebut juga menghadirkan Sulistyowati dari Aliansi Akademisi dan Susianah Affandi dari KOWANI. (tan/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga