Kisah Anak-Anak Panti Korban Sodomi Jadi Pelaku Sodomi Berjamaah (5)

Jumat, 08 Januari 2016 – 15:06 WIB
Ilustrasi. Foto: Dok JPNN

jpnn.com - BATAM - Panti Asuhan Rizki Khairunnisa berada di Jalan Bawal Nomor 6 RT 04/RW 01, Batuampar, Batam. Semua anak asuh yang berjumlah 25 orang tinggal di bangunan panti berlantai dua. Di belakang bangunan itu terdapat rumah sang pemilik, Elvita.

Di sana ia tinggal bersama suami, ibu, adik, dan kakaknya. Rumah Elvita dan bangunan panti hanya dipisahkan sebuah pintu.

BACA JUGA: Kisah Anak-Anak Panti Korban Sodomi Jadi Pelaku Sodomi Berjamaah (4)

Bangunan Panti Asuhan Rizki Khairunnisa bagian luarnya bercat kuning tua. Balkon dan tangga masuknya terbuat dari semen. Teras lantai pertama dan kedua sudah dipenuhi jemuran 

Sebuah papan nama ditancapkan di depan anak tangga pertama. Dua relawan tim sosial Batam, yang menelisik kehidupan di sana pekan pertama Oktober lalu, memandang papan nama itu dengan seksama. Mereka lalu menaiki tangga. Salah satunya membawa sebungkus kardus mi instan. Di tangga teratas, Elvita menyambut mereka. 

BACA JUGA: Oalah! Dua Motor Terparkir Di Teras Tiba-Tiba Dibakar Orang Tak Dikenal

Ia menanyakan maksud kedatangan kedua relawan. Mereka datang untuk bersilaturahmi sekaligus berbagi sedikit rezeki. Maklum, seorang di antaranya sedang berulang tahun.

Kardus mi instan itu beralih tangan. Mereka kemudian berbincang. Mereka pamit melihat kondisi panti. Elvita memberi izin. Dua gadis itu berpencar. Satu masih berbincang, satu lainnya berkeliling. 

BACA JUGA: Kisah Anak-Anak Panti Korban Sodomi Jadi Pelaku Sodomi Berjamaah (3)

Si gadis, yang berkeliling, menghampiri kamar yang paling dekat letaknya dengan ruang tamu itu. Ruang itu gelap dan pengap. Bau pesing, apek, dan air liur memenuhi udara. Boks bayi berdiri di satu sisinya. 

Ruang itu nyatanya ruang tidur para bayi. Empat bayi berjejer di sebuah kasur tipis lepek di lantai. Seorang pengasuh sibuk memindahkan botol susu dari satu mulut ke mulut yang lainnya.

Tapi bukan susu yang ada di botol itu. Melainkan air teh. "Mana ada duit buat beli susu. Air teh ajalah," kata pengasuh itu ketika ditanyai mengapa isi botol itu bukan susu seperti dikutip dari batampos.co.id (group JPNN), Kamis. 

Pengasuh itu bersungut-sungut. Wajahnya memancarkan kebencian. Setiap kali ada bayi berteriak, telapak tangannya langsung mendarat ke paha si bayi, atau juga pantat. Tak dihiraukannya penyebab si bayi menangis. Sama seperti tak dihiraukannya ruam-ruam merah di leher seorang bayi laki-laki. Tak dihiraukannya juga -maaf, kotoran manusia di atas kasur itu. Sampai tinja itu mengering.

"Enggaklah (kenapa-kenapa). Ini biasa," jawab pengasuh itu tentang ruam-ruam merah di leher bayi.

Belakangan, ketika bayi itu dievakuasi ke Panti Anak Yayasan Pembinaan Asuhan Bunda (YPAB), pengasuh di sana mengatakan, ruam merah itu biang keringat yang tak dibersihkan. Bayi itu memiliki pipi tembem yang begitu tembemnya hingga menutup leher. Lipatan-lipatan di leher itulah yang menjadi tempat bersarang biang keringat.

Biang-biang keringat itu harus dilap sesering mungkin. Lalu dibubuhi bedak. Jika tidak, muncullah luka berupa ruam-ruam merah itu. Luka itu akan membuat anak tak nyaman.

"Kalau di sana memang ada perawatan, yang seperti ini harusnya tidak terjadi," kata pengasuh di Panti Anak YPAB.

Tak tahan dengan kondisi di ruang bayi itu, si gadis, yang berkeliling tadi, memutuskan keluar. Dan melihat-lihat kondisi ruangan lain di panti itu. Ia menaiki tangga ke lantai II. 

Di sanalah ia melihat beberapa anak tergeletak di lantai. Mereka diam tak bergerak. Ternyata, sedang tidur.

Di satu kamar, yang pintunya terbuka, ia melihat seorang bocah perempuan buang air besar. Kotoran itu ditinggalkannya begitu saja di lantai. Bocah itu kemudian kembali bermain dengan teman-teman seusianya. Mereka semua yang bermain di kamar itu seakan tak terusik dengan keberadaan kotoran itu. 

Pun demikian dengan seorang pria yang tengah berbaring di sofa di luar kamar itu. Pria itu bertelanjang dada. Pandangannya lurus menghadap televisi. Keberadaan si gadis juga tak membuatnya bangkit berdiri. 

Di lantai atas itu, ia bertemu dengan ibu dan adik Elvita. Ia mengobrol sejenak. Bertanya tentang keberadaan anak yang lainnya. Ternyata, anak-anak itu tidak hanya diinapkan di bangunan itu. Ada juga yang diinapkan di rumah adik Elvita. 

Rumah itu berada tak jauh dari bangunan utama panti. Di seberangnya saja. Ketika menengok rumah itu, Elvita menunjukkan seorang bocah cilik. Mereka memanggilnya Be. Ia kakak Za, balita yang tinggal di bangunan utama panti.

"Ia (Be) tinggal di sini karena dia sudah dianggap anak sendiri oleh adik saya," kata Elvita. 

Belakangan, ketika panti ini dievakuasi, Selasa (20/10) silam, Be tak ikut dievakuasi. Begitu juga enam anak lainnya. Sebab, para tetangga mengakui keenam anak itu sebagai anak mereka. 

Tim evakuasi mengevakuasi delapan belas anak dari total 25 anak yang ada. Kedelapan belasnya dibagi menjadi dua. Empat anak yang tergolong masih bayi dititipkan ke Panti Anak YPAB yang berlokasi di dalam kompleks Rumah Sakit Budi Kemuliaan (RSBK). Sisanya dibawa ke Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Permate di Batuaji.

Selama di Panti Rizki Khairunnisa, setiap hari mulai pukul 08.00 WIB, anak-anak sudah mandi. Mereka mengenakan pakaian seragam. Menenteng tas. Lalu diantar dengan 'bus sekolah'. 

Tapi bangunan sekolah anak-anak Panti Asuhan Rizki Khairunnisa itu bukanlah sebuah gedung dengan banyak ruang kelas. Melainkan sebuah masjid. 'TPA Rizki Khairunnisa', begitu yang tertera di sana.

"Sekolah itu maksudnya ngaji. Pulangnya pukul 10.00 WIB," kata Siti Nurhasanah, pengasuh di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Permate menjelaskan.

Anak-anak merasa, sekolah itu mengaji. Bukannya duduk di kelas dan belajar membaca-tulis. Ataupun berhitung. Makanya, ketika sampai di LKSA Permate, anak-anak yang seharusnya sudah duduk di bangku SD itu belum bisa apa-apa.

"Saya tanya sudah kelas berapa, mereka jawabnya iqra berapa. Mereka mengira mengaji itu sekolah," terang Suharmanto, Kepala LKSA Permate.

Suharmanto mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anak tersebut. Ia memiliki sebuah Yayasan Pendidikan Islam Terpadu. Ia memasukkan tujuh dari sebelas anak titipan itu ke SD yang bernama Insan Harapan tersebut. Mereka - As, Ar, Ha, Ma, Ok, Fa, Da duduk di kelas satu. 

Namun, sejatinya, mereka belum terdaftar sebagai murid. Sebab, mereka masuk di akhir tahun ajaran. Pendidikan yang mereka terima sekarang, boleh dibilang, pemanasan dan pengalihan dari apa yang sudah mereka alami sebelumnya. 

"Supaya mereka mengenal juga baca tulis dan berhitung. Sebab, usia mereka sudah besar-besar," tuturnya lagi.

Sementara itu, empat anak lainnya belum bersekolah. Sebab masih di bawah umur. Tugas mereka hanya bermain-main saja. Keempatnya, Ab, Ya, Sh, dan Ra. 

Namun, sekarang, hanya tiga anak yang bersekolah. Yakni, As, Ok, dan Da. Sebab, Ma dan Fa sudah dipindahkan ke Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Bunga Rampai. Sementara Ha dan Ar sudah dijemput orang tuanya, dua minggu berselang setelah hari evakuasi.

Dari ketiga anak yang masih bersekolah itu, Ok menunjukkan perkembangan yang paling signifikan. Ia sudah bisa membaca dan menulis. Nilai-nilainya juga menggembirakan.

"Anak ini memang cerdas. Cepat nangkapnya," kata Siti Nurhasanah, pengasuh di LKSA Permate.

***

Laporan tim relawan sosial Kota Batam menjadi dasar polisi menggerebek Panti Asuhan Rizki Khairunnisa pada Selasa (20/10). Elvita, sang pemilik digelandang ke Markas Polda Kepulauan Riau. Ia ditetapkan sebagai tersangka. Anak asuhnya terpencar di beberapa tempat, di antaranya Ya, Ma, dan Fa yang kini berada di Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Bunga Rampai. 

Meski sudah berada di tempat yang aman, proses penyembuhan trauma mereka tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Tergantung pada tingkat trauma yang diderita setiap anak. Minimal anak-anak itu akan berada enam bulan di RPSA. Namun bisa saja lebih. Tepatnya, ketika trauma mereka benar-benar sudah sembuh.

"Mereka dibikin enjoy, nyaman, aman, dan terlindungi. Sehingga tidak akan memiliki keinginan untuk melakukan 'perbuatan' itu lagi," ujar Anita, Ketua RPSA Bunga Rampai. (ceu/ray)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sembunyikan Sabu Di Anus, Dua TKI Dituntut 20 Tahun


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler