jpnn.com - BATAM - Dunia seksual mengistilahkan apa yang dilakukan anak-anak 'alumni' Rizki Kharunnisa itu dengan kata 'sodomi'. Namun, ketika tim penyidik Sub-Direktorat IV Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Kepolisian Daerah Kepulauan Riau menyebutkan kata itu, tidak satupun mereka tahu artinya.
"Tapi ketika saya menyimbolkannya dengan tangan, mereka tahu semua," kata AKBP Edi Santoso, Kepala Sub-Direktorat IV Ditreskrimum Polda Kepri seperti dikutip dari batampos.co.id (group JPNN), Kamis.
BACA JUGA: Sembunyikan Sabu Di Anus, Dua TKI Dituntut 20 Tahun
Tindakan yang bahkan tak senonoh dilakukan orang dewasa itu bukan hanya sekali mereka lakukan. Beberapa anak mengaku telah melakukannya hampir sepuluh kali. Ketua RPSA Bunga Rampai, Eka Anita Diana, mengatakan bukti adanya tindakan itu tersisa di badan tiga anak yang dititipkan kepadanya.
Namun, tindak pelecehan seksual juga dialami seorang anak perempuan yang tinggal di panti asuhan tersebut. Tindak pelecehan seksual itu dilakukan oleh anak yang masih berusia dua tahun. Hal ini dikuatkan dengan hasil forensik.
BACA JUGA: Rampas Dompet Waria Berisi Alat Kontrasepsi, Tiga Remaja Berakhir Di Kantor Polisi
"Anak-anak ini dipertontonkan hal itu setiap harinya. Sehingga anak berusia dua tahun sudah melakukan penyimpangan perilaku," tutur AKBP Edi Santoso, Kepala Sub-Direktorat IV Ditreskrimum Polda Kepri.
Praktik tak senonoh di Panti Rizki Khairunnisa itu hulunya ada pada Ha. Ia anak usia dua belas tahun yang biasa membantu di panti tersebut. Ha tinggal tak jauh dari panti yang berlokasi di Jalan Bawal Nomor 6 RT 04 RW 01, Batuampar, Batam.
BACA JUGA: Wow... Empat Model Cantik Majalah Dewasa Bikin Ramai Pengadilan Negeri Surabaya
Ha tidak bersekolah. Ia datang dari keluarga tidak mampu. Kedatangannya ke panti itu untuk membantu bersih-bersih. Lantaran rajin, Elvita, sang pemilik Panti Rizki Khairunnisa, memberi kepercayaan padanya untuk mengasuh anak-anak hingga memandikan mereka.
Kepercayaan itu memberi kesempatan kepada Ha untuk berada dekat dengan anak-anak. Seringkali Ha berada di tengah-tengah mereka tanpa ada orang dewasa lain di sana. Ketika itulah, ia menyodomi satu anak di sana.
"Anak yang disodomi itu kemudian menyodomi yang lainnya. Yang lainnya kemudian menyodomi anak yang lainnya lagi. Hingga muncullah sodomers di sana," kata Edi lebih lanjut.
Namun, Ha bukan 'guru besar' di sana. Bocah yang seharusnya duduk di kelas VI SD itu diyakini pernah menjadi korban sodomi sebelumnya. Ketika diperiksa polisi, ia mengatakan, mendapat informasi sodomi itu dari kawannya bernama I.
I menyuguhinya gambar-gambar asusila melalui ponsel. Tindak asusila itu dilakukan baik oleh sesama jenis maupun lawan jenis. Lantaran tidak mendapatkan pemahaman yang utuh tentang tindak asusila tersebut, Ha mau mempraktikkannya.
"Apalagi dia mendapat kesempatan besar di panti asuhan tersebut. Jadilah, ketika memandikan anak, ia melakukannya," kata Edi.
Ha tak hanya melakukan tindak asusila terhadap sesama jenisnya. Melainkan juga ke lawan jenis. As (11 tahun), anak Panti Rizki Khairunnisa lain, mengaku pernah dicabuli Ha. Pengakuan itu diungkapkan As kepada neneknya ketika datang menjenguk ke LKSA Permate di Batuaji. Rajuna, nama nenek itu, kemudian mengadukan hal ini ke Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) Mapolda Kepri, Kamis (5/11) lalu.
Namun, pengaduan yang dibuat Rajuna tidak ditujukan pada Ha. Melainkan pada Elvita, pemilik panti. Ia tidak terima atas perbuatan Elvita yang menelantarkan cucu-cucunya. Bukannya bertambah baik, cucu-cucu yang ia titipkan di sana malah bertambah buruk.
"Bukan hanya menjadi korban. Tetapi malah jadi pelaku," tutur Rajuna ditirukan AKBP Edi Santoso.
Menurut Edi Santoso, semua anak Panti Asuhan Rizki Khairunnisa mengalami trauma. Baik itu psikis maupun fisik. Trauma psikis, salah satunya terjadi pada Ba. Ba adalah bocah perempuan usia dua tahun di panti tersebut.
Ketika melakukan pemeriksaan terhadap Ba, penyidik melibatkan seorang psikolog. Alasannya, Ba belum bisa berbicara. Psikolog itu memeriksa dengan menunjukkan benda-benda.
Edi bercerita, ketika Ba ditunjukkan sebuah pinset, ia menyentuh alisnya. Setelah dilihat, bulu alis bocah itu tidak rata. Ada indikasi pencabutan bulu menggunakan pinset tersebut. Ketika ditunjukkan sebuah sapu, Ba langsung menyentuh punggungnya. Dan ketika ditunjukkan foto Elvita, bocah itu bergidik ngeri dan mencoba menjauh. Ia tampak ketakutan.
"Ia bilang, 'puang, puang, puang'. Puang itu bahasa Bugis untuk menyebut ibu," kata Edi.
Setelah divisum, Ba juga terindikasi mengalami kekerasan fisik. Ini nampak dari gurat-gurat merah seperti 'cakar' di bibir kemaluan dan selangkangannya.
Kondisi itu disampaikan ke anak-anak yang lain. Tak dinyana, semua anak panti mengetahui kondisi itu. Dan ketika ditanyai siapa pelakunya, semua jari mengarah ke satu anak. Namanya, Ab.
Ab mengakuinya. Ab ini bocah laki-laki yang baru berusia empat tahun. Bahkan untuk jalan pun ia belum bisa tegak. Mengapa peristiwa itu bisa terjadi? Ternyata, Ab ini selalu mendapat tugas memandikan Ba.
Edi mengatakan, setiap anak bertugas memandikan anak lainnya, yang berusia lebih muda darinya. Ab yang berusia empat tahun bertugas memandikan Ba yang berusia dua tahun. "Seharusnya pengasuh kan yang memandikannya? Tapi ini pengasuh tak memandikan mereka," kata Edi.
Yang disebut dengan 'pengasuh' pun tidak jelas. Panti asuhan itu memang memiliki papan stuktur organisasi. Tapi nama-nama yang tertera di sana tidak jelas adanya.
Elvita memberi kebebasan kepada semua kerabatnya untuk mengasuh anak tersebut. Terlebih dengan posisi panti asuhan tersebut berada tepat di depan rumah kediaman mereka. Pintu masuk panti asuhan itu sekaligus menjadi pintu masuk kediaman Elvita.
Selain 'tradisi' saling menyodomi, lingkaran kekerasan fisik juga sudah melembaga di Panti Rizki Khairunnisa. Seperti halnya sodomi, anak-anak asuh juga menganggapnya sebagai hal biasa.
Tim relawan sosial yang diutus melakukan survei sebelum penggerebekan oleh polisi menuturkan, ketika mereka datang, ada sejumlah anak bermain pukul-pukulan dengan gagang sapu. Mereka tertawa-tawa seakan sudah biasa mendapatkan hal itu.
Para pengasuh di LKSA Permate juga mengaku mengetahui hal tersebut. Hampir semua anak bercerita pernah dipukul dengan gagang sapu. Terkadang, dengan hanger atau gantungan baju. "Si Ra itu sering dipukul tuh sama gagang sapu," cerita satu pengasuh di LKSA Permate.
Muhammad Syaltut, psikolog Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (BPPPA-KB) Kota Batam, pernah melakukan konseling pada anak-anak tersebut. Mereka mengaku, pemukulan itu hadiah lantaran mereka berisik. Atau mereka enggan mencium kaki puang (Elvita) sebelum makan.
"Ada yang cerita sering dimarahi. Disuruh nyuci tak mau, dipukul," katanya.
Syaltut menemui anak-anak itu setelah mereka berada di LKSA Permate. Sekitar, dua atau tiga hari setelah hari evakuasi. Ia melakukan konseling hingga satu hari penuh.
Sebagian besar pandangan anak memancarkan ketakutan. Dan ketakutan itu sudah terpendam sejak lama. Hanya saja, mereka tak mampu berbuat apa-apa. Akhirnya hanya bisa diam.
"Setiap bising dipukul. Setiap bising dimasukkan ke dalam kamar, dikunci. Seolah-olah dia tak siap menjadi orang tua," ujarnya.
Kebiasaan itu lama-kelamaan akan menimbulkan dampak psikis pada anak. Mereka akan kehilangan rasa percaya diri. Mereka akan berubah menjadi pribadi yang tertutup. Akhirnya, pencarian jati diri mereka lemah.
Hal itu kemudian berpengaruh ke tingkat kreativitas dan intelegensia mereka. Dua hal itu akan sulit dikembangkan. Ketakutan sudah terbentuk di diri mereka.
"Trauma itu harus disembuhkan kalau ingin anak itu percaya diri kembali," katanya.
Caranya adalah dengan memberikan mereka kepercayaan untuk memilih dan memutuskan. Mereka diajarkan bersosialisasi. Mengikuti lomba-lomba untuk mengasah bakat dan kemampuan. "Orang tua asuh harus bisa mengembalikan kepercayaan diri mereka kembali," katanya. (ceu/ray)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Anak-Anak Panti Korban Sodomi Jadi Pelaku Sodomi Berjamaah (2)
Redaktur : Tim Redaksi