Kisah Anak Gagal PPDB 2019, Diam di Rumah, Tidak Sekolah

Kamis, 18 Juli 2019 – 05:03 WIB
Siswa SD di daerah pedalaman berangkat ke sekolah. Ilustrasi Foto: JPG/dok.JPNN.com

jpnn.com - Puluhan anak di Balikpapan Utara terpaksa berdiam di rumah, tidak bisa melanjutkan pendidikan karena gagal dalam seleksi PPDB (penerimaan peserta didik baru) 2019. Mereka ditolak masuk ke sekolah negeri.

--

BACA JUGA: Kena Dampak Kebijakan PPDB , Sekolah Ini Hanya Dapat Dua Siswa Baru

PPDB online sudah berakhir. Namun, masalah baru di Balikpapan muncul. Ada puluhan anak terancam putus sekolah lantaran tidak diterima di SMP 11 di Balikpapan Utara. Celakanya, mereka menolak melanjutkan ke SMP negeri lain dengan alasan jarak.

Ditemui Kaltim Post (Jawa Post Group) di rumahnya Kelurahan Batu Ampar, Kecamatan Balikpapan Utara, Senin (15/7), Agung Suyudi bingung. Sudah empat hari dia tak bisa bekerja. Tidak bisa berkonsentrasi.

BACA JUGA: Sekolah Negeri Ini Ternyata Masih Kekurangan Siswa

Anaknya, Maria Ulfa Olivia, sudah sepekan mengurung diri. Hanya bermain smartphone dan menonton televisi di kamar tidur. Tak ingin bertemu dan bermain bersama anak sebayanya. Malu. Karena tidak diterima di SMP 11 di Balikpapan Utara.

“Iya, sudah hampir seminggu enggak mau keluar rumah. Paling sebentar saja lihat-lihat. Setelah itu masuk kamar lagi. Tadi pagi (kemarin) lihat anak-anak berangkat sekolah saya lihat dia sedih,” kata pria 43 tahun itu.

BACA JUGA: PPDB Gelombang Ketiga Dibuka Besok, Sediakan Kuota 2.250 Siswa

BACA JUGA: UU Sistem Nasional Iptek: Batas Usia Pensiun Peneliti Diperpanjang

Sejak di bangku SD 033 Graha Indah, Balikpapan Utara, Olivia sudah mengungkapkan keinginannya. Melanjutkan sekolah di SMP 11. Alasannya sederhana. Semua temannya juga akan bersekolah di sana.

Pun sekolah itu yang paling dekat dengan rumah. Jika diukur lewat aplikasi Google Maps, hanya 1,3 kilometer. “Saya sebagai orangtua juga maunya di sana (SMP 11). Dekat dan lebih aman buat anak,” ucap Agung.

Dia menyebut, anaknya yang lahir di Balikpapan pada 10 Maret 2007 itu tidak bisa bersekolah akibat sistem zonasi. Dia tinggal di Perumahan Taman Bukit Sari, RT 28, Balikpapan Utara. Yang tak masuk dalam zona ring 1 sekolah. Ditambah, dengan nilai 218, sehari setelah mendaftar PPDB online, anaknya langsung terlempar dari daftar.

“Saya sudah coba bujuk masuk SMP 15 di Graha Indah dan SMP 16 di Kariangau. Tapi enggak mau. Saya juga keberatan, karena untuk transportasinya sulit dan rawan kecelakaan. Pas kami mau ke SMP 16 saja ada kecelakaan,” beber Agung.

Istrinya, Jumiati, juga keberatan jika anaknya sekolah jauh dari rumah. Faktor keselamatan jadi prioritasnya. SMP 16 Balikpapan, misalnya, punya jarak hampir 10 kilometer dari rumahnya. Sedangkan SMP 15 sekitar 6 kilometer.

Apalagi jika sang suami bekerja, dia tak bisa melakukan antar-jemput. Lantaran tak bisa mengendarai sepeda motor. “Diantar ke sekolah lain, dia (Olivia) langsung merengek. Enggak mau kalau enggak di SMP 11,” terang Jumiati.

Meski begitu, ibu rumah tangga itu tak henti memberikan motivasi. Dia mengingatkan anaknya, betapa penting melanjutkan pendidikan. Di rumah pun, sang anak diminta untuk tetap belajar dan mengaji. “Kalau enggak sekolah nanti sulit cari kerja,” kata Jumiati kepada Olivia.

Olivia pun kepada media mengungkapkan keinginannya agar bisa melanjutkan sekolah. Setelah dibujuk untuk keluar kamar, anak bungsu dari dua saudara itu mengungkapkan keinginan tetap ingin bersama teman-temannya bersekolah di SMP 11. “Enggak mau sekolah yang lain,” tutur penyuka K-Pop dan menggambar kartun Spongebob itu.

Nasib yang sama juga dialami pasangan Bahriansyah dan Umi Hani. Anak bungsu mereka, Felysita Syahriani, sejak gagal diterima di SMP 11 cenderung murung dan mengurung diri. Bahkan, sehari sebelum masuk hari pertama sekolah, putri mereka menangis berjam-jam.

“Tadi pagi (kemarin) juga lihat teman-temannya sekolah langsung menangis. Setelah itu lebih banyak nonton televisi di kamar,” kata Bahriansyah.

Alasan Felysita tidak bisa diterima di SMP 11 juga sama dengan Olivia. Nilai 198 tidak mencukupi untuk mendapatkan kursi. Selain itu, Bahriansyah tinggal di RT 25, Graha Indah, Perumahan Taman Sari 2, Balikpapan Utara. Tempat tinggal mereka juga di luar dari zona ring 1 sekolah.

“Yang saya pertanyakan siapa yang menentukan ring 1 itu. Sementara lokasi rumah kami hanya berjarak 1 kilometer ke SMP 11. Yang dekat dan terdampak sekolah,” katanya.

Diduga masih puluhan anak yang bernasib seperti Olivia dan Felysita. Ketua RT 28 Kelurahan Graha Indah Puryadi menyebut telah mengumpulkan 30 nama anak yang tidak diterima di SMP 11 Balikpapan.

Mereka berasal dari RT 1, RT 22, RT 24, RT 25, RT 26, RT 27, RT 28, RT 31, dan RT 58. “Kami sudah berusaha ke pihak sekolah dan ke Disdik (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Balikpapan). Tapi belum dapat solusi,” kata Puryadi.

Orangtua disebut tak bisa berbuat banyak. Anak-anak mereka bersikukuh tak mau sekolah jika tidak di SMP 11. Dengan alternatif sekolah negeri lain pun, jarak dan faktor keselamatan menjadi kendala.

Hal yang sama berlaku jika bersekolah di swasta. SMP swasta terdekat ada di Kelurahan Batu Ampar yang jaraknya sekitar 5–6 kilometer dari rumah mereka. “Itu pun tergolong SMP swasta yang elite. Bayarnya mahal. Sementara banyak orangtua merasa tak sanggup membiayainya,” sebutnya.

Bila tak ada solusi atas 30 anak tersebut, besar kemungkinan mereka memilih putus sekolah. Terlebih mereka memang tak ingin sekolah di luar SMP 11 Balikpapan.

Setelah bertemu para orangtua, Kaltim Post pun menyambangi SMP 11 Balikpapan. Beralamat di RT 64, Graha Indah, awak media bertemu dengan Heru Sucipto selaku kepala sekolah. Dia membeber kondisi selama PPDB 2019 di sekolah yang baru dipimpinnya dalam kurun enam bulan itu.

“Tahun ini kami menerima 600 pendaftar. Sementara yang diterima hanya 288 peserta didik,” kata Heru.

BACA JUGA: Hendri Lihat Ada Indikasi Gerindra Mulai Ditinggal Pengikutnya

Dari 288 peserta didik yang diterima, dibagi menjadi sembilan rombongan belajar (rombel). Sesuai aturan satu rombel berisi 32 siswa. Namun, ada penambahan dari 288 menjadi 324 peserta didik. Salah satu akibat, sekolahnya menerima lebih banyak peserta didik dari keluarga miskin.

Jumlahnya meningkat dari kuota awal 15 siswa menjadi 40 siswa. “Posisi sekarang satu rombel 36 siswa. Ini tak hanya dialami SMP 11, tapi beberapa sekolah negeri lain,” kata Heru.

Karena itu, pihak sekolah membuat permohonan kepada Disdikbud Balikpapan untuk diteruskan ke kementerian soal kelebihan kuota dalam satu rombel ini. Sebab jika tidak, sekolah akan dianggap melanggar Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. “Kami izin dulu secara kolektif melalui wali kota. Nanti oleh dinas dibawa ke Jakarta,” katanya.

Untuk zonasi, SMP 11 tahun ini memiliki 10 RT yang masuk zona ring 1. Semua anak di dalam zona yang mendaftar wajib diterima. Meski nilainya tergolong rendah. Sisanya baru mengambil dari jalur umum. Heru menyebut, nilai minimal terakhir yang diterima adalah 239. “Tahun ini lebih banyak RT yang masuk ring 1. Sebelumnya hanya ada lima RT,” ungkapnya.

Untuk diketahui, 10 RT yang masuk zona ring 1 SMP 11 yakni RT 64, RT 22, RT 34, RT 33, RT 58, RT 19, RT 20, RT 21, RT 32, dan RT 23 Kelurahan Graha Indah. Heru juga menjelaskan, calon peserta akan diminta mengisi dua SMP negeri alternatif yang termasuk zona Balikpapan Utara jika tak diterima di SMP 11. Bisa memilih antara lain SMP 16, SMP 15, SMP 17, dan SMP 20.

“Ya sebenarnya prihatin terhadap mereka yang tak diterima di tempat kami. Tetapi sejak sebulan sebelum PPDB, kami sudah memasang spanduk. Hanya menerima sembilan rombel,” katanya. (rdh/rom/k8)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Banyak Anak Kampung Tua Minta Diakomodir di Sekolah Negeri Terdekat


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler