Merasakan Keharuan dalam Kebaktian Terakhir di Kalijodo

Senin, 29 Februari 2016 – 09:20 WIB
Suasana kebaktian di Kalijodo. FOTO: Puguh Sujiatmiko/jawapos/jpnn.com

jpnn.com - MENGHARUKAN. Kata itu pas menggambarkan suasana misa di Gereja Bethel Kalijodo. Itu adalah peribadatan terakhir setelah gereja tersebut 48 tahun melayani jemaat. Hujan yang turun menambah suasana makin haru. 

Tercatat 47 jemaat yang masih mengikuti kebaktian yang dipimpin Pendeta Timotius Sutomo itu. Semua jemaat hanyut dan tidak sedikit yang meneteskan air mata mendengarkan kotbah yang dibawakan pendeta 45 tahun tersebut. 

BACA JUGA: Gerhana Matahari: Hewan Ternak Diolesi Warna Merah, Ibu Hamil Dimandikan

''Tuhan. Hadirlah di sini. Jadilah saksi bagi kami. Di hari terakhir ini, kami serahkan diri kami padamu, Tuhan Yesus.'' Doa pembuka itu sangat menyentuh. Jemaat tertunduk.

Suara sesunggukan jemaat memecah keheningan ritual suci itu. Sebagian jemaat mengusap pelupuk mata yang mulai basah. Ibadat kemarin benar-benar haru. Salib-salib di tembok gereja sudah tidak ada lagi. 

BACA JUGA: Aplikasi Fox Logger, Ungkap Perselingkuhan Suami

Mimbar yang biasa digunakan pendeta sudah dipindah. Ibadat penutup tersebut juga berjalan tanpa cahaya. Sebab, petugas sudah memutus aliran listrik dalam gereja berukuran 20 x 15 meter itu. Hanya lilin yang menjadi saksi bisu. Keharuan semakin menjadi-jadi karena ibadat berlangsung dengan duduk beralas tikar.

Dalam ibadat itu, pendeta mengingatkan jemaat untuk tidak berkecil hati. Apalagi sampai marah dan meninggalkan Tuhan Yesus. ''Berdoa, berdoa, dan teruslah berdoa. Dekatkan diri kita pada Tuhan. Berdoalah untuk tetangga-tetangga kita, saudara-saudara yang melayani. Bangun kerajaan Allah,'' seru sang imam.

BACA JUGA: Di Depan Kapolda Warga Teriak: Mati Anak-Istri Saya kalau Bohong

Dalam kotbahnya itu, dia mengatakan bahwa situasi saat ini memang sulit. Kenyataan yang dihadapi memang tidak mudah dilewati. Apalagi harus meninggalkan gereja yang sudah digunakan puluhan tahun itu. Dia berpesan, dalam situasi ini, jemaat harus bermetamorfosis. 

Dari kempompong menjadi kupu-kupu. Untuk menguatkan umatnya, dia berkisah. Sebelum berubah menjadi bentuknya yang sempurna, kupu-kupu harus melewati fase menjadi kepompong. Selama berhari-hari, berminggu-minggu, kupu-kupu diselimuti kulit kepompong.

Hingga detik-detik terakhir, kepompong akan berupaya melepaskan zat-zatnya. Zat-zat itulah yang merobek kulit kepompong yang mulai mengering. Lalu, sayap-sayap bayi kupu-kupu mulai muncul dan terbang menikmati hidup baru sebagai makhluk Tuhan yang merdeka di bumi.

''Berterimakasihlah pada masa menjadi kepompong selama 50 tahun ini. Karena hari ini Tuhan melepas kita menjadi kupu-kupu. Tebarkanlah kebaikan di mana pun kita berada. Jadilah pelayan Tuhan,'' ujarnya.

Ibadat terakhir itu diselingi cerita kisah-kisah jemaat. Indah Novianti, 40, salah seorang di antara mereka. Kesaksiannya membuat siapa pun yang mendengar cerita tersebut sedih sekaligus terharu. Ada banyak kisah di gereja itu. 

Kisah yang tidak mungkin didapat di tempat lain. Kisah yang hilang bersama runtuhnya bangunan gereja. Terkenang saat dua tahun lalu dia masuk ke gereja itu kali pertama. Tepat menjelang perayaan Paskah. Anak-anak kecil menyapa dia ramah di ujung jalan. 

Mereka berlari-lari kecil di belakangnya. Bahagia sekali. Lorong-lorong yang dilewati berjejer PSK-PSK cantik. Di lehernya melingkar kalung salib Yesus. Mereka masih sempat bertegur sapa. Sisi lembut manusia memang takan pernah hilang. ''Saya kehilangan momen itu,'' tuturnya, lantas sesenggukan. (bad/c4/ano) 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Polisi Hebat, Menyekolahkan Kembali Ratusan Anak


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler