jpnn.com - WALI KOTA dan wakil wali kota incumbent yang semula berpisah jalan memilih bersekutu lagi. Jumlah kandidat yang semula lima menyusut tajam menjadi tinggal satu. Sembilan partai politik (parpol) yang awalnya mengelus jago masing-masing pun memutuskan berkongsi.
HERDI JAFFAR, Bontang
BACA JUGA: Salut, Mantan Buruh Cuci Ini Sukses Jadi Raja Restoran Beraset Miliaran
Itulah perubahan besar-besaran dalam konstelasi politik Bontang begitu Neni Moerniaeni memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai wali kota. Itu memperlihatkan betapa sangat diperhitungkannya Neni. Sekaligus juga menunjukkan betapa besar upaya untuk menjegal ibu tiga anak tersebut.
Tapi, toh semua upaya itu gagal menghadang laju politikus sekaligus dokter spesialis kebidanan dan kandungan tersebut. Neni yang berpasangan dengan Basri Rase mempecundangi duet petahana Adi Dharma-Isro Umarghani dalam pilkada serentak pada 9 Desember lalu. Neni-Basri mengumpulkan 44.300 suara, unggul 9.282 suara atas pesaing tunggal mereka, Adi-Isro.
BACA JUGA: Demi Sekolah Rossa, si Ibu Rela jadi Tukang Ojek
Hasil tersebut merupakan ”pembalasan” atas kegagalan Neni pada 2010. Kala itu Neni yang berpasangan dengan Irwan Arbain kalah oleh Adi-Isro. ”Ini amanah yang diberikan rakyat, bukan hal yang luar biasa,” kata Neni kepada Kaltim Post (Jawa Pos Group).
Anggota DPR pusat itu tentu saja merendah. Sebab, sejatinya pencapaiannya tersebut tergolong luar biasa. Bayangkan, dia baru memutuskan maju sebagai kandidat wali kota hanya tiga bulan sebelum hari H.
BACA JUGA: Hari Ibu, Kisah Heroik Bidan Desa di Daerah Terpencil
Itu pun majunya lewat jalur independen. Bandingkan dengan Adi-Isro yang didukung kongsi sembilan parpol. Selain itu, di tengah jalan, perempuan kelahiran Jakarta, 55 tahun silam, tersebut berganti pasangan calon wakil wali kota. Pengusaha Joni Muslim yang mengundurkan diri digantikan Basri Rase, anggota DPRD Bontang sekaligus ketua DPC Hanura setempat.
Maju lewat jalur independen itu diputuskan mantan anggota DPRD Bontang dua periode tersebut setelah merasa peluangnya diusung Golkar sangat kecil. Sebab, ketika itu ada dua kader partai beringin yang ingin maju di pilkada: Adi Dharma dan Andi Harun.
Selain itu, dinamika di internal partai memang tak begitu menguntungkan Neni. Saat menjabat ketua Golkar Bontang, dia kerap ”diusik” hingga akhirnya harus lengser. Pertimbangan lain, ujar Neni, saat itu terjadi kisruh di DPP Golkar antara kubu hasil munas Ancol dan munas Bali.
”Soal polemik tersebut, bagi saya, biasa sebagai dinamika politik. Orang tahu saya banyak dizalimi,” kata Neni.
Tapi, justru mungkin karena kuatnya persepsi bahwa Neni adalah korban penzaliman itulah yang membuat dukungan kepadanya mengalir. Kelompok relawan pendukungnya bahkan sudah terbentuk sebelum dia resmi maju.
Sejatinya, istri mantan Wali Kota Bontang Andi Sofyan Hasdam itu mengaku awalnya tak pernah berpikir untuk terjun di pilkada. Sebab, dia masih fokus berjuang di Senayan. Namun, desakan dari berbagai kalangan di Bontang membuatnya berubah pikiran.
”Saya terima ratusan SMS setiap hari. Saat saya reses, masyarakat juga meminta saya maju karena mereka ingin perubahan di Bontang,” kata Neni.
Neni-Basri pun akhirnya resmi mendaftar di KPU Bontang dengan membawa 24 ribu bukti dukungan masyarakat berupa KTP. Jumlah itu di atas ketentuan KPU Bontang yang hanya 16 ribu orang.
Aslinya, klaim Neni, dukungan kepadanya bahkan mencapai 40 ribu orang. Hanya, timnya tidak mampu menyelesaikan keseluruhan entry data sebelum masa pendaftaran.
Begitu resmi ditetapkan sebagai calon, Neni-Basri langsung tancap gas. Mereka berjualan program lewat jalan membaur dengan masyarakat. Keduanya pun rutin blusukan.
Neni mengatakan, dirinya mengadakan sosialisasi dari satu rumah ke rumah yang lain. Jadwalnya pun sangat padat, mulai pukul 08.00 hingga 24.00 Wita setiap hari..
”Kadang-kadang kalau sudah kemalaman, Bunda (sapaan Neni, Red) numpang tidur di rumah warga. Pernah juga Bunda istirahat di masjid sampai ketiduran lho. Sepertinya sudah hampir semua masjid di Bontang saya datangi selama menggelar sosialisasi,” kenang Neni.
Kunci kemenangan lainnya, kata Neni, adalah banyaknya tim relawan yang terbentuk dari berbagai kalangan. Mulai paguyuban, atlet, hingga komunitas.
Agar tak berjarak dengan warga itu pula yang membuat Neni mengaku lebih senang dipanggil bunda ketimbang ibu wali kota. ”Lebih akrab dengan masyarakat,” katanya.
Neni mulai terjun ke politik pada 2003, saat mempersiapkan diri maju sebagai legislator di DPRD Bontang. Praktis, praktiknya sebagai dokter spesialis kandungan harus ditinggalkan.
”Karena ada aturan PNS tidak boleh berpolitik, saya mundur” kata Neni.
Dia berterus terang, tak mudah mengambil keputusan tersebut. Sebab, dari sisi materi, pendapatan sebagai dokter spesialis sangat menggiurkan.
Namun, hasratnya berpolitik tak bisa lagi dibendung. Keinginan tersebut mulai muncul ketika menjabat ketua tim penggerak PKK Bontang. Jabatan itu diemban karena sang suami Andi Sofyan Hasdam adalah wali Kota Bontang kala itu.
Ketika itu Neni merasa pengabdiannya belum maksimal. Sebab, dia sebatas menyampaikan usul dan tak jarang usul tersebut tidak mendapatkan respons dari anggota DPRD saat itu.
”Dari situ hati saya tersentuh melihat banyak warga tinggal di rumah tidak layak huni, kondisi kesehatan yang jelek, anak yang usia sekolah tapi tidak sekolah. Itulah yang mendorong saya meninggalkan praktik saya yang lagi maju-majunya untuk sepenuhnya berada di Kota Bontang,” katanya.
Kini, setelah kekuasaan tertinggi di pemerintahan Bontang sudah di tangan, Neni memilih segera menginventarisasi secara detail permasalahan yang membelit Bontang. Baik infrastruktur, pendidikan, maupun kesehatan.
”Pengalaman dua periode menjadi wakil rakyat di Bontang sudah mematangkan dan menumbuhkan kepekaan saya terhadap berbagai kesulitan rakyat. Aspirasi mereka harus saya perjuangkan,” ujarnya. (*/JPG/c10/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Perjuangan Ngadiyem, Punya 12 Anak, Semua Sukses jadi Pengusaha
Redaktur : Tim Redaksi