Kisah Bung Karno Meredam Perseteruan Elite dengan Halalbihalal

Minggu, 02 Juni 2019 – 08:10 WIB
Deputi IV Bidang Komunikasi Politik Kantor Staf Presiden (KSP), Eko Sulistyo saat memberikan sambutan di acara turnamen futsal Piala Kemerdekaan U-19 di GOR Pasar Minggu, Jaksel. (4/9). FOTO: Almisbat for JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Idulfitri merupakan hari suci bagi umat Islam untuk saling memaafkan dan kembali menjadi fitri. Namun, dalam sejarah kebangsaan Indonesia, hari raya terbesar umat Islam itu bukan sekadar kegiatan religius.

"Tapi juga simbol untuk mengakhiri perseteruan di antara elite politik yang dapat memecah belah bangsa," ujar Deputi IV Kantor Staf Presiden Eko Sulistyo, Minggu (2/6).

BACA JUGA: Kecam Semua Pihak Penebar Ketakutan Pascapengumuman Hasil Pemilu 2019

Eko mengatakan, pada 1948, Republik Indonesia yang baru berumur tiga tahun dilanda persaingan politik, perseteruan ideologi, pemberontakan, dan perpecahan. Situasi ini tentu saja membuat Presiden Soekarno sangat cemas.

Karena itu, lanjut dia, pada pertengahan Ramadan 1948, Sang Proklamator memanggil KH Abdul Wahab Hasbullah, ulama terkemuka yang juga tokoh Nahdlatul Ulama (NU).

BACA JUGA: Fakta, Partai Berbasis Nasional Tetap Lebih Dominan

"Soekarno ingin meminta pendapat dan nasehat KH Wahab terkait fragmentasi politik di antara para pemimpin bangsa yang makin akut," tutur Eko.

BACA JUGA: Rizal Ramli Berharap Jokowi Legawa Lepas Jabatan Seperti Bung Karno dan Gus Dur

BACA JUGA: KPU Fokus Perbaikan Pemilu ketimbang soal Partisipasi Pemilih

Kiai NU yang sangat dihormati itu lalu menyarankan kepada Soekarno untuk mengadakan acara silaturahim dalam rangka menyambut Idulfitri. Namun, menurut Soekarno, silaturrahmi sudah biasa, perlu istilah lain.

Kiai Wahab pun mengusulkan istilah halalbihalal yang akhirnya disetujui Soekarno. Melalui momentum Idulfitri, Istana memberikan pesan mempersatukan bangsanya. "Sejak itu, istilah halalbihalal menjadi tradisi setiap Idulfitri untuk saling memaafkan di antara sesama warga masyarakat," tutur Eko.

Lebih lanjut Eko mengatakan, peristiwa sejarah itu sangat relevan dengan kondisi bangsa saat ini. Politik identitas dan ujaran kebencian yang mewarnai Pemilu 2019 telah membuat sebagian masyarakat terbelah.

Pemilu yang harusnya menjadi pesta demokrasi dengan kegembiraan, dipenuhi sentimen yang menggerus nilai kebersamaan dan persatuan. Jika tidak segera ditangani, persatuan bangsa bisa rusak.Jika tidak segera ditangani, persatuan bangsa bisa rusak.

"Karena itu, menjadikan Idulfitri dengan pesan merekatkan persatuan dan persaudaraan menjadi sangat relevan menyambut Idulfitri tahun ini," pungkas dia. (dil/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... KPU Berharap Idulfitri jadi Momen Semua Berdamai


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler