jpnn.com - Bupati Kepulauan Talaud, Sulut, Sri Wahyumi Maria Manalip, menyambangi pelosok wilayah yang berbatasan dengan Filipina dengan speedboat, juga motor trail. Perempuan cantik itu pernah hilang kontak tujuh jam karena diadang ombak.
MIFTAKHUL F.S., Talaud
BACA JUGA: Heboh Siswi SMA Melahirkan di Semak, Pacar Lihat Video Persalinan di YouTube
PERISTIWA awal Februari 2017 itu masih terekam dalam ingatan Bupati Kepulauan Talaud Sri Wahyumi Maria Manalip. Sampai kapan pun. Sepanjang hayat.
Sebab, kematian terasa begitu dekat. Saat ombak setinggi 7 meter mengadang speedboat yang dia naiki.
BACA JUGA: Setiap Kali Bripda Linut Handoyo Datang, Anak-anak Sekolah Merubungnya
Dari Tahuna, ibu kota Kabupaten Sangihe, ke Melonguane, ibu kota Kabupaten Kepulauan Talaud.
GPS (global positioning system) tak berfungsi. Sedangkan semua pilihan penuh risiko berbahaya.
BACA JUGA: Saat Wijianto Terbaring di RS, Istri Minta Cerai, Berpetualang Jalan Kaki
Melanjutkan perjalanan atau memilih berlindung berpotensi membuat speedboat terbalik dan digulung ombak.
Manalip dan rombongan akhirnya memilih berlindung. ”Saat itu kami hanya pasrah sama yang di atas (Tuhan, Red),” katanya.
Tuhan menjawab doa Manalip. Speedboat yang ditumpanginya lolos dari gulungan ombak. Terdampar di Desa Suang yang terletak di salah satu Kepulauan Sangihe. ”Tujuh jam kami hilang kontak,” ungkapnya.
Peristiwa mendebarkan itu hanyalah salah satu konsekuensi yang harus dihadapi sebagai pemimpin wilayah kepulauan.
Perempuan yang terlahir pada 8 Mei 1977 tersebut mesti berani melakoni perjalanan laut untuk memantau wilayah. Untuk menyapa masyarakat serta melihat segala problematika mereka.
Perjalanan itu juga harus dilakukan untuk merawat kesetiaan warganya kepada negara Indonesia. Sebab, Talaud yang dipimpin Manalip adalah kawasan tapal batas Indonesia.
Salah satu pulau di kabupaten itu, Miangas, berbatasan langsung dengan Filipina. Bahkan, jarak Miangas ke Davao, kota di Kepulauan Mindanao, jauh lebih dekat ketimbang ke Melonguane.
Dengan speedboat, orang Miangas bisa mencapai Davao dalam waktu empat jam. Ke Melonguane, dibutuhkan waktu dua kali lebih banyak.
Apalagi ke Manado, ibu kota Sulawesi Utara. Bisa sampai seminggu jika lewat laut.
Kabupaten yang dipimpin Manalip total memiliki 17 pulau. Hanya tujuh yang berpenghuni. Sepuluh lainnya belum terjamah.
Dengan kondisi geografis seperti itu, kalau pemimpinnya tak rajin menyapa rakyat, tidak getol merawat wilayah, ancaman migrasi ke negara tetangga tentu sangat terbuka.
”Saya tidak boleh hanya diam di kantor, harus rajin turun ke masyarakat. Sekalipun itu berarti mesti sering melakukan perjalanan laut yang tantangannya tidak ringan,” ujar Manalip.
Namun, Manalip mengaku tak pernah gentar dengan semua risiko itu. Perempuan yang pernah duduk sebagai anggota DPRD Talaud tersebut terus rajin menyambangi pulau-pulau yang masuk wilayah yang dipimpin.
Tak terkecuali Miangas. Selama memimpin Talaud sejak 2013, sudah tak terhitung perjalanan laut yang dilakoni Manalip ke Miangas.
”Saya putri Talaud dan ketika amanah ini diberikan kepada saya, saya harus jalankan sebaik-baiknya. Talaud harus terus bergerak dan berkembang,” tegasnya.
Dia juga tak pernah segan keluar-masuk hutan. Menerabas jalan berlumpur dan menghadapi segala macam tuntutan warga.
Sebagai kabupaten yang baru berusia 15 tahun, infrastruktur di Talaud memang belum sepenuhnya layak.
Masih banyak jalan yang tak beraspal alias berlumpur. Jadilah Manalip kerap menunggang motor trail untuk melintasi rute yang tak ramah itu.
”Dan saat melintas itu sering bertemu aneka pohon yang ditanam di jalan tersebut,” katanya.
Menanam pohon itu merupakan bentuk protes warga kepada pemerintah atas kondisi jalan di wilayah mereka.
Tapi, Manalip mengaku tak pernah marah atau tersinggung. Sebaliknya, justru semakin membakar semangatnya untuk menyerap aspirasi warga.
Dia memilih berbicara langsung dengan mereka. Menjelaskan bahwa status jalan tidak semuanya milik kabupaten. Ada jalan provinsi, ada pula jalan nasional. Sesuatu yang tak semua warga memahaminya.
Termasuk menjelaskan pula bahwa anggaran yang dimiliki Talaud sangatlah terbatas. Saat ini APBD Talaud ”hanya” Rp 800 miliar. Dan pendapatan asli daerah (PAD)-nya cuma Rp 16 miliar.
”Kepada masyarakat, saya selalu katakan bahwa tidak masalah mereka mau menanam pisang atau pohon lainnya di jalan. Yang penting tidak pasang bendera Filipina,” paparnya.
Tiap kali beraudiensi dengan warga, perempuan yang nama depannya merupakan pemberian dua tentara asal Jawa tersebut juga selalu terbuka memaparkan apa saja rencananya. Sekaligus solusi persoalan yang dihadapi.
Misalnya, yang dilakukan saat harus memindahkan 800 makam di daerah Beo, kawasan yang bersebelahan dengan Melonguane. Makam-makam itu berdiri terlalu dekat dengan bibir pantai dan jalan.
Padahal, Pantai Tambio’e, tempat makam-makan itu, sangat potensial dikembangkan sebagai kawasan wisata. Di sisi lain, jalannya juga hendak dilebarkan.
Manalip pun melakukan pendekatan langsung ke warga. Ke tokoh-tokoh adat. Dia menjelaskan rencana pengembangan Pantai Tambio’e itu sebagai Beo Boulevard Center.
Juga pelebaran jalannya. Manalip juga memamparkan lokasi pemakaman baru yang tentu lebih asri, tertata, dan tetap terjangkau untuk diziarahi.
Masyarakat akhirnya luluh. Mereka mau memindahkan makam-makam itu. Manalip pun ikut turun melakukan pemindahan.
”Saya ikut mengangkati,” ujar perempuan yang pernah memimpin 8.000 orang melakukan demonstrasi penolakan penambangan di Talaud tersebut.
Langkah serupa dijalankannya saat harus memindahkan 200 makam yang terimbas perpanjangan runway Bandara Melonguane.
Dengan caranya itu, dengan langkahnya itu, Manalip tak hanya ingin melihat Talaud terus berkembang.
Dia sekaligus ingin merawat cintanya kepada warga. Juga, cinta orang-orang Talaud kepada negeri ini. (*/c10/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Joko Sasongko Pernah Diganjar Penghargaan dari Wakil Presiden Try Sutrisno
Redaktur & Reporter : Soetomo