Kisah Han Awal, Arsitek Penyulap Gedung Tua di Jakarta

Selasa, 17 Maret 2015 – 14:26 WIB
Kisah Han Awal, Arsitek Penyulap Gedung Tua di Jakarta. Han Awal ketika memberi kuliah umum tentang arsitek konservatoris di Teater Salihara, Jakarta, Rabu (11/3). witjak@salihara for Jawa Pos/JPNN.com

jpnn.com - Banyak arsitek yang mumpuni di tanah air. Namun, hanya segelintir yang mau menggeluti bidang konservasi bangunan bersejarah. Salah satunya Han Awal, arsitek yang menyulap gedung-gedung tua di Jakarta menjadi mahakarya yang cantik.

Laporan Dinda Juwita, Jakarta

BACA JUGA: Ketika Penggawa Timnas U-23 Berhamburan di Pantai Kuta

Area Teater Salihara, Jakarta, Rabu malam (11/3) seolah menjadi panggung tunggalnya. Pria 84 tahun tersebut tampil dengan bersahaja, mengenakan kemeja batik ungu tua. Meski sudah sepuh, kakek tujuh cucu itu masih kuat berdiri lebih dari dua jam dan berbicara di depan ratusan pencinta arsitektur yang memadati tribun.

’’Kita diberi tangan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan tangan ini bisa membuat banyak hal,’’ ujarnya, disambut tepuk tangan audiens ceramah arsiteknya malam itu.

BACA JUGA: Kisah Hebatnya Lobi Tim KJRI Jeddah Bebaskan WNI dari Hukuman Mati

Itulah Han Awal, arsitek yang hidupnya didedikasikan untuk merestorasi gedung-gedung bersejarah di Jakarta. Artefak-artefak yang kurang terawat disulapnya menjadi cantik dan bernilai.

Menurut Han, banyak yang menganggap profesi arsitek hanyalah tukang gambar. ”Sepintas memang demikian. Namun, ada sisi plusnya,” ujar pemilik nama asli Han Hoo Tjwan tersebut.

BACA JUGA: TKW Ini Desain Kostum Batik Punk untuk Dipakai Artis, Katanya The Virgin Loh....

Sisi plus yang dimaksud adalah seorang tukang gambar mampu mengkreasikan sebuah wujud yang tadinya tidak ada dapat dibentuk sedemikian rupa dalam sebuah ruang gambar. Dari gambar-gambar itu, akhirnya tercipta bangunan sebagaimana yang diinginkan. Bagi dia, menjadi seorang arsitek serupa dalang dalam sebuah pertunjukan wayang. Gambar-gambar hasil imajinasi sepenuhnya menjadi semestanya.

’’Tukang gambar’’ yang terlibat dalam pembangunan gedung DPR/MPR RI di Senayan tersebut lalu bercerita tentang kecintaannya sebagai arsitek konservasi. Mempercantik gedung-gedung klasik dan mengembalikannya menjadi sebuah bangunan bercitarasa seni tinggi merupakan passion-nya.

’’Bagaimana menjadikan yang tidak ada menjadi ada. Konservasi bangunan bersejarah kadang tidak terlihat sebagai sesuatu yang penting. Padahal, Indonesia kaya akan bangunan tua peninggalan zaman kolonial yang jika dirawat akan menjadi bagunan yang sangat indah,” bebernya.

Dalam menggeluti profesi langka tersebut, Han memegang teguh prinsip bahwa sebuah bangunan haruslah memiliki fungsi berlindung, kokoh, dan tetap menomorsatukan aspek keselamatan.

”Jangan sampai asal mengonservasi bangunan tapi tidak mementingkan keselamatan. Jika perlu di sebuah gedung tua ditambahkan emergency exit, ataupun alat pemadam kebakaran. Semua fondasinya harus kokoh, agar siapa pun yang berada di dalamnya merasa aman,” tutur pria asli Malang, Jawa Timur, tersebut.

Seorang arsitek, lanjutnya, juga harus memegang teguh tiga poin utama sebelum menghasilkan sebuah karya. Yakni, masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Masa lalu berkaitan dengan sejarah yang tidak boleh dilupakan. Masa sekarang berhubungan dengan pengaruh dari luar dan dalam negeri yang terjadi. Sedangkan masa depan berkaitan dengan bagaimana seorang arsitek memiliki kewajiban menciptakan bangunan yang mampu bertahan puluhan tahun dan tidak termakan zaman.

Menurut Han, karya arsitektur merupakan cerminan masyarakat di zamannya. Dia mencontohkan Candi Borobudur yang mampu menjadi saksi di zamannya. Ataupun jejak-jejak teknologi di sekitar kita pada masa sekarang mampu membuat sebuah permainan dari tumpukan konstruksi.

’’Dulu, konon, candi-candi itu dibangun dalam tempo semalam. Tapi, sekarang, bagaimana material bangunan dapat diangkut ke atas dan akhirnya menjadi gedung pencakar langit yang modern,’’ ujar alumnus Technische Hoogeschool di Delft, Belanda, tersebut.

Selain itu, menjadi arsitek konservasi juga tidak boleh meninggalkan aspek kearifan lokal yang harus pada setiap karya. Dia bercerita, pernah ada seorang guru besar arsitektur dari Belanda yang terpukau begitu melihat bentuk Candi Prambanan di Jogjakarta. Candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 Masehi tersebut sarat akan cerminan keindahan arsitektur bebatuan.

’’Saat si guru besar itu terpesona dengan Prambanan, saya terdiam dan terharu,” urainya.

Dia mengungkapkan, wilayah Indonesia yang amat luas dan memiliki banyak pulau menyebabkan perbedaan budaya dan arsitektur merupakan salah satu parameter kebudayaan Indonesia itu karena biasanya arsitektur terkait dengan sistem sosial, keluarga, sampai ritual keagamaan.

’’Indonesia kaya akan kearifan lokal yang sayang bila ditinggalkan begitu saja,’’ lanjut dia.

Han selama ini dikenal sebagai arsitek konservatoris yang menggeluti pemugaran bangunan-bangunan tua. Pada 1988 dia terlibat dalam proyek pemugaran Gereja Katedral Jakarta yang mengalami kerusakan berat di berbagai bagiannya. Han mengusulkan untuk mengganti atap sirap gereja Katholik yang hampir berusia seabad itu dengan pelat tembaga yang tahan lama.

Pendiri Pusat Dokumentasi Arsitektur itu menekankan pentingnya seorang arsitek konvervatoris memegang patron ketelitian dan beberapa aspek penting yang tidak boleh dihilangkan dalam merevitalisasi bangunan-bangunan tua.

”Saat pemugaran Gereja Katedral itu, saya mesti 13 kali sidang TSP (tim sidang pemugaran) untuk satu item proyek saja, yakni pemasangan AC. Itu untuk ketelitian dan ketepatan pemasangannya,” ujarnya.

Menurut dia, pekerjaan revitalisasi tak bisa dikerjakan dengan sembarangan. Sesuai Undang-undang No 5/1992 tentang Cagar Budaya, pembangunan kembali cagar budaya harus mengembalikan ke elemen asli.

Karena itu, semua bangunan cagar budaya yang akan dipugar harus disetujui terlebih dahulu dalam sidang TSP. Tim ini terdiri atas orang-orang dengan beragam profesi seperti arsitek, arkeolog, dan sejarawan. Dari sidang itu, TSP akan memberikan rekomendasi mengenai apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak dalam proses pemugaran.

’’Proses sidang itu memakan waktu hingga sekitar 1,5 tahun,” ujarnya.

Setelah 13 kali sidang TSP, didapatlah solusi pemasangan AC di Katedral. Yakni pendingin udara itu dipasang melalui lantai mezanin dan AC disemburkan ke atas. Sehingga, siapa pun yang berkunjung ke Katedral tidak akan merasa gerah.

’’AC hanya dinyalakan Sabtu dan Minggu saat misa. Di hari-hari biasa tidak sedingin saat pakai AC, tapi tetap nyaman saat di dalam gereja,” tuturnya.

Karya Han Awal lainnya yang monumental adalah pemugaran Gedung Arsip Nasional di Jalan Gajah Mada Jakarta. Bersama arsitek Belanda, Cor Passchier, dan Budi Lim, arsitek lulusan Inggris, Han terlibat dalam proyek pemugaran besar-besaran pada gedung yang dibangun pejabat VOC Renier de Klerk pada akhir abad ke-18 itu. Pemugaran dibiayai berbagai pihak swasta di Belanda sebagai hadiah ulang tahun emas Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1995.

Selain teliti dan akurat, kata Han, detil juga harus diutamakan.

”Bangunan tua harus diberi aura baru, sesuai dengan tuntutan zaman. Lampu dibuat lebih terang, juga perlu pengatur udara,” kata Han yang tiap Kamis dijadwal mengajar di Universitas Indonesia (UI).

”Kecantikan dan aspek kosmetik tidak bisa dipisahkan dari karya seorang arsitek. Sebab, kecantikan yang lahir dari rasa kasih dan peduli akan mendapat tempat di hati siapa pun,” tandas peraih penghargaan Internasional Award of Excellence UNESCO Asia Pasific Heritage untuk bangunan Gedung Museum Arsip Nasional tersebut. (*/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... TKW Cantik asal Brebes Terbitkan Novel Kisah Hidupnya di Singapura


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler