jpnn.com - ORANG boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Laporan Wenny C Prihandina, Singapura
BACA JUGA: Kisah Tesla Manaf, dari Kos di Dago Membawa Musik yang Rumit ke Pentas Dunia
Perkataan Pramoedya Ananta Toer itu telah Juniar buktikan sekarang. Wanita yang bekerja sebagai penata-laksana rumah tangga di Singapura itu baru saja menerbitkan sebuah buku. Novel, lebih tepatnya.
Novel itu bercerita tentang kisah hidupnya. Mulai dari ia kecil, beranjak dewasa, hingga di titik kekiniannya sekarang.
BACA JUGA: Bos Madu, Setiap Tahun Berangkatkan 10 Karyawan ke Tanah Suci
‘Kau Ada Untukku’. Begitulah judul yang tertera di sampul depan novel setebal 248 halaman itu. Di bawahnya, ada gambar seorang pria dalam pakaian melayu tengah meminang seorang wanita dengan sebuket kembang.
Wanita itu sedikit merunduk. Sepasang matanya lekat memandang si pria. Begitu pula sebaliknya sang pria.
BACA JUGA: Geliat Negeri Tulehu setelah Dinobatkan sebagai Kampung Sepak Bola
Juniar-lah yang berada dalam gambar itu. Itu foto yang sengaja dibuat untuk sampul depan novelnya. Sementara, pria yang berpose meminangnya itu bernama Hairudin. Nama yang mulai hadir di halaman 181.
"Hairudin adalah tunangan saya," kata Juniar.
Sejak saat itulah, di mana ada Juniar, di situ ada Hairudin. Kecuali, kalau Juniar sedang kembali ke rumah majikannya. Hairudin tentu tak ikut serta.
Nah, di rumah majikannya itulah, Juniar menarik ingatannya kembali ke belakang. Menyusun kata demi kata di layar ponsel. Lalu segera mengirimkannya ke kawan.
Di sela-sela menyapu, mengepel, memasak, hingga sebelum tidur di malam hari. Paling lama, dua jam. Nantinya, kawan itulah yang akan mengedit semua tulisan Juniar.
Anung, nama kawannya. Sama seperti Juniar, Anung juga berkerja sebagai penata-laksana rumah tangga di Singapura. Tapi, jam terbang menulisnya sudah lebih tinggi ketimbang Juniar.
Ia lah yang mendorong Juniar untuk menulis dan menulis. Kalau satu hari saja Juniar tak menulis, ia pasti akan merongrongnya. Hingga akhirnya Juniar menulis lanjutan kisah hidupnya.
"Tidak sulit sih mengedit naskah Juniar. Karena kami mengerjakannya bersama-sama," kata Anung, seusai acara peluncuran novel tersebut di sebuah community centre di Toa Payoh – Singapura, Minggu (8/3) lalu.
Anung mengedit naskah Juniar bersama Ani Kusuma. Ani juga penata-laksana rumah tangga di Singapura. Keduanya tergabung dalam komunitas Pahlawan Devisa Singapura Menulis (PDSM).
"Yang paling sulit sih mungkin pas penggabungan naskahnya. Karena ada istilah-istilah dalam bahasa Jawa, Sunda, dan Melayu," kata Anung lagi.
Ketika ada istilah Sunda dalam suatu paragraf, Juniar yang berasal dari tanah Jawa tidak mengerti. Ia ingin istilah itu di-Indonesia-kan.
Giliran ada istilah Jawa, para pengeditlah yang pusing. Keduanya tak tahu banyak. Alhasil, semua istilah ke-suku-an dihapuskan. Meski memang, masih ada beberapa bahasa Jawa yang dipertahankan.
Kurang dari satu tahun, novel itu sudah siap cetak. Juniar tidak banyak mencetaknya. Hanya lima puluh eksemplar saja.
Tiga puluh eksemplar untuknya. Dua puluh eksemplar lainnya, ia kirim ke kampung halamannya di Brebes, Jawa Tengah.
"Buku ini sebagai bukti kalau saya juga bisa sukses sebagai TKI. Supaya masyarakat di kampung tidak mencemooh saya lagi," katanya.
Kadar sukses menurutnya itu ya seperti sekarang ini. Ia telah berhasil menerbitkan satu buku seorang diri. Dan pernah dua kali ikut menulis secara keroyokan.
Wanita 34 tahun itu mulai merasakan makna hidupnya dua tahun belakangan. Saat itu, ia mulai mengurangi kegiatan hura-hura dalam hidupnya.
Ia mulai sering ikut perlombaan-perlombaan. Mulai dari perlombaan membaca puisi, karaoke, juga fashion show.
Berulang kali ia menggondol juara. Meskipun, di awal, hampir selalu hanya menjadi penggembira.
"Tapi aku tak patah semangat menggenggam azamku. Belajar dari teman yang berhasil, kini aku semakin percaya diri di panggung," tulisnya di halaman 219.
Semakin sering mengikuti acara, Juniar tertantang menjadi penyelenggara acara. Ia pernah membuat sebuah acara perlombaan di hari jadi pertunangannya, 10 November tahun lalu.
Acara perlombaan itu diulangnya kembali, Minggu (8/3) lalu. Menyemarakkan acara peluncuran novelnya, Juniar juga menggelar sejumlah lomba. Seperti, misalnya, lomba memasak, lomba karaoke, lomba rebana, dan lomba fashion show.
Biaya pendaftarannya 5 Dolar Singapura atau senilai Rp 48 ribu. Cukup mahal untuk hitungan orang Indonesia. Tapi itu kan berlangsung di Singapura. Dan nyatanya, para TKI yang datang hampir mencapai 250 orang.
Padahal, ruang yang digunakan sangat kecil. Hanya muat 30-an orang. Alhasil, banyak juga yang keluar-masuk ruangan.
Dalam acara itu jugalah, Juniar memasarkan novelnya. Novel itu dijual dengan harga 20 Dolar Singapura atau senilai Rp 192 ribu. Di tanah Indonesia, novel itu akan dijual dengan harga Rp 100 ribu.
Tapi, bagi Anung, Ani Kusuma, juga Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura, Juniar memberikannya secara cuma-cuma. Inilah bukti bahwa para TKI kita di negeri tetangga pun masih bisa berprestasi.
"Ini bagus untuk mensupport yang lainnya. Daripada menghabiskan uangnya nggak jelas bagaimana, (seperti) shopping atau ngerumpi. Lebih baik bikin buku,” kata Rizky, Staf KBRI di Singapura. ***
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gajah Sumatera Terancam Punah, Diburu Manusia, Diserang Virus
Redaktur : Tim Redaksi