Kisah Hebatnya Lobi Tim KJRI Jeddah Bebaskan WNI dari Hukuman Mati

Senin, 16 Maret 2015 – 06:49 WIB
Fadhly Ahmad (dua dari kanan) bersama perwakilan KJRI lainnya berfoto dengan keluarga korban Zubair.

LIMA warga negara Indonesia (WNI) terpidana mati kasus 5 Banjar bebas setelah mendapatkan pengampunan dari keluarga korban. Hal itu merupakan hasil kerja hebat Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Jeddah, Arab Saudi.
------------
Laporan Mochamad Salsabyl Ad'n, Jakarta
-----------
KEKUATAN dan keteguhan Indonesia di pentas diplomasi tengah diuji. Tekanan bertubi-tubi datang terkait rencana pemerintah melakukan eksekusi mati gelombang kedua terhadap para terpidana mati. Karena mayoritas adalah warga negara asing, negara asal terpidana mati itu ramai-ramai menyuarakan protes.

Penarikan duta besar Brasil dan pernyataan Perdana Menteri Australia Tony Abbott bahwa Indonesia punya utang budi terkait bantuan tsunami Aceh sehingga dua warganya harus diampuni adalah contoh insiden diplomatik yang muncul.

BACA JUGA: TKW Ini Desain Kostum Batik Punk untuk Dipakai Artis, Katanya The Virgin Loh....

Direktur Perlindungan WNI dan Bantuan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal mengatakan, negara-negara asal terpidana mati tersebut tidak seharusnya bersikap seperti itu. Indonesia, meski sering mengupayakan pembebasan WNI yang kena vonis mati di luar negeri, tidak pernah bersikap demikian.

”Setiap upaya yang kita lakukan selalu menghormati hukum positif yang ada di sana,” katanya.

BACA JUGA: TKW Cantik asal Brebes Terbitkan Novel Kisah Hidupnya di Singapura

”Seperti yang dilakukan tim KJRI Jeddah dalam membebaskan lima terpidana mati kasus pembunuhan,” lanjutnya.  

Perjuangan KJRI Jeddah dalam membebaskan lima terpidana mati atas kasus 5 Banjar memang luar biasa. Tidak hanya membebaskan semua terpidana mati dari hukuman mati, mereka juga tak membayar diyat sepeser pun. Bahkan, keluarga besar korban kini memiliki hubungan yang sangat baik dengan KJRI.

BACA JUGA: Kisah Tesla Manaf, dari Kos di Dago Membawa Musik yang Rumit ke Pentas Dunia

Fadhly Ahmad, pejabat fungsi konsuler KJRI Jeddah, mengisahkan liku-liku dirinya bersama tim memperjuangkan pengampunan untuk terpidana mati kasus 5 Banjar.

Kasus 5 Banjar sempat menarik perhatian sangat besar di Arab Saudi pada 2006. Saat itu lima TKI ilegal asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan, melakukan pembunuhan berencana yang cukup keji terhadap imigran Pakistan Zubair bin Hafiz Ghul Muhammad.

Lima TKI tersebut adalah Saiful Mubarok, Samani bin Muhammad, Muhammad Mursidi, Ahmad Zizi Hartati, dan Abdul Aziz Supiyani. Mereka membunuh Zubair, lalu menyemen tubuh korban untuk menghilangkan jejak. Muhammad Daham Arifin, WNI pemilik rumah yang menjadi lokasi pembunuhan, juga sempat menjadi terdakwa atas kasus itu.

Namun, dia tidak divonis mati karena tak ikut membunuh. Ketika peristiwa terjadi, dia sedang membeli semen. ”Alasan mereka membunuh katanya kesal sering diperas korban. Di sana kan mereka WNI ilegal yang masuk menggunakan visa umrah,” jelas Fadhly.

Sejak kasus itu diungkap polisi, KJRI Jeddah langsung melakukan pendampingan. Mulai memberikan pengacara dalam persidangan sampai meminta pengampunan kepada keluarga korban. ”Ternyata, pada 2009 lima TKI asal Banjarmasin itu divonis mati. Itu bertepatan dengan masa ketika saya mulai bertugas di KJRI Jeddah,” terangnya.

Mulai 2009 Fadhly ditugasi menemani atasannya ke rumah keluarga korban di daerah Ji’ranah, Kota Makkah. Mengapa dia yang dipilih? Sebab, pria kelahiran Manado tersebut pernah tiga tahun hidup di Pakistan ketika menempuh pendidikan S-2. Itu membuat Fadhly lumayan fasih berbicara bahasa Urdu dan mengerti budaya Pakistan.

”Selain saya, diajak satu staf lain yang mengerti bahasa Urdu karena dia menikah dengan orang Pakistan,” kenangnya.

Meski staf baru, Fadhly sudah mendapatkan tugas berat untuk mendekati keluarga korban. Sesuatu yang sulit karena mereka pasti berat memaafkan 5 Banjar yang telah membunuh Zubair dengan keji.

Sebelum menjalankan tugas, Fadhly mendapatkan beberapa arahan dari para seniornya. Salah satunya adalah tidak mengungkit apa pun soal kasus pembunuhan tersebut. ”Memang, keluarga ataupun staf KJRI sudah tahu sama tahu bahwa tujuan kami meminta pengampunan. Tapi, kami sama sekali tidak mengungkit soal itu,” ungkapnya.

Lantas apa yang dilakukan Fadhly? Saat berkunjung ke kediaman keluarga almarhum Zubair, Fadhly banyak mengobrol ringan. Mereka bernostalgia tentang hal-hal di Pakistan dengan keluarga. Kalau tidak, mereka berdiskusi soal agama Islam.

Fadhly setidaknya sebulan sekali mengunjungi rumah keluarga Zubair yang berjarak sekitar 1,5 jam dari tempat tinggalnya. Kunjungan dilakukan siang sampai pukul 2 malam saat bulan puasa. Dia juga sering menghubungi mereka melalui telepon.

Pendekatan yang dilakukan Fadhly rupanya mulai membuka pintu maaf bagi 5 Banjar. Meski dalam sidang banding pada 2012 hakim kembali menjatuhkan vonis mati, beberapa anggota keluarga Zubair sudah memberikan pengampunan.

Sebagaimana diketahui, hukuman mati untuk kasus pembunuhan di Arab Saudi bisa dicabut jika keluarga korban memberikan pengampunan. Bisa juga dicabut dengan kewajiban terpidana mati membayar tebusan (diyat) sesuai permintaan keluarga korban. ”Waktu itu saya tunjukkan bahwa niat kami tulus untuk membantu keluarga korban. Saya sangat dekat dengan adik korban bernama Yunus,” beber Fadhly.

Dari Yunus, Fadhly bisa membawa sesuatu yang dibutuhkan orang tua Zubair. Kadang ayahnya ingin jus apel dan kurma, maka barang itulah yang dibawa Fadhly saat berkunjung. ”Perhatian kami yang terus-menerus itulah yang membuat ayah Zubair luluh. Suatu saat dia sendiri yang mengungkit kasus 5 Banjar, lalu memberi maaf,” ucapnya.

Namun, saat sang ayah memberikan pengampunan, perjuangan belum berakhir. Masih ada seorang lagi yang belum melakukannya, sang ibu. Sampai suatu saat sang ibu jatuh sakit. Di situlah terjadi titik balik perubahan sikapnya. ”Tapi, saat dia sakit, kami terus memberikan bantuan. Mulai cuci darah, kemoterapi, atau sekadar beli obat. Bahkan, saya sendiri sempat menggotong dia untuk menerima perawatan,” papar Fadhly.

Bantuan itu membuat sang ibu luluh. Dia akhirnya memberikan pengampunan seperti halnya semua anggota keluarga yang lain. Klop, pada Februari 2014 hakim akhirnya mengumumkan keputusan secara tertulis bahwa 5 Banjar diampuni. Kini mereka masih ditahan di Jeddah untuk menunggu proses administrasi.

”Sebenarnya pemerintah sudah menyiapkan diyat 400 ribu riyal (Rp 1,4 miliar) untuk satu terpidana sesuai hukum yang berlaku di sana. Namun, karena pengampunan diberikan, kita tidak membayar sepeser pun,” katanya penuh bangga.  

Perjuangan untuk membebaskan 5 Banjar sudah berakhir. Namun, pantang bagi Fadhly melakukan hal buruk layaknya pepatah habis manis sepah dibuang. Dia terus menjalin silaturahmi dengan keluarga Zubair hingga saat ini. Bapak dua anak itu menganggap hal tersebut sebagai tanggung jawab atas janjinya dulu.

”Kami sudah menyatakan ingin membantu mereka sebisa mungkin. Jadi, bukan berarti ketika kasus selesai langsung putus komunikasi. Selama masih mungkin, kami tetap akan membantu mereka,” tandasnya.

Wakil Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi Sunarko membenarkan bahwa upaya pembebasan WNI di luar negeri dilakukan pemerintah dengan total. Pria yang pernah terlibat dalam upaya tersebut pada 2012 itu mengaku sempat khawatir kasus 5 Banjar tidak bisa diselesaikan dengan pengampunan.

”Sebab, kasus ini langsung melibatkan lima WNI. Kalaupun berhasil meminta pengampunan, masih mungkin pihak keluarga meminta diyat. Latar belakang mereka kan keluarga yang kurang mampu. Bayangkan, untuk kasus Darsem saja Rp 4,7 miliar. Karena itu, satu hal yang luar biasa, mereka tidak menuntut 1 sen pun,” jelasnya.

Salah satu kunci yang disebut Sunarko bisa mencairkan hati keluarga korban adalah diplomasi makanan. Menurut dia, makanan khas Pakistan seperti roti paratha sering dibawa dalam kunjungan.

”Bukan hanya itu, kami juga sering memasakkan masakan Indonesia untuk mereka. Ya, yang sederhana saja. Misalnya nasi goreng atau mi goreng. Yang jelas, kami terus menunjukkan niat positif kami. Lebaran pun kami berkunjung dan kasih mainan ke anak-anak di keluarga mereka,” ungkapnya.

Semua perhatian itu membuat keluarga Zubair lebih dekat ke staf KJRI Jeddah daripada ke perwakilan pemerintah Pakistan di sana. Suatu saat keluarga pun sempat meminta bantuan untuk mengurus visa tinggal di Makkah kepada KJRI Jeddah.

”Kalau nilainya sebenarnya tak sampai Rp 1 juta. Tapi, pendatang yang mau mengurus visa tinggal pasti sulit. Mereka rupanya lebih memilih meminta bantuan ke kami. Istilahnya, kami sudah dianggap bagian keluarga mereka,” terangnya.

Kunci lainnya dalam upaya tersebut, lanjut Sunarko, adalah pendidikan kepada semua diplomat di sana. Sebagai diplomat, pemindahan tugas bukan hal yang aneh. Karena itu, KJRI di Jeddah pun terus mewariskan pengetahuan dan tugas ke keluarga korban ketika akan dipindah. Hal tersebut termasuk Fadhly yang memang bolak-balik Indonesia–Arab Saudi sebelum ditugaskan tetap pada 2014.

”Jadi, bukan hanya saya atau Fadhly. Banyak diplomat dan staf KJRI yang silih berganti mengunjungi keluarga korban. Saat Fadhly pulang pindah, kami tetap menugaskan staf yang lain untuk berkomunikasi dengan keluarga,” jelasnya.

Lalu Muhammad Iqbal mengatakan, upaya perlindungan WNI oleh pemerintah dilakukan sejak awal kasus mencuat. Tidak seperti negara lain yang kadang baru bersuara ketika vonis akan dilakukan.

”Dari tahun 2011 kami sudah membebaskan 238 WNI dari hukuman mati. Dari upaya itu, tak sekali pun kami mendapatkan keluhan dari negara terkait. Itu berarti semua upaya kami lakukan dalam koridor aturan di sana dan tak mengganggu kedaulatan hukum mereka,” bebernya.

Kasus tersebut, lanjut Iqbal, tak hanya terjadi di Arab Saudi yang punya sistem pengampunan. Hal itu juga dilakukan dalam membela Waflrida Soik yang terancam hukuman mati di Malaysia. Sejak awal pemerintah pun berusaha keras secara hukum mencari bukti untuk memenangi sidang. Alhasil, bukti bahwa Walfrida masih di bawah umur menyelamatkannya dari hukuman mati.

”Upaya kami juga belum tentu berhasil. Misalnya kasus yang menimpa ke Ruyati pada 2010. Saat itu kami akui sistem perlindungan belum maksimal karena kami tak punya pengacara tetap. Tapi, itu kami jadikan pelajaran untuk memperbaiki sistem. Kami tidak ribut ketika upaya kami gagal,” pungkasnya. (*/c9/ang)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bos Madu, Setiap Tahun Berangkatkan 10 Karyawan ke Tanah Suci


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler