TKW Ini Desain Kostum Batik Punk untuk Dipakai Artis, Katanya The Virgin Loh....

Minggu, 15 Maret 2015 – 04:00 WIB
Sejumlah TKW Indonesia di Singapura tampil dengan busana batik saat lomba fashion show di Singapura, Minggu (8/3) lalu. Foto: Wenny C Prihandina/Batam Pos/JPNN.com

jpnn.com - LOMBA peragaan busana untuk Tenaga Kerja Wanita Indonesia di Singapura tak pernah sepi peminat. Persiapan, gaya, dan aksi mereka luar biasa.

Laporan Wenny C Prihandina, Singapura 

BACA JUGA: TKW Cantik asal Brebes Terbitkan Novel Kisah Hidupnya di Singapura

Memangnya penampilan Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia itu seperti apa? Pakai kaos sebagai atasan, rok untuk bawahan, dengan lap tersampir di pundak? Atau justru hanya dasteran saja? Atau mungkin memakai seragam baby-sitter yang berwarna merah atau biru muda itu?

Kalau di hari biasa, yang seperti itu bisa saja terjadi. Tapi kalau di hari Minggu, ah, jangan harap bisa bertemu yang seperti itu. Apalagi kalau ada acara lomba peragaan busana. Para TKW itu sudah datang bahkan tiga jam sebelum acara dimulai. Mereka mengantre didandani. Sambil mengobroli haha-hihi soal baju dan jenis dandanan.

BACA JUGA: Kisah Tesla Manaf, dari Kos di Dago Membawa Musik yang Rumit ke Pentas Dunia

Seperti yang berlangsung di lomba pagelaran busana memperebutkan predikat Putri Batik 2015 di Gedung Community Centre Singapura, Minggu (8/3) lalu. Acara baru akan dimulai pukul 13.00 waktu setempat. Tapi, para peserta sudah datang sejak pukul 10.00.

Ini sesungguhnya hanya acara penyemarak saja. Penggagasnya, Juniar -yang juga seorang TKWI, hendak meluncurkan novel pribadinya berjudul Kau Ada Untukku, saat itu. Ia menyelenggarakan empat lomba. Dari empat lomba itu, lomba peragaan busana paling diminati. Pesertanya sampai 40 orang.

BACA JUGA: Bos Madu, Setiap Tahun Berangkatkan 10 Karyawan ke Tanah Suci

Di lantai II gedung yang berlokasi di Tua Payoh Blok 142 itu, para peserta sudah duduk-berdiri. Mereka menjejali teras-teras sempit yang hanya satu lingkaran kecil saja. Di satu ruangan di lantai itu, lomba peragaan busana diselenggarakan.

Yang belum dirias, mengantre di pojok teras. Di sana, empat perias sudah sibuk dengan serangkaian kosmetika. Memilih-milih warna lalu membubuhkannya ke wajah calon peserta.

"Mau tampil jam berapa? Tunggu di belakang dulu ya," kata seorang perias dari balik maskernya.

Kerja perias itu terbilang cepat. Satu riasan bisa selesai dalam waktu kurang dari setengah jam. Itu sudah lengkap dengan dandanan rambut dan busana.

Perias-perias itu nyatanya TKW juga. Mereka mendapatkan keterampilan merias wajah dari Sekolah Indonesia-Singapura. Alat-alat kecantikan yang mereka pakai itu diusahakannya sendiri. Nanti, para calon peserta itu akan membayar sejumlah uang sebagai ganti ongkos merias. Dalam suasana itu, obrolan tentang hutang juga masuk.

"Ada nggak sih cara bikin mata jadi terang? Mata ini gelap kali,” kata Yati, saat menanti giliran dirias.

Katanya sih mengantuk. Alasan itu masih juga ia kemukakan ketika sudah selesai dirias. Wajahnya berubah drastis. Begitu anggun dan berwibawa.

Ia mengenakan setelan gaun tanpa lengan berwarna hitam. Di bagian perut disematkan renda berwarna emas. Roknya dipadu dengan kain batik nuansa hitam-putih. Nuansa yang sama dengan heels yang ia kenakan. Segala aksesorisnya mengingatkan pada budaya pengantin Jawa. Ada sunting dan kalung yang menggantung hingga bagian perut. Juga gelang dan cincin. Kondenya, konde semi-modern yang panjang hingga ke punggung.

"Ini semua sudah ada yang mengatur. Saya cuma tinggal duduk dan dirias saja," kata TKW asal Lampung itu lagi.

Yati cuma bilang kalau dia ingin mengikuti lomba fashion show itu. Ia memesan gaun secara online. Sekali pesan langsung banyak. Biar bisa dipakai berganti-gantian. Ini adalah lombanya yang ketiga. Pertama kali ia ikut fashion show, sifatnya hanya tampil saja. Ia mulai merasa asyik.

Kedua kalinya ikut, ia langsung mendapat juara pertama. Ia mengunggah foto diri di laman media sosial. Teman-teman menggoda. Kerabat dan handai taulan kaget bukan kepalang.

"Di Indonesia saya tak berani apa-apa. Di negeri orang malah ikut lomba fashion show segala,” kata wanita 34 tahun itu sambil tertawa.

Bukan hanya Yati yang menemukan keberaniannya di negeri orang. Icha yang memiliki nama lengkap Ichahya juga mengalami hal serupa. Semenjak bekerja sebagai TKW di Singapura, ia jadi berani berkreasi.

Ia rajin mengikuti lomba fashion show yang diselenggarakan untuk para TKW. Kadang, mengenakan baju yang sudah jadi, kadang membuatnya sendiri. Di acara lomba fashion show Puteri Batik 2015 itu, ia membuat kostumnya sendiri.

Kostum Queen Zelda, begitu wanita asal Karawang tersebut menyebut kostum yang ia kenakan saat itu. Ia memang sengaja membuat penampilannya seperti Queen Zelda. Sebuah karakter fiksi dalam permainan nintendo berjudul Legenda Zelda.

Ia menggunakan batik sebagai bahan kostumnya. Mulai dari atasan, bawahan, jubah, hingga pelindung bahu dan lengan. Uniknya, ia sampai menggunakan kain gendongan anak majikan, bra, sampai kardus untuk kostumnya.

Kain gendongan itu ia tempelkan begitu saja sebagai jubah. Sementara bra difungsikan sebagai pelindung bahu. Dan kardus untuk pelindung lengan juga aksesoris ikat pinggang. Di kepalanya terpasang head-band manik-manik berwarna perunggu. Bros besar tersemat di bagian tengahnya. Katanya, hanya head-band itulah satu-satunya barang yang harus ditebus dengan uang.

Ia mengeluarkan 10 dolar Singapura untuk pelindung kepala tersebut. Selain itu, tak ada. Semuanya barang koleksi lama. "Saya membuat kostum ini semalam saja. Mulai dari pukul 22.30 waktu setempat hingga 02.00 waktu setempat," katanya.

Awalnya, ia mencari ide dari internet. Menengok bahan yang ada. Baru kemudian merakitnya sendiri. Dijahitnya pun dengan tangan. Semua itu mau tak mau harus ia lakukan, sebab, baju yang ia pesan batal datang. Sebenarnya, Icha sudah memiliki kostum khusus untuk fashion show itu. Kostum itu ia beli secara online. Modalnya dari kekasih yang berkewarganegaraan Malaysia.

"Tapi ternyata kostum itu baru datang Senin. Padahal acaranya kan Minggu," tuturnya.

Jika Icha begitu mendadak membuat kostum, Eva -peserta yang lain, memang sengaja ingin membuat kostum sendiri. Ia mengerjakan kostumnya selama seminggu penuh. Di sela-sela waktu menjaga anak, memasak, mengepel, ataupun membersihkan rumah. Untung majikannya baik. Ia diperbolehkan menjahit saat tugas utamanya sudah selesai. Tapi yang dijahitnya bukan gaun atau kebaya. Melainkan rompi. Sebuah rompi yang mengingatkan pada baju drakula.

Rompi itu memiliki kerah yang besar dan tinggi. Keras pula. Di kanan-kirinya, ada sisik seperti sisik buaya. Ia membuatnya dari bahan batik. "Tadinya tak ada kerah. Tapi kok biasa sekali. Makanya saya tambahkan kerah tinggi ini," kata Eva.

Eva ini tomboy memang. Di balik rompi itu, kostumnya berupa kaos hitam yang lengannya digulung hingga bahu yang dipadu dengan celana panjang berwarna hitam. Boot tentara yang juga berwarna hitam menutup jari jemari kakinya. Kalung berduri melingkari leher putihnya. Gelang kabel di pergelangan tangan kanan. Jam tangan sport di pergelangan tangan kiri. Sebuah tato imitasi nangkring di lengan kiri.

Riasannya lain dari yang lain. Ia membuat gambar setengah jaring laba-laba di sudut mata kirinya. Tak ada perona merah di pipi dan kelopak mata. Yang ada hanya garis mata yang diperpanjang hingga setengah hidung. Lipstik dipilih yang bernada gelap.

Ada anting hitam bundar besar di telinganya. Anting itu nampak jelas sebab rambutnya yang pendek ditarik tinggi ke atas. Khas anak punk! Warnanya campuran hitam dan cokelat kekuningan.

"Sebenarnya saya tak mau ikut. Karena kan saya ini tomboy. Tapi kata teman saya, coba dulu saja," kata wanita yang juga memiliki nama pria ‘Rizky’ itu lagi.

Wanita yang baru 1,5 tahun menjadi TKW itu memang memiliki hobi menggambar dan mendesain baju. Ia terinspirasi dari festival-festival busana di tanah kelahirannya, Solo. Ia memang bercita-cita untuk menjadi desainer kostum festival semacam itu.

Ia menyisihkan gajinya untuk membeli bahan-bahan yang ia perlukan. Yang paling mahal adalah kain batik tulis yang ia pesan langsung dari Solo. Ia menghabiskan uang Rp 2 juta untuk mengirim kain batik itu ke Singapura.

Tak berharap menang, Eva cuma ingin menyampaikan bahwa batik itu milik semua kalangan. Bukan hanya dari kalangan wanita tulen yang bisa menikmati batik. Wanita yang tomboy juga bisa mengenakannya. Batik bisa dikreasikan untuk gaya punk atau rock n roll.

"Siapa tahu kostum ini bisa dipakai The Virgin," katanya kemudian.

Melihat antusiasme para peserta, dewan juri pun bingung. Begitu bingungnya, para juri hingga harus mengulang perlombaan. Kali kedua itu, para peserta diminta menyusuri teras sempit di lantai II Gedung CC. Para juri menilai ulang. Kalau di pertandingan pertama mereka tersenyum-senyum, sekarang wajah mereka sedikit mengkerut.

"Agak payah. Banyak yang bagus," kata Sabrina Samri, Mrs Singapore Malay 2014.

Sabrina yang didampingi Linda Maarof, Mrs Singapore Malay (2nd runner up) 2014 itu menetapkan pemenang dari segi kostum, riasan, dan pose panggung. Di akhir penjurian, bahan batik pun ikut dipertimbangkan. Bahan batik tulis menang telak dari bahan batik printing.

"Batik itu bukan sebagai kain saja. Desain yang baik juga akan mempercantik kain itu," katanya. ***

BACA ARTIKEL LAINNYA... Geliat Negeri Tulehu setelah Dinobatkan sebagai Kampung Sepak Bola


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler