jpnn.com - KONDISI tubuh yang tak sempurna tak menyurutkan niat Risal Assor dan Nurjannah, pasangan suami istri (pasutri) penyandang cacat, untuk berbagi ilmu dengan orang lain. Setiap hari, keduanya menempuh perjalanan laut Ternate-Sofifi untuk mengajari siswa-siswi yang juga penyandang disabilitas di ibukota provinsi.
Ika Fuji Rahayu, Ternate
BACA JUGA: Kisah Penjual Kursi Bambu Paling Sepuh di Ternate: Kalau Sampai Sudah Allahu Akbar...
Kediaman keluarga Risal Assor di lingkungan RT 01 RW 02 Kelurahan Kalumpang, Kota Ternate Tengah, tampak ramai. Selain empat anak Risal dan Nurjannah yang seru bermain-main, rumah tersebut juga diramaikan dengan kehadiran sejumlah wanita penyandang cacat yang tengah asyik menjahit. Dituturkan penghuninya, rumah itu memang tak pernah sepi.
“Tiap hari selalu saja ada yang datang untuk bersama-sama membuat keterampilan. Ada yang membuat rangkaian bunga, bros, atau jahit taplak,” ungkap Nurjannah yang akrab disapa Jannah belum lama ini.
BACA JUGA: Untung Tembaki Dada Teroris, Tamat: Sudah Bang, Kita Amankan Dulu Bom yang Lebih besar
Tak hanya mengajari para penyandang cacat di rumah mereka, pasutri yang sama-sama kehilangan fungsi kakinya lantaran polio ini juga merupakan guru di Sekolah Luar Biasa Sentral (Pendidikan Khusus/Layanan Khusus (SLB PK/LK) milik Pemerintah Provinsi Maluku Utara.
Risal adalah seorang guru musik, sedangkan Jannah mengajari beragam keterampilan, seperti menjahit dan tata rias. Sebagai guru berstatus honorer, keduanya hanya diberi uang ganti transportasi oleh pihak sekolah. Mirisnya, sejak sekolah tersebut mulai aktif beroperasi pada 2013 lalu hingga kini tak pernah sepeser pun keduanya menerima imbalan atas jasa mereka.
BACA JUGA: Cerita Perempuan Bos Sarinah, Menyaksikan Kepulan Asap di Tubuh Pelaku Bom Bunuh Diri
“Ini adalah salah satu bentuk pengabdian kami terhadap adik-adik yang memiliki kondisi seperti kami,” kata Risal.
Selain tak dibayar, tiap kali hendak mengajar keduanya harus menyeberangi laut dari Ternate, tempat mereka tinggal, menuju Sofifi. Jika menumpangi kapal penyeberangan (feri), maka pasutri ini harus membayar tiket untuk orang dan kendaraan modifikasi milik Risal. Alhasil, untuk sekali bolak-balik Ternate-Sofifi bisa menghabiskan uang sebesar Rp 200 ribu. Beruntung, ada jasa speedboat yang membebaskan keduanya dari keharusan membayar tiket.
“Jika kami naik speedboat lewat Pelabuhan Kotabaru, maka digratiskan. Semua itu berkat kebaikan hati Bapak Sahdan Soamole, Koordinator Lapangan Pelabuhan, dan Lukman Hasim, Ketua Koperasi Pelayaran Pelabuhan. Tapi kalau naik speedboat berarti tidak bisa membawa kendaraan,” tutur pria yang kini berusia 38 tahun itu.
Ketika sedang tak punya uang, terkadang pasangan yang menikah 2010 silam itu tak bisa berangkat ke Sofifi. Pihak sekolah telah mahfum. Namun siswa-siswa mereka sering tak mau menerima alasan tersebut.
“Anak-anak kadang bilang, kalau ibu tidak datang, mereka tidak mau sekolah. Tapi mau bagaimana lagi? Kadang keadaan memang tidak memungkinkan,” ucap Jannah.
Meskipun kondisi mereka sendiri untuk bisa mencapai sekolah sudah cukup memprihatinkan, Risal dan Jannah jauh lebih merasa prihatin pada siswa-siswa mereka. Kebanyakan siswa mereka tinggal jauh dari sekolah yang terletak di Kelurahan Guraping itu. Ada yang tinggal di Oba dan Dodinga yang berjarak puluhan kilometer jauhnya. Sedangkan sekolah tak bisa menyediakan sarana transportasi untuk mengantarjemput mereka.
“Kami berharap sekali sekolah bisa punya bus sekolah agar anak-anak yang tinggalnya jauh bisa dijemput. Terkadang mereka tidak masuk sekolah karena jarak rumah yang terlalu jauh,” ujar ibu berusia 32 tahun itu.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Risal membuka les musik di Kelurahan Mangga Dua, sementara istrinya yang berasal dari Medan menerima orderan penjahitan gorden dan florist. Perempuan yang pernah menjadi penyiar radio itu juga pandai membuat cupcake bermacam rasa untuk dijual. Semua keterampilan yang mereka miliki diperoleh secara otodidak. Jannah yang awal membuka usaha jahitan harus meminjam mesin jahit milik orang lain, kini telah memiliki 12 buah mesin jahit. Keterampilan dan alat yang mereka miliki, sebagian besar digunakan untuk mengajari orang lain, terutama para penyandang cacat.
“Ada lima mesin jahit yang telah kita berikan kepada teman-teman lain yang ingin membuka usaha sendiri. Kami menganggap keterampilan yang dimiliki adalah anugerah, sehingga harus kami bagi dengan orang lain,” tutur Jannah.
Orang-orang yang datang untuk belajar membuat keterampilan di rumah Risal dan Jannah diperlakukan layaknya anggota keluarga sendiri. Mereka makan dan minum bersama keluarga Risal. Pasutri in memang bertekad memberdayakan sebanyak mungkin penyandang cacat. Hal tersebut dilakukan melalui pelatihan-pelatihan yang mereka lakukan di rumah. Keduanya juga berencana mendirikan Lembaga Kesejahteraan Sosial.
“Adik-adik penyandang cacat ketika selesai sekolah biasanya bingung mau melanjutkan pengembangan ilmu dan keterampilan mereka di mana. Kami ingin membantu menyediakan wadah untuk itu. Agar hasil kerja mereka juga nantinya tahu mau dipasarkan di mana dan bagaimana,” ujar pria yang dapat memainkan semua jenis alat musik itu.
Di tengah kondisi yang serba terbatas, Risal dan Jannah menyadari pentingnya memiliki pendidikan formal. Keduanya kini tengah menempuh perkuliahan di Universitas Negeri Manado Fakultas Pendidikan Luar Biasa. Proses perkuliahan ini tergolong mahal, sebab para dosen lah yang didatangkan ke Ternate. Untuk sekali pertemuan, mereka harus membayar Rp 225 ribu per orang. Itu hanya untuk satu mata kuliah.
“Untuk penyandang cacat yang mengikuti perkuliahan ini ada empat orang. Memang agak berat biayanya, namun kami harus tetap kuliah. Semoga ada bantuan dana dari pemerintah daerah untuk dapat sedikit meringankan,” tutup keduanya.(kai/fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Detik-detik Serangan Bom Jakarta Berdasarkan CCTV, Warga Hendak Peluk Pelaku
Redaktur : Tim Redaksi